GUA JATI JAJAR
PEMBACA BLOG YANG BUDIMAN
SYALOOM......
Beberapa waktu yang lalu, saya
mempunyai kesempatan untuk berlibur beberapa hari di Jawa Tengah, bersama
beberapa rekan. Hari itu, saya berada di Karanganyar – Kebumen, dan ada waktu
untuk berwisata ke Gua Jati Jajar. Perjalanan dari Karanganyar ke sana
kira-kira 1 jam. Inilah cerita itu untuk
anda.
Sekitar jam 11 siang kami tiba di gua Jati Jajar. Gua ini letaknya kira-kira 20 km di selatan kota Gombong. Situasi gua dan sekitarnya kini sudah jauh berubah, dan lebih cantik. Pelataran parkir yang telah teratur dan luas. Di sekitar tempat parkir itu telah berderet kios-kios sovenir, warung makan, dan barang-barang jualan lainnya. Semuanya sudah rapih. Bahkan sebelum masuk ke kompleks itu, ada hotel dan tempat-tempat penginapan. Itu berarti para pengunjung yang melihat obyek wisata itu cukup banyak dan datang dari banyak daerah, sehingga mereka butuh bermalam di sana.
Pintu masuk yang apik dan berwarna-warni,
menambah cerahnya wajah depan tempat wisata itu. Bangunan bagian depan, ditampilkan dengan
gaya moderen, sehingga terkesan bahwa obyek wisata ini dipelihara dengan baik,
dan karenanya patut dipilih sebagai tujuan wisata. Beberapa meter dari pintu
masuk, ada dinding semen yang telah direkayasa sehingga enak untuk dipandang.
Dinding itu bertuliskan “obyek wisata – Gua Jati Jajar”. Dinding itu berfungsi sebagai pengganti papan
nama, dan tentu bermaksud untuk memberikan kepastian bahwa para penunjung
sungguh-sungguh sudah sampai di pintu gerbang dari tempat yang dituju.
Jalan setapak yang menuju ke gua,
telah diganti dengan jalan baru yang lebih lebar. Ada puluhan anak tangga yang sudah disemen
rapih, sehingga baik musim hujan maupun musim panas, para pengunjung tidak
perlu takut terjadi musibah ( terpeleset ) yang akan menimpa dirinya. Saya
pribadi merasa bersyukur atas perubahan itu. Anak tangga yang rapih itu,
menjadi alasan saya bersyukur. Mengapa ? Ketika untuk pertama kalinya
menginjakkan kaki di gua ini, tahun 1973, umur saya baru belasan tahun. Ketika
untuk kedua kalinya ke sana, tahun 1988, umur saya sudah hampir 30 tahun. Dan
pada bulan Januari 2014, yang lalu umur saya sudah 54 tahun. Saya bukan orang
muda lagi. Bahkan teman-teman kelas saya, sudah ada yang dipanggil “opa / kakek
/ mbah”. Saya juga “sudah punya cucu”. Adik kandung saya sesungguhnya yang
punya cucu, tetapi saya boleh juga mendapat berkat atas kehadiran cucu itu,
sehingga mengaku “punya cucu”. Oleh sang cucu, nanti kalau dia sudah bisa
bicara, saya dipanggil “opa”. Bagi orang
yang sudah mulai tua, tangga-tangga yang teratur dan rapih itu, “membuat
perjalanan lebih nyaman dan aman”.
Lebih menyenangkan lagi, ketika
selesai menaiki anak tangga yang kesekian, ada warung sederhana yang menjual
pecel. Selain sayur kangkung, tauge, bayam, daun pepaya di nyiru kecil itu juga
ada “bunga combrang”. Bunga combrang warnya merah jambu, bentuknya seperti nenas,
baunya harus, dan rasanya sengir-sengir yang menggugah selera makan. Kami
tiba-tiba merasa lapar, dan memang waktu saat itu sudah jam 11.30. Maka, kami
memutuskan untuk makan siang. Hidangan siang itu adalah pecel, dengan lontong
plus tempe mendoan. Makanan sederhana di dalam kompleks gua Jati Jajar, namun
telah membuat hati kami gembira. Suasana di tengah pepohonan yang rindang,
sejuk dan berangin-angin, duduk di tikar, rileks dan “menikmati makanan khas
sambil mengenang masa lalu, sungguh-sungguh membuat hati ini puas. Seakan-akan
semua kerinduan dan ingatan masa kecil, dicurahkan dan dijawab pada saat itu. Apakah
semua itu adalah kebetulan ? Saya tidak
bisa menjawab. Yang pasti, bahwa kami semua suka dengan hidangan yang ada di
warung sederhana itu.
Rekan saya itu boleh membuat sambal
sendiri. Puluhan cabe rawit ditumbuk / diuleg pakai cobek batu. Tempe mendoan yang kami pesan, sesudah digoreng dan masih panas-panas,
langsung dihidangkan kepada kami. Memang belum ada pengunjung lain, sehingga
semuanya “untuk kami”. Kami juga pesan jus sirsak. Kami memilih sendiri
buahnya. Masing-masing minum 1 gelas besar. Wah, jus sirsak yang betul-betul
murni, dan sirsaknya tua dan masak bagus. Penjualnya juga ramah, sehingga bukan
hanya makanan kesukaan kami yang terhidang, tetapi suasana keakraban,
persaudaraan, canda ria, dan alam sekitar yang bersahabat makin menambah
sukacita kami meluap.
Kegembiraan dan kepuasan yang
kami alami, tidak sebanding dengan harga makanan yang kami santap. Karena itu,
kepada sang penjual pecel dan mendoan, kami berikan “tips” sehingga kami semua
hepi (happy). Saya melihat kegembiraan
yang sama terpancar dari mata dan wajah, penjual pecel yang menerima tips
sebagai “ungkapan terima kasih kami” itu. Dalam suasana gembira dan puas itu,
kami berjalan pelan-pelan menaiki anak tangga dan sampai di mulut gua.
Kami bergambar di mulut gua,
sambil menarik napas sebentar setelah menaiki beberapa puluh anak tangga. Mulut
gua itu mengingatkan saya, akan situasi yang saya lihat beberapa puluh tahun
yang lalu, ketika untuk pertama kalinya, saya menginjakkan kaki di gua itu. Ketika
itu, kami melewati jalan setapak yang masih kasar dan berbatu kapur putih.
Sekarang ini kami melewati anak tangga dan arah sesuai dengan petunjuk papan
nama yang dipampangkan di beberapa pojok / tempat. Di sepanjang jalan yang kami
lewati, ada kios-kios dan warung makan, yang siap menjawab kebutuhan makanan
dan minuman bagi para pengunjung.
Ketika kami keluar dari gua, kami
menikmati es dawet, dan es cingcau. Maklum kami kehausan. Di sekitar itu, ada
juga warung yang menjajakan pecel dan bunga combrang. Pengen rasanya menikmati
pecel dan combrang lagi, namun ternyata perut masih kenyang. Keinginan itu dipuaskan dengan melihat “pecel
dan combrang” dari tempat kami yang sedang menikmati es dawet dan cingcau. Dan tibalah waktunya bagi kami untuk
meninggalkan semuanya.......yang ada di sana.
Di Jati Jajar, ada orang-orang
sederhana, ada orang-orang yang siap melayani dengan ramah, ada hidangan masa
kecil yang mungkin sudah terlupakan atau sulit dicari di tempat lain. Di sana
ada keindahan alam yang belum tercukur habis oleh modernisasi. Ada juga dunia mistik, yang mereka percayai, karena
ketika menjepretkan kamera ke arah patung, lampu kilat dari kamera milik penjaja foto
kilat, tidak menyala. Namun ketika diarahkan ke tempat lain, lampu itu mau
menyala. Aneh bin ajaib. Inilah yang saya alami, yaitu bahwa kamera saya dapat
dipakai di mana saja dan berhasil mengabadikan patung yang ada di sendang itu
dan rekan saya, yang berpose di sana. Tuhan Allah menyertai saya, sehingga
dunia mistik pun tidak punya pengaruh apa pun dan tidak mengganggu perjalanan
wisata kami. Kami pulang dengan
sukacita..... hari itu adalah hari penuh berkat bagi kami semua, dan tentu bagi
mereka yang kami jumpai.
Komentar