HATI NURANI - SUARA HATI - SUARA BATIN
Pembaca yagn budiman,
Syaloom....
Sering kita mengalami kesulitan untuk memahami apa itu "hati nurani", "suara hati" dan (suara) "batin". Dalam milis yang ditujukan kepada para warga MSC (misionaris Hati Kudus Jesus), Pater Yong Ohoitimur memberikan keterangan tentang hal itu. Inilah ulasan beliau, saya tuturkan selengkapnya:
Walaupun belum sempat melihat (apalagi membaca!) buku dari Hans Kwakman, yang berjudul: "Julius Chevalier's Charism and the identity of the Chevalier Family", saya ingin memberikan penjelasan tentang istilah hati nurani, suara hati, dan (suara) batin terutama dari segi ilmu etika (yang tentu punya kaitan dengan paham-paham psikologi kepribadian).
Beruntung bahasa Indonesia membedakan hati nurani dan suara hati. Bahasa Latin mengenal conscientia dan bahasa Inggris conscience dan diartikan sebagai "suara hati" atau keputusan suara hati. Kebanyakan orang mengartikan conscience juga dengan hati nurani; dan dalam bahasa Indonesia pun hati nurani dan suara hati dipakai seakan-akan sama saja.
Di manakah "hati nurani" dalam bahasa Latin? Thomas Aquinas membedakan antara "synderesis" (synteresis) dan "conscientia". Synderesis adalah kecenderungan kodrati manusia kepada apa yang baik, bahwa kebaikan SELALU menarik kehendak kepadanya (apa yang baik), bahwa secara kodrati hati manusia selalu terarah kepada kebaikan. Synderesis merupakan kapasitas kodrati manusia untuk menghendaki yang baik, sama seperti rasio (akal budi) merupakan kapasitas kodrati untuk mencari apa yang benar. Synderesis itulah yang dalam bahasa Indonesia dimengerti sebagai "hati nurani", yaitu hati yang dicahayai (bahasa Arab: "nur" = cahaya) oleh Allah sehingga selalu terarah kepada apa yang baik. Itulah sebabnya, hati nurani atau synderesis tidak pernah dapat keliru, justru karena merupakan suatu fakta kodrati, bahasa teologisnya, suatu anugerah Allah Pencipta.
Sebagai suatu daya kodrati, hati nurani tidak secara otomatis menjadi konkret. Terutama dalam situasi konflik (dilematis), kehendak manusia perlu dilatih agar sungguh-sungguh bersikap dan bertindak sesuai dengan arah kodrati kepada kebaikan itu. Itulah sebabnya, seperti untuk mengerti kebenaran rasio perlu dilatih, belajar, dan diperkaya, demikian pula daya kehendak perlu dikuatkan dengan keutamaan-keutamaan, pengenalan nilai-nilai, dan latihan-latihan. Dalam situasi dilematis, ketika seseorang mengambil keputusan untuk berpihak pada apa yang baik dan benar, itulah yang disebut "suara hati" (conscientia). Jadi, suara hati merupakan wujud konkrit dari hati nurani dalam situasi tertentu, yaitu keputusan tentang apa yang mesti dilakukan sebagai kewajiban moral di sini dan sekarang. Suara hati dapat keliru atau bertentangan dengan tarikan hati nurani.
Dalam bahasa Indonesia "batin" berarti "apa yang ada di dalam hati", "yang tersembunyi", tapi juga berarti "hakikat". Artinya, "batin" menunjuk kepada aspek atau dimensi tertentu dari "hati". Sedangkan "hati" mendapatkan arti yang berbeda-beda, tapi dalam konteks diskusi kita "hati" dalam bahasa Indonesia = "sesuatu yang ada dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian (perasanaan-perasaan dsb) [Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia]. Saya mengerti bahwa arti "hati" inilah yang dimaksudkan dalam ungkapan "spiritualitas hati". Menurut pengertian ini, kata "hati" dan "batin" hendaklah tidak dipertentangkan, tetapi juga tidak dipakai sebagai sinonim. Karena "batin" menyatakan aspek tertentu dari "hati", yaitu aspek tersembunyi, juga aspek mental dan spiritual, dipertentangkan dengan aspek fisik, permukaan, yang kelihatan.
Dalam ilmu etika "suara batin" dimengerti sebagai hasil internasilisasi atau hasil pembatinan dari norma-norma yang diterima dari masyarakat atau keluarga atau sekolah dan agama. Peranan suara batin kurang lebih seperti "super ego" menurut Sigmund Freud dalam psikoanalisa.
Kesimpulannya, memang setiap istilah dimaksudkan untuk memberikan arti dan tekanan tertentu. "Hati nurani" lebih punya hubungan dengan kapasitas kodrati manusia yang terarah kepada kebaikan, punya hubungan dengan kehendak. "Suara hati" menunjuk pada proses pertimbangan dan keputusan yang diambil dalam situasi dilematis yang konkret; idealnya suara hati memihak pada hati nurani, tetapi suara hati bisa keliru dan menyimpang dari hati nurani (= suara hati yang sesat). "Batin" menyatakan aspek tersembunyi dari hati dan isinya; "suara batin" tidak bersifat kodrati, karena merupakan pengendapan dari apa yang diterima dari lingkungan sosial.
Kesimpulan P. Julius bahwa "hati nurani terdalam inilah yang dalam bahasa Indonesia disebut batin manusia" tidak sangat sesat, tapi agak kurang tepat. Karena baik "hati nurani", "suara hati", maupun "suara batin" tak bisa dipisahkan dari "aspek batin" hati manusiawi.
Semoga mencerahkan.
Salam,
/yong
Terima kasih Pater Yong atas pencerahan ini. Saya juga terbantu untuk memahaminya secara lebih tepat. Semoga pembaca pun terilhami oleh uraian yang saya sajikan ini.
Syaloom....
Sering kita mengalami kesulitan untuk memahami apa itu "hati nurani", "suara hati" dan (suara) "batin". Dalam milis yang ditujukan kepada para warga MSC (misionaris Hati Kudus Jesus), Pater Yong Ohoitimur memberikan keterangan tentang hal itu. Inilah ulasan beliau, saya tuturkan selengkapnya:
Walaupun belum sempat melihat (apalagi membaca!) buku dari Hans Kwakman, yang berjudul: "Julius Chevalier's Charism and the identity of the Chevalier Family", saya ingin memberikan penjelasan tentang istilah hati nurani, suara hati, dan (suara) batin terutama dari segi ilmu etika (yang tentu punya kaitan dengan paham-paham psikologi kepribadian).
Beruntung bahasa Indonesia membedakan hati nurani dan suara hati. Bahasa Latin mengenal conscientia dan bahasa Inggris conscience dan diartikan sebagai "suara hati" atau keputusan suara hati. Kebanyakan orang mengartikan conscience juga dengan hati nurani; dan dalam bahasa Indonesia pun hati nurani dan suara hati dipakai seakan-akan sama saja.
Di manakah "hati nurani" dalam bahasa Latin? Thomas Aquinas membedakan antara "synderesis" (synteresis) dan "conscientia". Synderesis adalah kecenderungan kodrati manusia kepada apa yang baik, bahwa kebaikan SELALU menarik kehendak kepadanya (apa yang baik), bahwa secara kodrati hati manusia selalu terarah kepada kebaikan. Synderesis merupakan kapasitas kodrati manusia untuk menghendaki yang baik, sama seperti rasio (akal budi) merupakan kapasitas kodrati untuk mencari apa yang benar. Synderesis itulah yang dalam bahasa Indonesia dimengerti sebagai "hati nurani", yaitu hati yang dicahayai (bahasa Arab: "nur" = cahaya) oleh Allah sehingga selalu terarah kepada apa yang baik. Itulah sebabnya, hati nurani atau synderesis tidak pernah dapat keliru, justru karena merupakan suatu fakta kodrati, bahasa teologisnya, suatu anugerah Allah Pencipta.
Sebagai suatu daya kodrati, hati nurani tidak secara otomatis menjadi konkret. Terutama dalam situasi konflik (dilematis), kehendak manusia perlu dilatih agar sungguh-sungguh bersikap dan bertindak sesuai dengan arah kodrati kepada kebaikan itu. Itulah sebabnya, seperti untuk mengerti kebenaran rasio perlu dilatih, belajar, dan diperkaya, demikian pula daya kehendak perlu dikuatkan dengan keutamaan-keutamaan, pengenalan nilai-nilai, dan latihan-latihan. Dalam situasi dilematis, ketika seseorang mengambil keputusan untuk berpihak pada apa yang baik dan benar, itulah yang disebut "suara hati" (conscientia). Jadi, suara hati merupakan wujud konkrit dari hati nurani dalam situasi tertentu, yaitu keputusan tentang apa yang mesti dilakukan sebagai kewajiban moral di sini dan sekarang. Suara hati dapat keliru atau bertentangan dengan tarikan hati nurani.
Dalam bahasa Indonesia "batin" berarti "apa yang ada di dalam hati", "yang tersembunyi", tapi juga berarti "hakikat". Artinya, "batin" menunjuk kepada aspek atau dimensi tertentu dari "hati". Sedangkan "hati" mendapatkan arti yang berbeda-beda, tapi dalam konteks diskusi kita "hati" dalam bahasa Indonesia = "sesuatu yang ada dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian (perasanaan-perasaan dsb) [Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia]. Saya mengerti bahwa arti "hati" inilah yang dimaksudkan dalam ungkapan "spiritualitas hati". Menurut pengertian ini, kata "hati" dan "batin" hendaklah tidak dipertentangkan, tetapi juga tidak dipakai sebagai sinonim. Karena "batin" menyatakan aspek tertentu dari "hati", yaitu aspek tersembunyi, juga aspek mental dan spiritual, dipertentangkan dengan aspek fisik, permukaan, yang kelihatan.
Dalam ilmu etika "suara batin" dimengerti sebagai hasil internasilisasi atau hasil pembatinan dari norma-norma yang diterima dari masyarakat atau keluarga atau sekolah dan agama. Peranan suara batin kurang lebih seperti "super ego" menurut Sigmund Freud dalam psikoanalisa.
Kesimpulannya, memang setiap istilah dimaksudkan untuk memberikan arti dan tekanan tertentu. "Hati nurani" lebih punya hubungan dengan kapasitas kodrati manusia yang terarah kepada kebaikan, punya hubungan dengan kehendak. "Suara hati" menunjuk pada proses pertimbangan dan keputusan yang diambil dalam situasi dilematis yang konkret; idealnya suara hati memihak pada hati nurani, tetapi suara hati bisa keliru dan menyimpang dari hati nurani (= suara hati yang sesat). "Batin" menyatakan aspek tersembunyi dari hati dan isinya; "suara batin" tidak bersifat kodrati, karena merupakan pengendapan dari apa yang diterima dari lingkungan sosial.
Kesimpulan P. Julius bahwa "hati nurani terdalam inilah yang dalam bahasa Indonesia disebut batin manusia" tidak sangat sesat, tapi agak kurang tepat. Karena baik "hati nurani", "suara hati", maupun "suara batin" tak bisa dipisahkan dari "aspek batin" hati manusiawi.
Semoga mencerahkan.
Salam,
/yong
Terima kasih Pater Yong atas pencerahan ini. Saya juga terbantu untuk memahaminya secara lebih tepat. Semoga pembaca pun terilhami oleh uraian yang saya sajikan ini.
Komentar