KOMUNITAS LANSIA – NOTRE DAME

Para pembaca yang budiman......

Ada cerita baru lagi yang saya tuliskan untuk anda, pada lembaran berikut ini:

Ketika kami sedang makan malam di biara Notre Dame, Tilburg, sebuah cerita yang menarik terjadi. Di biara itu, tinggal para misionaris lansia. Usia mereka di atas 75 tahun. Waktu itu, di meja tempat kami makan, duduklah para lansia yang sudah berumur diatas 80 tahun. Mereka adalah Pater Ton van Bavel msc, Pater Cor van Bavel msc, Mgr. J.Duivenvoorde msc, dan Niko Adi msc. Kebetulan sekali mereka adalah para mantan misionaris yang bekerja lebih dari 40 tahun di Manado dan Merauke. Karena itu, mereka masih sangat fasih berbahasa Indonesia. Ketika kami sedang bercerita tentang Manado dan Merauke, datanglah P. P.Jotten msc, mantan misionaris yang bekerja di Manado dan di Jakarta.

P. Jotten ingin sekali bercerita dan mendengar cerita, namun pendengarannya sudah sangat jauh menurun. Maka, apa yang kami ceritakan tidak dapat beliau dengar dengan baik. Ketika ditanya, kapan beliau bertugas di Manado, beliau menjawab sudah lupa. Begitu pula dengan para lansia yang lain, apa yang mereka kerjakan dan di mana mereka diutus, banyak yang sudah mereka lupakan. Daya ingat mereka sudah amat menurun. Namun wajahnya menampakkan kegembiraan, dan ketenangan. Atas peristiwa itu, pater Cor van Bavel sambil tersenyum berkomentar: “Komunitas ini adalah komunitas yang unik. Unik karena penghuninya adalah orang-orang tuli dan pelupa”.

Menjadi tuli dan pelupa adalah sebuah realita yang dihadapi para lansia di Tilburg, dan di mana-mana. Namun menerima realita itu dengan sukacita, penuh ketenangan dan kegembiraan bukan gampang bagi setiap orang. Menjadi tuli / pelupa adalah suatu situasi yang tidak disukai, namun ketika hal itu terjadi pada diri orang itu, kerelaan, kepasrahan untuk menerimanya adalah suatu tekad, suatu bentuk kerendahan hati yang amat dalam. Marah, kecewa, merasa ditinggalkan, merasa tidak diperhatikan adalah bentuk-bentuk reaksi penolakan akan peristiwa yang menimpa diri mereka. Padahal, menjadi tua adalah sebuah proses panjang yang akan terjadi pada diri setiap orang.

Selain menjadi tuli dan pelupa, banyak di antara mereka yang sakit-sakitan, harus dibantu dengan kursi roda atau alat bantu lainnya. Mereka tetap berjalan sendiri, melayani diri sendiri dan tetap bersih dan bersemangat. Kemandirian, dan bertanggung jawab pada diri sendiri tetap ditanamkan, meski di sana-sini perawat dan alat bantu sudah siap di setiap kamar. Dengan pelayanan itu, mereka tetap merasa berharga, dapat membuat sesuatu bagi komunitas, dan hadir untuk bersolider dan berbelarasa di ruang makan, atau di ruang pertemuan.

Doa bersama, ekaristi setiap pagi, pengabdian yang telah mereka berikan seumur hidup, pengalaman iman yang amat panjang dan suasana komunitas yang saling menguatkan dan menghibur itulah dasar dan kekuatan mereka untuk menerima realita menjadi tuli dan pelupa, plus sakit-sakitan. Semua yang telah mereka abdikan tinggal kenangan, kini yang ada adalah persiapan untuk bertemu dan mempersembahkan diri kepada Yang Mahamengasihi mereka.

Komentar

Postingan Populer