JALAN MASUK

PEMBACA YANG BUDIMAN

SYALOOM DAN SELAMAT BERTEMU KEMBALI

Beberapa waktu yang lalu, saya diminta untuk membuat sebuah renungan untuk majalah HIDUP. Renungan tersebut sudah diterbitkan dan dimuat dalam majalah itu, tanggal 23 Maret 2014 ini.  Anda sekalian yang berlangganan majalah tsb dapat membacanya secara lebih lengkap. Menurut informasi, di sana ada foto saya.  Di blog ini, tentu ada banyak foto saya, namun pada renungan kali ini, foto saya tidak saya tampilkan. Dengan penuh kasih, saya haturkan renungan itu untuk ada.


JALAN MASUK

Saudara-saudari Pembaca Mingguan Hidup

Pada jaman modern ini, dengan amat mudah kita mendapatkan berita tentang aksi demo, baik di koran, radio maupun di siaran tv. Saya mengambil beberapa contoh. Polri menyesalkan bahwa demo menolak kenaikan harga BBM berakhir anarkis (Demo BBM. merdeka.com/dok). Begitu pula demo damai para buruh untuk menuntut kenaikan upah berakhir anarkhis karena ulah oknum tertentu (beritahukum.com/detail_berita 1November 2013).  Juga demo ribuan masyarakat dari beberapa Kabupaten dan Kota di Aceh,  Jum’at (27/12), untuk meminta dana Bantuan Sosial (Bansos) dan Hibah pada tahun 2013 yang pernah dijanjikan pemerintah Aceh,  berakhir ricuh. (www.ajnn.net/.../demo-31 Des 2013). Contoh yang lain: Unjuk rasa mahasiswa STKIP Sibolga menuntut pengembalian uang kuliah dan status yayasan berakhir ricuh, mahasiswa terlibat bentrok dengan aparat kepolisian  (www.acehkita.com/.../demo /‎ 03/03/2014).

Maksud baik yang mereka perjuangkan tidak tercapai, tetapi hal-hal lain dan juga kerugian moril dan materiil telah terjadi. Ada banyak orang lain yang sebenarnya tidak tersangkut dengan aksi ini, juga turut menjadi korban. Tuntutan kenaikan upah, tersedianya bantuan sosial, turunnya harga bbm, pengembalian uang kuliah yang menjadi tujuan utama, ternyata tidak terjawab. Sebaliknya yang terjadi adalah tindak kekerasan, yang mengakibatkan terjadinya kerusakan, luka-luka, dan sakit hati, serta putusnya relasi kasih.

Aksi demo ternyata telah terjadi dalam sejarah panjang nenek moyang manusia. Dalam Kel 17: 3-7 diceritakan bahwa bangsa Israel mengalami kehausan ketika berada di  padang gurun. Mereka mengeluh, bersungut-sungut dan kemudian demo kepada Musa.  Mereka bahkan mempertanyakan (Allah) Yahwe itu ada atau tidak ? Musa mengalami tekanan yang luar biasa, dan berdebat / bertengkar dengan umat Allah yang dia antar dari Mesir. Dia yang didemo oleh bangsanya sendiri tentu amat panik dan kecewa. Apalagi, dia seorang diri dan tidak mampu mengatasi persoalan itu. Dalam keadaan terdesak itu, dia merasa bahwa kesulitan itu adalah tanggung jawab Yahwe, bukan tanggung jawab dirinya. Situasi kehausan menjadi pintu masuk terjadinya pertengkaran, penolakan terhadap diri (Allah) Yahwe dan Musa (orang yang diutus-Nya). 

Musa melihat dirinya sebagai “utusan” (pesuruh). Dia melakukan pekerjaannya itu karena disuruh,  dan karena itu dia “tidak punya kekuatan apa-apa”.  Dia merasa dirinya amat lemah dan tidak ada harga / tidak ada daya apa pun.  Tekanan / tuntutan umatnya itu mungkin amat memojokkan dia sehingga dirinya sama sekali kehilangan semuanya. Dia tidak melihat tongkat Yahwe itu sebagai  tanda kehadiran / tanda penyertaan Yahwe, meskipun sudah ada di tangannya. Berkali-kali dengan tongkat itu, dia melakukan “mukjizat” di depan Firaun, membelah laut merah, dan menutupnya kembali. Mengherankan, bahwa ketika dia dan bangsa kesulitan air dan kehausan, yang terjadi bukan rasa syukur dan kagum akan karya besar Allah, tetapi pertengkaran, saling mempersalahkan, keragu-raguan, dan penolakan akan diri Allah.

Yesus juga mengalami kehausan di tanah asing / kampung orang Samaria (Yoh 4:5). Pada masa itu, masyarakat kedua kampung itu tidak saling bergaul, mungkin ada persoalan tertentu yang tidak terselesaikan, atau mungkin pula bermusuhan. Hal yang tidak mengenakkan ini berlaku turun-temurun sampai ke anak cucu. Anak cucu yang tidak bersalah, terus-menerus mendapat “hukuman” atau kena hukum karma yang diwariskan oleh para leluhur. Itulah sebabnya ketika Yesus meminta air,  kepada perempuan Samaria, perempuan itu menjawab: “Masakan Engkau seorang Yahudi, meminta minum kepadaku seorang Samaria ?” (Yoh 4:9).  Perempuan itu tahu identitasnya, tahu hukum adat yang berlaku, dan tahu etiket tentang bagaimana menerima / menyapa orang asing yang masuk ke kampungnya. Ia sadar bahwa menurut hukum mereka, ada halangan untuk memberikan kepada orang asing.   Ia bergumul antara “dorongan kemanusiaan untuk memberikan air kepada orang yang sedang kehausan” dan “ikatan hukum adat mereka”. 

Yesus yang sedang kehausan itu, tahu mengendalikan diri. Dia tidak melakukan aksi demo untuk melawan keengganan, dan kelambanan perempuan itu sehingga berlama-lama untuk memberikan air minum. Panas terik matahari, keringat yang bercucuran, badan yang sudah capek, dan halangan hukum adat tidak membakar diri-Nya untuk menjadi marah / melakukan tindak kekerasan. Yesus tetap tenang menghadapi semuanya. Keraguan / pergumulan batin perempuan Samaria itu justru bagi Yesus menjadi jalan masuk untuk berdialog. Itulah sebabnya, Yesus menjawab: “Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah, dan siapa Dia yang berkata kepadamu “berilah Aku minum”, niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup”.

Jalan damai dan dialog yang Yesus tempuh itu, telah membuahkan banyak karunia bagi perempuan itu, bagi orang sekampungnya, dan bagi pemahaman sekalian orang. Perempuan itu mendapat pencerahan bahwa mereka dapat menyembah Allah dalam roh dan kebenaran, dan tidak lagi terikat pada pohon atau gunung atau tempat tertentu. Melalui pengenalanan itu, dia sampai pada pengakuan bahwa Yesus adalah Messias. Kemudian dia memberikan kesaksian akan Messias kepada orang-orang sekampungnya. Ternyata mereka menjadi percaya, dan berkata kepada perempuan itu: “ Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kau katakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia, dan kami tahu, bahwa Dia benar-benar Juruselamat dunia” (4:42).

Alam yang keras dan panas, halangan hukum adat, kelelahan fisik, kebutuhan mendesak yang tidak segera terpenuhi, tidak harus diselesaikan dengan aksi demo, tindak kekerasan atau aksi teror yang justru merugikan kemanusiaan dan menimbulkan kesulitan yang lebih besar. Semua kesulitan dan tantangan itu, ternyata dapat menjadi pintu masuk terjadinya dialog, merobohkan tembak perbedaan, dan membawa manusia kepada kesatuan dan kerukunan. Bahkan, keberhasilan dalam mengatasi kesulitan dan halangan itu, menjadi alasan bagi manusia untuk mengakui bahwa Allah adalah juru selamat.

Memilih jalan damai dan dialog, lebih-lebih ketika keadaan sungguh panas dan fisik ini lemah, sungguh tidak mudah. Jalan damai dan dialog merupakan buah kedalaman hati yang telah diperbaharui oleh Roh Allah. Jalan damai dan dialog adalah buah-buah pertobatan, karena di dalam hati yang demikian ini, Allah meraja dan menjadi sumber kedamaian.

Komentar

Postingan Populer