PEMBACA YANG BUDIMAN
Saya haturkan kepada anda, sebuah refleksi (buah
renungan) tentang situasi politik di
Amerika menjelang dan paska Pemilihan Presiden mereka. Di dalamnya terkandung
sikap, prilaku dan watak manusia yang “mengelola dunia ini”. Keputusan
seseorang tidak terjadi begitu saja, namun dipengaruhi oleh pelbagai macam
situasi, ajakan, ancaman dan rupa-rupa kepentingan. Namun, di balik semuanya
itu, Allah bekerja dan memimpin suatu bangsa. Mari kita simak isinya.
AMERIKA SERIKAT YANG LUKA, TERBELAH, DAN MENCOBA
BANGKIT KEMBALI
- Di Acara Pelantikan Presiden Joe Biden, Puisi
Dibacakan Penyairnya
Denny JA
Ini negara tengah luka. Publiknya terbelah. Namun,
memori atas tradisi yang kuat, membuatnya ingin bersatu dan bangkit
kembali. Itulah yang saya rasakan. Dua jam saya terdiam. Khidmat dan khusyuk
mengikuti acara pelantikan Presiden Amerika Serikat ke 46: Joe Biden. Ini
tradisi inagurasi presiden paling tua dalam sejarah. Tradisi ini dimulai sejak
tahun 1789. Sekitar 232 tahun lalu. Saat itu George Washington diambil
sumpahnya. George Washington tak hanya presiden pertama di Amerika
Serikat, tapi juga presiden pertama yang dikenal peradaban. Di era itu penguasa
adalah Raja.
Yang unik dalam pelantikan ini, dihadirkan seorang
penyair membacakan puisinya sebelum puncak acara. Amanda Gorman, sang penyair. Usianya baru 22
tahun. Ia menjadi penyair termuda yang pernah membacakan puisi di acara
pelantikan presiden. (1) Ia membacakan puisi yang sesuai dengan kondisi
perpecahan politik di Amerikat saat ini. Ia karang sendiri puisi itu: The Hills
We Climb. Tradisi puisi yang mewarnai
pelantikan, dimulai oleh Presiden Kennedy di tahun 1961. Saat itu, penyair yang
membacakan puisinya adalah Robert Frost. Ini penyair yang dalam hidupnya pernah
32 kali dicalonkan untuk menang hadiah Nobel.
Bill Clinton meneruskan tradisi membaca puisi dalam
dua pelantikannya. Di tahun 1993, penyair Maya Angelou terpilih membacakan
karyanya: On The Pulse of Morning. Di
tahun 1997, Bill Clinton kembali menghadikan pembacaan puisi. Yang terpilih:
Miller Williams. Ia membacakan puisinya berjudul: Of History and Hope. Presiden Obama dalam dua kali pelantikannya
juga melanjutkan tradisi membaca puisi. Di
tahun 2009, terpilih penyair Elizabeth Alexander membacakan puisinya Pray Song
For The Day.
Di tahun 2013, penyair yang terpilih Richard Blanco
membacakan puisinya: One Today. Yang
unik, empat presiden yang menampilkan pembacaan puisi, semuanya dari Partai
Demokrat; John F Kennedy, Bill Clinton, Barack Obama dan Joe Biden. Sementara Presiden dari Partai Republik,
mulai dari Ronald Reagan, George Bush Senior, George Bush Junior dan Donald
Trump memilih inagurasi tanpa puisi.
Apakah presiden dari Partai Demokrat berbeda dengan
presiden dari Partai Republik dalam memandang puisi? Tak ada penjelasan soal itu. Yang jelas,
John F Kennedy, yang memulai tradisi puisi, dikenal memang mementingkan
hadirnya puisi di ruang publik.
Dua kutipan John F Kennedy soal puisi sangat
terkenal. Pertama, Keneddy
mengatakan: “Jika saja lebih
banyak politisi membaca puisi, dan lebih banyak penyair peduli politik, maka
kita akan mewarisi dunia yang lebih baik.”
Kedua, Kennedy juga menyatakan: “Ketika kekuasaan membuat manusia arogan,
puisi ingatkan keterbatasannya. Ketika kekuasaan mempersempit pandangan, puisi
meluaskan renungan, menunjukkan keanekaan dan keberagaman.”
Amerika yang luka, dan perlu bangkit kembali,
terasa dalam puisi yang dibacakan Amanda Gorman. Saya kutip dan terjemahkan secara bebas,
puisinya yang berjudul: The Hills We Climb.
“Ini dunia yang terluka. Kita obati, dan kita olah
agar bersinar.
Kita akan bangkit dari area bukit di Barat.
Kita akan bangkit dari Timur Laut.
Kita akan bangkit dari negara bagian
Midwestern.
Kita akan bangkit dari Selatan yang terbakar
matahari.
Kita akan bangun kembali, mendamaikan, dan
memulihkan setiap sudut hati bangsa.
Fajar baru segera mekar. Karena selalu ada terang. Karena
kita berani untuk melihatnya. Karena kita berani untuk bertindak.”
Amerika yang luka, mengalami krisis, terbelah, tapi
harus bangkit kembali, bersatu, juga terasa pada pidato Joe Biden.
Saya kutip dan terjemahkan secara bebas cupilkan
pidato inagurasinya :
“Sejarah telah menjadi arena pergulatan
terus-menerus, antara cita-cita bahwa kita semua diciptakan sederajat, melawan
kenyataan pahit dan buruk bahwa rasisme, primordialisme, ketakutan, telah lama
memisahkan kita. Pertempuran itu
abadi. Kemenangan memang
tidak pernah dijamin. Tapi dalam Perang
Saudara, Depresi Besar, Perang Dunia, terorisme 9/11, melalui perjuangan,
pengorbanan, dan kemunduran, terbukti kita selalu menang.
Kita bisa melihat satu sama lain bukan
sebagai musuh tapi sebagai satu bangsa. Kita bisa perlakukan satu sama
lain dengan martabat dan hormat. Tanpa
persatuan, tidak ada kedamaian, hanya kepahitan dan amarah. Tanpa persatuan, tak ada bangsa. Hanya
ada negara yang porak poranda.
Kita tidak akan pernah gagal jika bertindak
bersama. Maka hari ini, saat ini dan di
tempat ini, mari kita mulai lagi. Kita
semua. Marilah kita saling mendengarkan. Dengarkan satu sama lain. Lihat satu sama lain. Tunjukkan rasa hormat satu sama lain. Politik tidak perlu menjadi api yang
berkobar, yang menghancurkan segala sesuatu yang dilaluinya.
Setiap ketidaksepakatan tidak harus menjadi
penyebab perang total. Dan, kita
harus menolak budaya di mana fakta itu sendiri dimanipulasi dan bahkan
dibuat-buat. Kepada semua orang yang
tidak mendukung kami, izinkan saya mengatakan ini: Dengarkan saya. Ukurlah
saya, dan rasakan hati saya. Dan
jika Anda masih tidak setuju, silahkan saja.
Itulah demokrasi. Itu Amerika. Hak untuk berbeda
pendapat secara damai, di dalam batas yang kita sepakati. Itu adalah kekuatan
terbesar bangsa kita.
Namun dengarkan saya dengan jelas:
Ketidaksepakatan tidak harus mengarah pada perpecahan. Dan saya berjanji ini kepada Anda: Saya
akan menjadi Presiden untuk semua orang Amerika. Saya akan berjuang keras untuk mereka
yang tidak mendukung saya, seperti saya berjuang untuk mereka yang mendukung.
Kini, Kita bersama menghadapi serangan terhadap
demokrasi dan kebenaran. Virus
yang mengamuk. Ketidakadilan
tumbuh. Sengatan rasisme sistemik. Iklim dalam krisis. Tapi Demokrasi dan harapan, kebenaran dan
keadilan, tidak mati. Ia terus berkembang.
Amerika tetap merawat kebebasan di rumah sendiri. Amerika tetap
berdiri sekali lagi sebagai mercusuar bagi dunia. Itulah hutang kita kepada para
pendahulu kita. Dan kita teruskan pada generasi berikutnya.”
Memang inagurasi Presiden Amerika Serikat kali ini
tidak biasa. Presiden Donald Trump
memilih tak hadir. Luka dan perpecahan yang Trump kobarkan belum reda. Benar, Trump bukan presiden pertama
yang tak menghadiri pelantikan presiden penerus. Pernah ada tiga presiden
sebelumnya, yang juga tak hadir. Yaitu John Adams( 1801), John Quincy Adams
(1829), dan Andrew Johnson (1869). (2)
Tapi itu era bahela. Sejak 150 tahun lalu, presiden
selalu menghadiri pelantikan pengganti. Donald Trump mengabaikan tradisi
panjang. Publik Amerika masih
membicarakan serangan kekerasan di Capitol Hill. Lima orang tewas akibat demo
tak biasa, dari pendukung Trump. Tercatat
pula, akibat ulahnya, Trump menjadi presiden pertama yang diimpeach dua kali.
Walau pemecatan itu selalu gagal di forum senat.
Jika ini semata menyangkut pribadi Donald Trump,
tentu masalah menjadi ringan saja. Ulah Trump ini hanyalah cermin bangkitnya
Ultra Kanan dalam politik Amerika Serikat.
Kalangan ultra kanan ini tak hanya menyentuh massa. Banyak pula elit,
dan politisi yang mendukungnya. Isu
Imigran, sebagai misal, tetap membelah publik Amerika Serikat. Isu “America
First,” dan peran seharusnya Amerika pada dunia, juga isu membelah lainnya.
Kebijakan Joe Biden yang lunak pada Imigran akan membuatnya
peroleh perlawanan keras dari kalangan ultra kanan. Sementara Cina yang datang dengan sistem
berbeda, lebih otoritarian, kini terbukti lebih bersatu dan lebih melesat
secara ekonomi. Akankah ini akan menjadi
dekade terakhir hegomoni Amerika Serikat di dunia? Telah datangkah era
peralihan supremasi dunia? Apakah masalah waktu saja Cina akan menjadi pemimpin
dunia berikutnya?
Di acara pelantikan itu, Presiden Joe Biden
berikhtiar. Ia pompa optimisme bahwa Amerika akan kembali memimpin, menjadi
mercu suar dunia. Joe Biden melakukan apa yang seharusnya dikerjakan oleh
seorang pemimpin. Tapi apakah Amerika
Serikat berhasil bangkit, bersatu kembali, menjadi pemimpin dunia kembali?
Agaknya jawaban itu baru kita ketahui 10 tahun dari sekarang._*** (Jan 2021)
Komentar