MEMBUMIKAN SABDA TUHAN
MEMBUMIKAN SABDA TUHAN BAGI KAUM MISKIN / KAUM KECIL DI TANAH PAPUA SELATAN
Penulis telah bekerja di tanah Papua Selatan selama 21 tahun (15 tahun sebagai imam, dan 6 tahun sebagai uskup) untuk mengembangkan umat Allah, khususnya masyarakat asli Papua. Masing-masing suku mempunyai keunikan dan kekuatan dalam membangun masyarakat mereka. Dalam narasi tentang kemiskinan ini, penulis memilih suku / masyarakat Marind, yang tinggal di sepanjang pantai Merauke.
FOTO KEMISKINAN
Orang Marind punya tanah yang luas, dari Kondo sampai ke sungai Digul (sekitar 300 – 400 km). Sebagian besar tanah mereka yang terletak di pinggir pantai telah dikuasai oleh para pendatang. Tanah-tanah itu telah mereka jual, karena tuntutan ekonomi (keperluan makan, minum dan hiburan) sementara itu, banyak yang berpikir, tanah merek amasih amat luas. Mereka masih bisa hidup dengan cara berladang, atau mengambil apa saja yang ada di alam / tanah mereka. Di sepanjang pantai kota Merauke, kini banyak orang Marind yang tidak punya tanah dan menumpang di rumah orang.
Sejak puluhan tahun yang lalu, pada umumnya orang Marind tidak punya mata pencaharian yang tetap. Selamanya tidak punya penghasilan tetap, karena tidak ada “yang mempersiapkan mereka menjadi masyarakat yang berpenghasilan tetap”. Perlu waktu yang panjang, pendamping yang tetap, dana yang besar: “sebuah rantai pendampingan dan pembinaan yang utuh dan tetap perlu dibangun”.
Pendidikan / ketrampilan mereka seadanya, alamiah dan tidak ada peningkatan yang berarti karena ada pelbagai faktor yang tidak menghambat proses belajar mengajar.
- Guru yang menyiapkan mereka di bangku SD sering tidak ada di tempat
- Guru tidak mempunyai ketrampilan
- Anak-anak masuk sekolah tanpa sarapan, makan siang pun tidak jelas
- Pada sore hari tidak ada lampu untuk belajar
- Ketrampilan mereka: “tarian adat” , kendang (tifa), tikar, topi, nyiru, patung dll tidak laku dijual karena tidak ada pasar yang siap menampung hasil-hasil itu
- Sekolah belum merupakan kebutuhan, bahkan bagi sebagaian besar masyarakat sekolah merupakan beban. Mereka harus membangunkan anak mereka pagi-pagi, menyiapkan sarapan, membelikan buku, baju sekolah dll. Bagi mereka, sekolah membuat orangtua harus tetap tinggal di kampung, padahal mereka perlu mencari makan dan pergi ke hutan.
Akibat dari semuanya itu:
Masyarakat enggan menyekolahkan anak-anak mereka, karena sejak awal harus membayar, ada banyak keperluan selama sekolah, separuh hari anak-anak tidak membantu orangtua, karena mereka ada di sekolah dan setelah selesai sekolah, anak-anak mereka pun tidak mendapat pekerjaan. Bagi mereka, hal itu merupakan kerja yang sia-sia, dan tidak menghasilkan sesuatu bagi kehidupan keluarga.
Akibat lebih lanjut, pergaulan mereka terbatas, kurang perhatian pada bidang informasi, kurang komunikasi,dan pada gilirannya akan memunculkan jurang / perbedaan yang makin besar di bidang:
- Pola pikir: masyarakat berpikir amat sederhana (tidak berbelit-belit) dan berkaitan dengan kebutuhan makan, minum, dan hiburan. Sedangkan masyarakat modern berpikir tentang masa depan, hal-hal yang besar dan strategis, dan menggunakan alat-alat / fasilitas yang makin rumit.
- Tingkat pendidikan / keilmuan
- Penguasaan ketrampilan, komunikasi
- Kecepatan memahami dan meneruskan informasi
- Luasnya pergaulan / jaringan kerja
- Penguasaan tata kelola dan tata kepengurusan
- Hukum dan aturan pemerintah / kepegawaian
- Ekonomi:daya beli masyarkat “tidak stabil”
- Prioritas menggunakan dana yang mereka miliki jauh berbeda dgn tuntutan dunia moderen
KEGEMBIRAAN / KECEMASAN
Tahun 2007 ada usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup / ekonomi masyarakat pesisir. Mereka diberi perahu plus motor tempel, serta jaring penangkap ikan. Para pendamping juga disiapkan dan dibayar pemerintah. Bahkan mereka diutus untuk studi banding di Jakarta. Sayang bahwa bbm, dan kebutuhan sehari-hari “tidak ada yang menjamin”, sehingga mereka ketika melaut telah lebih dulu mengambil bahan makan, bbm, olie dll (utang) sehingga ketika kembali dari laut, hasil tangkapan mereka habis untuk membayar utang. Ketika pulang melaut dak tidak membawa hasil, utang mereka menjadi semakin bertumpuk. Akibatnya, mereka tidak sanggup lagi melaut karena utang sudah terlalu besar, kemudian perahu dan motor mereka jual untuk membayar utang mereka. Kehidupan mereka bukannya lebih baik, malah ada yang kemudian dililit utang.
Tahun 2000-an Pemerintah Daerah memberikan bantuan jaring kepada masyarakat, agar mereka tidak meminjam jaring dari para tengkulak. Tentu saja masyarakat menerima bantuan itu dengan sukacita. Ketika masyarakat melaut dan menangkap ikan, pemerintah tidak menyiapkan “pasar dan pembeli”, sedangkan para tengkulak yang biasanya membeli hasil tangkapan itu, menolak untuk membeli. Akibatnya ikan menjadi busuk dan tidak ada harganya. Para nelayan menderita kerugian yang besar. Lingkaran setan tidak bisa diputuskan hanya dengan memberi jaring saja.
Selama 5 tahun (2003 – 2008) pemerintah memberikan bantuan bibit padi, pupuk, hand-tractor, truck dll. Yang bergerak belum seluruh masyarakat di daerah itu. Mereka panen besar dan hasilnya melimpah. Maka, pada tahun berikutnya, mereka menanam padi lagi. Pernah terjadi bahwa padi yang mereka tanam diserang hama, dan panenan gagal. Para petani tidak punya makanan, uang tabungan pun mereka tidak punya. Bagaimana menyelesaikan hal ini ?
Ada juga LSM (World Vision Indonesia) yang turut bergerak dalam rangka peningkatan mutu / ketrampilan masyarakat. Jumlah mereka sedikit dan karyawan mereka pun sedikit. Mereka ada di pusat kabupaten dan sesekali mengadakan pelatihan kepada masyarakat.
ANALISA
Orang asli Papua bukanlah “petani sawah” tetapi peladang (petani ladang). Mereka sudah terbiasa sekali menanam pohon, untuk jangka waktu panjang, misalnya menanam sagu, keladi, pisang dan ubi-ubian. Setelah menanam,tanaman itu bisa ditinggalkan, karena tidak perlu perawatan khusus. Tanaman padi harus diurus dan diperhatikan setiap hari, dan dilaksanakan pagi hari selama 3 bulan. Hal ini amat berat, karena masyarakat Papua tidak terbiasa dengan pola hidup dan pola kerja yang demikian ini.
Mereka juga bukan nelayan tetapi “pencari ikan”. Berapa pun yang mereka dapatkan hari itu, itulah rejeki mereka. Mereka belum / tidak berpikir “sebagai pedagang” bahwa ikan itu tetap ada harganya dan bisa dijual dalam bentuk ikan asin, ikan panggang, atau ikan pindang. Yang ada di pikiran mereka, bila hari itu ikan tidak laku dijual, semuanya dimasak dan dihabiskan oleh seluruh anggota keluarga. Untuk keperluan besok, mereka mencari ikan lagi. Laut dan sungai amat kaya, maka tidak perlu khawatir akan hari esok. Mereka belum berbuat banyak untuk memproses ikan-ikan itu sehingga mempunyai bentuk baru, dan mendapatkan nilai tambah atas penjualan hasil produksi mereka.
HAMBATAN:
1. Masyarakat tidak biasa / belum bisa ikut dalam pola pikir tentang dunia industri besar (biasanya dengan pola barter)
2. Kurangnya tenaga Pembina yang siap bekerja di tempat-tempat sulit
3. “Rantai Pembelajaran yang utuh dan Pemantauan yang berkelanjutan” sejak proses awal hingga pemasaran tidak ada
4. Kurangnya transportasi dan informasi yang memadai
5. Kurangnya pelatihan dan pembinaan yang terus menerus
6. Dana besar yang diperlukan, tidak ada
MAKNA DARI PENGALAMAN TENTANG KEMISKINAN
Proses inkarnasi (Sabda yang menjadi manusia) perlu diwartakan dan diwujudkan terus-menerus. Terjun ke tengah-tengah masyarakat yang membutuhkan terang dan sahabat menuju kepada suatu kehidupan yangdamai dan sejahtera merupakan sebuah langkah yang perlu diambil. Siapa pun yang hendak melayani masyarakat, perlu mengambil langkah terjun langsung (masuk dan terlibat serta bekerja ) dalam suka duka kehidupan mereka yang hendak dibantu.
Mereka yang hendak menolong siap menjadi “roti” yang dipecah-pecah dan dibagi-bagikan untuk menjadi “makanan” demi kehidupan mereka. Artinya, pengorbanan, kerja berat, mencari jalan keluar dan mengambil langkah awal dan mengolah semuanya itu, merupakan sebuah keharusan yang muncul dari kedalaman diri, bukan karena paksaan dari pihak lain. Peristiwa inkarnasi dan pemecahan roti merupakan kebutuhan nyata masyarakat pada jaman ini, dan hal ini dapat menjadi kekuatan dan sumber kemajuan di banyak bidang kehidupan.
Mgr. Niko Adi MSC
Penulis telah bekerja di tanah Papua Selatan selama 21 tahun (15 tahun sebagai imam, dan 6 tahun sebagai uskup) untuk mengembangkan umat Allah, khususnya masyarakat asli Papua. Masing-masing suku mempunyai keunikan dan kekuatan dalam membangun masyarakat mereka. Dalam narasi tentang kemiskinan ini, penulis memilih suku / masyarakat Marind, yang tinggal di sepanjang pantai Merauke.
FOTO KEMISKINAN
Orang Marind punya tanah yang luas, dari Kondo sampai ke sungai Digul (sekitar 300 – 400 km). Sebagian besar tanah mereka yang terletak di pinggir pantai telah dikuasai oleh para pendatang. Tanah-tanah itu telah mereka jual, karena tuntutan ekonomi (keperluan makan, minum dan hiburan) sementara itu, banyak yang berpikir, tanah merek amasih amat luas. Mereka masih bisa hidup dengan cara berladang, atau mengambil apa saja yang ada di alam / tanah mereka. Di sepanjang pantai kota Merauke, kini banyak orang Marind yang tidak punya tanah dan menumpang di rumah orang.
Sejak puluhan tahun yang lalu, pada umumnya orang Marind tidak punya mata pencaharian yang tetap. Selamanya tidak punya penghasilan tetap, karena tidak ada “yang mempersiapkan mereka menjadi masyarakat yang berpenghasilan tetap”. Perlu waktu yang panjang, pendamping yang tetap, dana yang besar: “sebuah rantai pendampingan dan pembinaan yang utuh dan tetap perlu dibangun”.
Pendidikan / ketrampilan mereka seadanya, alamiah dan tidak ada peningkatan yang berarti karena ada pelbagai faktor yang tidak menghambat proses belajar mengajar.
- Guru yang menyiapkan mereka di bangku SD sering tidak ada di tempat
- Guru tidak mempunyai ketrampilan
- Anak-anak masuk sekolah tanpa sarapan, makan siang pun tidak jelas
- Pada sore hari tidak ada lampu untuk belajar
- Ketrampilan mereka: “tarian adat” , kendang (tifa), tikar, topi, nyiru, patung dll tidak laku dijual karena tidak ada pasar yang siap menampung hasil-hasil itu
- Sekolah belum merupakan kebutuhan, bahkan bagi sebagaian besar masyarakat sekolah merupakan beban. Mereka harus membangunkan anak mereka pagi-pagi, menyiapkan sarapan, membelikan buku, baju sekolah dll. Bagi mereka, sekolah membuat orangtua harus tetap tinggal di kampung, padahal mereka perlu mencari makan dan pergi ke hutan.
Akibat dari semuanya itu:
Masyarakat enggan menyekolahkan anak-anak mereka, karena sejak awal harus membayar, ada banyak keperluan selama sekolah, separuh hari anak-anak tidak membantu orangtua, karena mereka ada di sekolah dan setelah selesai sekolah, anak-anak mereka pun tidak mendapat pekerjaan. Bagi mereka, hal itu merupakan kerja yang sia-sia, dan tidak menghasilkan sesuatu bagi kehidupan keluarga.
Akibat lebih lanjut, pergaulan mereka terbatas, kurang perhatian pada bidang informasi, kurang komunikasi,dan pada gilirannya akan memunculkan jurang / perbedaan yang makin besar di bidang:
- Pola pikir: masyarakat berpikir amat sederhana (tidak berbelit-belit) dan berkaitan dengan kebutuhan makan, minum, dan hiburan. Sedangkan masyarakat modern berpikir tentang masa depan, hal-hal yang besar dan strategis, dan menggunakan alat-alat / fasilitas yang makin rumit.
- Tingkat pendidikan / keilmuan
- Penguasaan ketrampilan, komunikasi
- Kecepatan memahami dan meneruskan informasi
- Luasnya pergaulan / jaringan kerja
- Penguasaan tata kelola dan tata kepengurusan
- Hukum dan aturan pemerintah / kepegawaian
- Ekonomi:daya beli masyarkat “tidak stabil”
- Prioritas menggunakan dana yang mereka miliki jauh berbeda dgn tuntutan dunia moderen
KEGEMBIRAAN / KECEMASAN
Tahun 2007 ada usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup / ekonomi masyarakat pesisir. Mereka diberi perahu plus motor tempel, serta jaring penangkap ikan. Para pendamping juga disiapkan dan dibayar pemerintah. Bahkan mereka diutus untuk studi banding di Jakarta. Sayang bahwa bbm, dan kebutuhan sehari-hari “tidak ada yang menjamin”, sehingga mereka ketika melaut telah lebih dulu mengambil bahan makan, bbm, olie dll (utang) sehingga ketika kembali dari laut, hasil tangkapan mereka habis untuk membayar utang. Ketika pulang melaut dak tidak membawa hasil, utang mereka menjadi semakin bertumpuk. Akibatnya, mereka tidak sanggup lagi melaut karena utang sudah terlalu besar, kemudian perahu dan motor mereka jual untuk membayar utang mereka. Kehidupan mereka bukannya lebih baik, malah ada yang kemudian dililit utang.
Tahun 2000-an Pemerintah Daerah memberikan bantuan jaring kepada masyarakat, agar mereka tidak meminjam jaring dari para tengkulak. Tentu saja masyarakat menerima bantuan itu dengan sukacita. Ketika masyarakat melaut dan menangkap ikan, pemerintah tidak menyiapkan “pasar dan pembeli”, sedangkan para tengkulak yang biasanya membeli hasil tangkapan itu, menolak untuk membeli. Akibatnya ikan menjadi busuk dan tidak ada harganya. Para nelayan menderita kerugian yang besar. Lingkaran setan tidak bisa diputuskan hanya dengan memberi jaring saja.
Selama 5 tahun (2003 – 2008) pemerintah memberikan bantuan bibit padi, pupuk, hand-tractor, truck dll. Yang bergerak belum seluruh masyarakat di daerah itu. Mereka panen besar dan hasilnya melimpah. Maka, pada tahun berikutnya, mereka menanam padi lagi. Pernah terjadi bahwa padi yang mereka tanam diserang hama, dan panenan gagal. Para petani tidak punya makanan, uang tabungan pun mereka tidak punya. Bagaimana menyelesaikan hal ini ?
Ada juga LSM (World Vision Indonesia) yang turut bergerak dalam rangka peningkatan mutu / ketrampilan masyarakat. Jumlah mereka sedikit dan karyawan mereka pun sedikit. Mereka ada di pusat kabupaten dan sesekali mengadakan pelatihan kepada masyarakat.
ANALISA
Orang asli Papua bukanlah “petani sawah” tetapi peladang (petani ladang). Mereka sudah terbiasa sekali menanam pohon, untuk jangka waktu panjang, misalnya menanam sagu, keladi, pisang dan ubi-ubian. Setelah menanam,tanaman itu bisa ditinggalkan, karena tidak perlu perawatan khusus. Tanaman padi harus diurus dan diperhatikan setiap hari, dan dilaksanakan pagi hari selama 3 bulan. Hal ini amat berat, karena masyarakat Papua tidak terbiasa dengan pola hidup dan pola kerja yang demikian ini.
Mereka juga bukan nelayan tetapi “pencari ikan”. Berapa pun yang mereka dapatkan hari itu, itulah rejeki mereka. Mereka belum / tidak berpikir “sebagai pedagang” bahwa ikan itu tetap ada harganya dan bisa dijual dalam bentuk ikan asin, ikan panggang, atau ikan pindang. Yang ada di pikiran mereka, bila hari itu ikan tidak laku dijual, semuanya dimasak dan dihabiskan oleh seluruh anggota keluarga. Untuk keperluan besok, mereka mencari ikan lagi. Laut dan sungai amat kaya, maka tidak perlu khawatir akan hari esok. Mereka belum berbuat banyak untuk memproses ikan-ikan itu sehingga mempunyai bentuk baru, dan mendapatkan nilai tambah atas penjualan hasil produksi mereka.
HAMBATAN:
1. Masyarakat tidak biasa / belum bisa ikut dalam pola pikir tentang dunia industri besar (biasanya dengan pola barter)
2. Kurangnya tenaga Pembina yang siap bekerja di tempat-tempat sulit
3. “Rantai Pembelajaran yang utuh dan Pemantauan yang berkelanjutan” sejak proses awal hingga pemasaran tidak ada
4. Kurangnya transportasi dan informasi yang memadai
5. Kurangnya pelatihan dan pembinaan yang terus menerus
6. Dana besar yang diperlukan, tidak ada
MAKNA DARI PENGALAMAN TENTANG KEMISKINAN
Proses inkarnasi (Sabda yang menjadi manusia) perlu diwartakan dan diwujudkan terus-menerus. Terjun ke tengah-tengah masyarakat yang membutuhkan terang dan sahabat menuju kepada suatu kehidupan yangdamai dan sejahtera merupakan sebuah langkah yang perlu diambil. Siapa pun yang hendak melayani masyarakat, perlu mengambil langkah terjun langsung (masuk dan terlibat serta bekerja ) dalam suka duka kehidupan mereka yang hendak dibantu.
Mereka yang hendak menolong siap menjadi “roti” yang dipecah-pecah dan dibagi-bagikan untuk menjadi “makanan” demi kehidupan mereka. Artinya, pengorbanan, kerja berat, mencari jalan keluar dan mengambil langkah awal dan mengolah semuanya itu, merupakan sebuah keharusan yang muncul dari kedalaman diri, bukan karena paksaan dari pihak lain. Peristiwa inkarnasi dan pemecahan roti merupakan kebutuhan nyata masyarakat pada jaman ini, dan hal ini dapat menjadi kekuatan dan sumber kemajuan di banyak bidang kehidupan.
Mgr. Niko Adi MSC
Komentar