MISO
PEMBACA YANG BUDIMAN
Syaloom.....
Perjalanan ke Eropa, pada hari ini tanggal 13 Oktober 2011, berarkhir. Ketika berada di bandara Schiphol - Amsterdam, saya merasa ada dorongan untuk menuliskan pengalaman menjelang meninggalkan negeri Belanda ini. Inilah buah tulisan itu. Selamat menikmati:
4 jam sebelum terbang, saya sudah berada di Bandara. Masih sedikit penumpang yang antri, tetapi pelayanan untuk cek in tetap berlangsung. Dengan bantuan alat mutakhir, cek in dan penimbangan bagasi bagi yang membawa 1 koper dilayani sendiri. Di bagian ini, ada petugas yang siap membantu, bila penumpang yang cek in atau menimbang bagasi, mengalami kesulitan. Semuanya sedapat mungkin diperlancar, dan memang jauh lebih cepat, daripada ditimbang dengan cara yang telah lama dikenal. Yang membawa lebih dari 1 koper , antre di bagian yang lain. Dengan cara penimbangan bagasi yang baru ini, tidak banyak lagi dibutuhkan tenaga manusia. Para petugas hanyalah membantu untuk memperlancar, dan untuk mengarahkan penumpang harus ke mana dan bagaimana.
Di bagian imigrasi pun, semuanya lancar. Saya tidak harus menunggu berlama-lama untuk antre. Itulah untungnya datang lebih dulu di bandara besar, cek in kapan pun bisa dilayani. Karena itu, saya masih punya waktu 3,5 jam untuk santai dan mencari oleh-oleh di toko-toko di dalam bandara. Souvenir dan barang-barang yang disediakan di toko-toko bandara, tidaklah sebanyak di Dubai atau di Singapore atau di Kuala Lumpur. Entahkah orang Eropa kurang suka beli oleh-oleh, atau karena perjalanan terlalu panjang untuk ke Asia sehingga lebih baik beli di Singapore atau Kuala Lumpur, saya tidak tahu.
Saya duduk santai di salah satu ruang tunggu umum di E-8. Hanya sedikit orang yang ada di sana. Orang-orang dari pelbagai penjuru dunia, silih berganti lewat jalan itu. Kalau di Asia, orang-orang kulit putih jumlahnya sedikit dan amat kelihatan bila mereka berada di bandara, begitu pula sebaliknya. Di Eropa, orang Asia terlebih yang di bandara jumlahnya sedikit, dan amat mudah untuk dikenali perawakannya. Dengan mendengar bahasanya, bisa diperkirakan mereka berasal dari Negara mana. Dalam penerbangan KLM kali ini, jumlah orang Indonesia hanya sedikit. Yang terbanyak adalah orang Eropa yang mau ke Kuala Lumpur atau ke Jakarta. Di antara sekian banyak penumpang, ada bapak Hasyim Mushadi. Beliau adalah salah satu tokoh dan sesepuh PBNU.
Bagi saya, setelah sekian lama berada di Eropa, ada kerinduan untuk makan mie kuah. Ternyata ada “miso” di salah satu sudut ruang tunggu. Apa itu miso ? Miso adalah mie kuah, plus tauge dan daging babi dengan daun bawang. Kuahnya enak / sedap sekali, meski tanpa sambal. Mie kuah itu enak, karena memang saya sedang kepengen makan, tetapi juga bumbunya ok. Harganya 14,5 euro per mangkok. Porsinya tidak besar, cukup untuk 1 orang. Kalau lagi lapar banget, tentu bisa makan mie 2 mangkok. Coba tuh kalau di Indonesia, untuk harga sekian itu, bisa makan mie kuah berapa mangkok.
Baru berjalan beberapa meter dari tempat makan miso, saya bertemu Mgr Datus Lega yang juga sudah cek in dan siap pulang ke tanah air. Beliau sedang duduk di kursi ruang tunggu untuk umum dan membaca buku. Ketika saya tanya, apakah sudah makan, beliau menjawab sudah. Sesudah berbincang-bincang tentang pengalaman di Delft tentang pertemuan dengan bapak Jan Nielen dari Sekretariat Justice and Peace, kami menuju ke ruang tunggu. Kami menuju ke pintu E-24. Jaraknya cukup jauh dari tempat kami bercerita.
Sebelum masuk ke ruang tunggu E-24, barang-barang bawaan dicek kembali melalui alat x-ray. Air minum tidak boleh dibawa masuk. Air minum yang masih separo botol, terpaksa dihabiskan saat itu juga atau dibuang. Botol-botol yang berisi cairan pun harus dibungkus plastik dengan rapih dan aman untuk dibawa di dalam kabin. Semua taat, demi keamanan dan keselamatan bersama. Tidak ada yang protes, karena sebelum masuk ke ruang tunggu, informasi tentang hal itu sudah diberikan via pengeras suara berkali-kali dan sudah tertulis dengan jelas.
Demi keamanan dan kenyamanan perjalanan tetapi juga yang lebih penting lagi, kehidupan diri sendiri dan kehidupan orang banyak, aturan bersama memang harus ditegakkan. Manusia dari bangsa mana pun mau tunduk pada aturan / kesepakatan ini, karena masing-masing memahami “nilai-nilai luhur” yang memang harus dijunjung tinggi oleh semua. Nilai-nilai luhur ini, abadi dan dibutuhkan untuk kesejahteraan hidup semua orang. Karena itu, nilai-nilai luhur ini patut ditanamkan sejak kecil, dikembang suburkan, dan diamalkan dalam hidup, agar di mana pun manusia itu berada, nilai-nilai ini tidak diperdebatkan, tetapi dihadirkan / dihidupi dan dihidupkan terus.
Dari mana manusia memperoleh nilai-nilai luhur itu ? Diperoleh melalui renungan, pemikiran, penemuan dan pertemuan dengan sesama manusia, dari jaman ke jaman. Renungan dan pemikiran itu, bukan hanya atas apa yang mereka lihat dan mereka rasa secara lahiriah, tetapi juga yang mereka tangkap karena ada getaran-getaran dari batin mereka. Daya dan gerak batin yang menuntun manusia untuk menemukan nilai-nilai luhur dan abadi adalah Yang Ilahi. Orang menyebutnya Tuhan.
Syaloom.....
Perjalanan ke Eropa, pada hari ini tanggal 13 Oktober 2011, berarkhir. Ketika berada di bandara Schiphol - Amsterdam, saya merasa ada dorongan untuk menuliskan pengalaman menjelang meninggalkan negeri Belanda ini. Inilah buah tulisan itu. Selamat menikmati:
4 jam sebelum terbang, saya sudah berada di Bandara. Masih sedikit penumpang yang antri, tetapi pelayanan untuk cek in tetap berlangsung. Dengan bantuan alat mutakhir, cek in dan penimbangan bagasi bagi yang membawa 1 koper dilayani sendiri. Di bagian ini, ada petugas yang siap membantu, bila penumpang yang cek in atau menimbang bagasi, mengalami kesulitan. Semuanya sedapat mungkin diperlancar, dan memang jauh lebih cepat, daripada ditimbang dengan cara yang telah lama dikenal. Yang membawa lebih dari 1 koper , antre di bagian yang lain. Dengan cara penimbangan bagasi yang baru ini, tidak banyak lagi dibutuhkan tenaga manusia. Para petugas hanyalah membantu untuk memperlancar, dan untuk mengarahkan penumpang harus ke mana dan bagaimana.
Di bagian imigrasi pun, semuanya lancar. Saya tidak harus menunggu berlama-lama untuk antre. Itulah untungnya datang lebih dulu di bandara besar, cek in kapan pun bisa dilayani. Karena itu, saya masih punya waktu 3,5 jam untuk santai dan mencari oleh-oleh di toko-toko di dalam bandara. Souvenir dan barang-barang yang disediakan di toko-toko bandara, tidaklah sebanyak di Dubai atau di Singapore atau di Kuala Lumpur. Entahkah orang Eropa kurang suka beli oleh-oleh, atau karena perjalanan terlalu panjang untuk ke Asia sehingga lebih baik beli di Singapore atau Kuala Lumpur, saya tidak tahu.
Saya duduk santai di salah satu ruang tunggu umum di E-8. Hanya sedikit orang yang ada di sana. Orang-orang dari pelbagai penjuru dunia, silih berganti lewat jalan itu. Kalau di Asia, orang-orang kulit putih jumlahnya sedikit dan amat kelihatan bila mereka berada di bandara, begitu pula sebaliknya. Di Eropa, orang Asia terlebih yang di bandara jumlahnya sedikit, dan amat mudah untuk dikenali perawakannya. Dengan mendengar bahasanya, bisa diperkirakan mereka berasal dari Negara mana. Dalam penerbangan KLM kali ini, jumlah orang Indonesia hanya sedikit. Yang terbanyak adalah orang Eropa yang mau ke Kuala Lumpur atau ke Jakarta. Di antara sekian banyak penumpang, ada bapak Hasyim Mushadi. Beliau adalah salah satu tokoh dan sesepuh PBNU.
Bagi saya, setelah sekian lama berada di Eropa, ada kerinduan untuk makan mie kuah. Ternyata ada “miso” di salah satu sudut ruang tunggu. Apa itu miso ? Miso adalah mie kuah, plus tauge dan daging babi dengan daun bawang. Kuahnya enak / sedap sekali, meski tanpa sambal. Mie kuah itu enak, karena memang saya sedang kepengen makan, tetapi juga bumbunya ok. Harganya 14,5 euro per mangkok. Porsinya tidak besar, cukup untuk 1 orang. Kalau lagi lapar banget, tentu bisa makan mie 2 mangkok. Coba tuh kalau di Indonesia, untuk harga sekian itu, bisa makan mie kuah berapa mangkok.
Baru berjalan beberapa meter dari tempat makan miso, saya bertemu Mgr Datus Lega yang juga sudah cek in dan siap pulang ke tanah air. Beliau sedang duduk di kursi ruang tunggu untuk umum dan membaca buku. Ketika saya tanya, apakah sudah makan, beliau menjawab sudah. Sesudah berbincang-bincang tentang pengalaman di Delft tentang pertemuan dengan bapak Jan Nielen dari Sekretariat Justice and Peace, kami menuju ke ruang tunggu. Kami menuju ke pintu E-24. Jaraknya cukup jauh dari tempat kami bercerita.
Sebelum masuk ke ruang tunggu E-24, barang-barang bawaan dicek kembali melalui alat x-ray. Air minum tidak boleh dibawa masuk. Air minum yang masih separo botol, terpaksa dihabiskan saat itu juga atau dibuang. Botol-botol yang berisi cairan pun harus dibungkus plastik dengan rapih dan aman untuk dibawa di dalam kabin. Semua taat, demi keamanan dan keselamatan bersama. Tidak ada yang protes, karena sebelum masuk ke ruang tunggu, informasi tentang hal itu sudah diberikan via pengeras suara berkali-kali dan sudah tertulis dengan jelas.
Demi keamanan dan kenyamanan perjalanan tetapi juga yang lebih penting lagi, kehidupan diri sendiri dan kehidupan orang banyak, aturan bersama memang harus ditegakkan. Manusia dari bangsa mana pun mau tunduk pada aturan / kesepakatan ini, karena masing-masing memahami “nilai-nilai luhur” yang memang harus dijunjung tinggi oleh semua. Nilai-nilai luhur ini, abadi dan dibutuhkan untuk kesejahteraan hidup semua orang. Karena itu, nilai-nilai luhur ini patut ditanamkan sejak kecil, dikembang suburkan, dan diamalkan dalam hidup, agar di mana pun manusia itu berada, nilai-nilai ini tidak diperdebatkan, tetapi dihadirkan / dihidupi dan dihidupkan terus.
Dari mana manusia memperoleh nilai-nilai luhur itu ? Diperoleh melalui renungan, pemikiran, penemuan dan pertemuan dengan sesama manusia, dari jaman ke jaman. Renungan dan pemikiran itu, bukan hanya atas apa yang mereka lihat dan mereka rasa secara lahiriah, tetapi juga yang mereka tangkap karena ada getaran-getaran dari batin mereka. Daya dan gerak batin yang menuntun manusia untuk menemukan nilai-nilai luhur dan abadi adalah Yang Ilahi. Orang menyebutnya Tuhan.
Komentar