MA MI MU
Semua pemain yang muncul malam itu, Kamis 25 November 2010, tidur / tergeletak di arena / panggung pertunjukkan. Tidak ada musik, tidak ada gerakan dan sunyi sepi. Yang nampak hanyalah sekelompok orang tergeletak bagaikan mayat-mayat korban banjir bandang yang telah dievakuasi, dan siap untuk dikuburkan. Apa yang hendak ditampilkan ?
Beberapa menit kemudian, muncullah 3 orang(Ma, Mi, dan Mu) yang berjalan keliling..... mengitari “mayat-mayat” itu. Mereka bertiga tetap berjalan, sambil merenung dan berpikir....sambil sesekali menatap ke langit. Adakah sesuatu yang sedang mereka cari, dan untuk apa mereka membutuhkan hal itu ?
Ah......tiba-tiba terdengar sayup-sayup rintihan minta tolong: ” Ibu......ibu.......ibu........” Suara itu kemudian menghilang. Ma, Mi, Mu melanjutkan langkahnya, sambil mencari suara rintihan itu. Suara itu muncul lagi....dan terdengar makin kuat: “Ibu......ibu...........ibu”. “Mayat-mayat itu menggeliat”, mulailah sebuah kehidupan, mereka kemudian duduk sambil tetap berteriak....... dengan ungkapan yang sama: “Ibu.......ibu.....ibu”......... sungguh memilukan.
Kali ini, menjadi jelas bahwa kelompok manusia yang berteriak itu adalah kaum yang tidak berdaya, mereka berteriak minta tolong. Ma, Mi, Mu yang makin mendekat pada teriakan itu, mengulurkan tangan kepada mereka. Betapa beratnya mengangkat kelompok tak berdaya /kaum lemah itu sekaligus........ Masing-masing orang (Ma, Mi, Mu) berusaha mengangkat mereka. Sulit dan berat. Bahkan ketiga orang itu pun sempat jatuh, bangun kembali, jatuh dan bangun kembali. Usaha itu berjalan terus, berat....sungguh berat, satu orang mengangkat sekelompok orang, namun satu per satu, kaum lemah itu terangkat........ mereka bangun. Punggungnya ditepuk-tepuk satu persatu...... dan mereka menjadi makin kuat. Mereka bangkit berkat jasa, ketiga orang itu.
Pada bagian akhir ditampilkan bahwa kaum lemah itu menyebut mereka bertiga: “Guru”. Kaum lemah itu makin lama makin berkembang. Mereka menyayangi ketiga guru mereka yang telah berjuang “mengantar mereka dari kematian kepada kehidupan”, dari kegelapan menuju terang. Dan ketika mereka sadar akan kehidupannya, Ma, Mi dan Mu meninggal di tengah-tengah mantan muridnya. Mereka pergi untuk selamanya.
Setelah adegan-adegan itu selesai, ada 3 orang yang memerankan diri sebagai “mayat-mayat / kaum lemah” diminta untuk bercerita “bagaimana / apa perasaan mereka ketika melakukan adegan itu ?”. Saya mengalami ketakutan, semuanya gelap, seakan-akan di sekeliling saya yang ada hanyalah setan. Yang lain lagi menjawab: “Kami tidak punya siapa-siapa. Betapa malangnya nasib kami. Semuanya gelap dan tidak memberikan harapan. Karena itu, kami berteriak: ibu....ibu”.
Juga Ma, Mi dan Mu yang berperan sebagai guru, mengisahkan apa yang berkecamuk di dadanya. Ma berkisah: “Saya berkeliling di desa-desa di pedalaman, saya merasa kasihan melihat anak-anak dan kaum muda tidak bisa apa-apa. Saya tergerak untuk membantu mereka”. Mi dan Mu (pengalamannya hampir sama) mengungkapkan bahwa: “Dirinya ditugaskan di pedalaman. Semuanya sunyi, dan tidak ada orang lain yang bisa membela mereka, selain guru-guru. Betapa berat dan besar perjuangan dan pengorbanan para guru, sehingga murid-muridnya bisa menjadi manusia”. Maka ia pun terpanggil untuk melayani sebagai guru yang baik, yang rela berkorban bagi murid-muridnya.
Cerita dan adegan tersebut diperankan oleh para calon guru yang sedang menjalani pendidikan di Kolese Pendidikan Guru – Merauke, dalam rangka memperingati HARI GURU. Para pemirsa dipersilakan menafsirkan sendiri, apa makna di balik kisah / adegan itu. Saya sebagai salah seorang pemirsa, menafsirkan bahwa suasana masyarakat masa kini di tanah Papua yang “mati (bagaikan mayat-mayat)” karena ditinggalkan oleh oknum-oknum yang dialami sebagai “nafas kehidupan mereka” yaitu guru, pembina, camat, bupati, pastor, pendeta, sesepuh masyarakat dll.
Meskipun hanya 1 orang dan disertai dengan rupa-rupa kesulitan, tetapi kalau terus-menerus ia berusaha membakar semangat / membangkitkan kehidupan, akhirnya akan berhasil juga. Terlebih bila oknum itu percaya bahwa dirinya dipakai oleh Allah dan disertai oleh-Nya untuk membawa kehidupan kepada sesamanya, dia akan lebih mampu bertahan dalam kesulitan-kesulitan yang besar. Ia bekerja bersama Allah, dan yakin bahwa pekerjaan yang dilakukannya adalah pekerjaan Allah sendiri.
Kalau demikian, banyaknya orang yang mengalami pembaharuan hidup dan keberhasilan bukanlah suatu target, baginya yang terpenting adalah dia menjadi sahabat, penolong yang hadir ketika sesamanya membutuhkan bantuan. Bahwa makin banyak orang mengalami kasih dan kehidupan baru, dan makin banyak orang yang bekerja dengan tulus demi kemajuan sesamanya dan bukan mengejar materi, itulah yang menjadi kebahagiaan hidupnya.
Hari Guru yang diperingati oleh para calon guru itu, mengajak para pemirsa untuk percaya bahwa orang baik dan rela berkorban pada masa sekrang ini masih tetap ada. Mereka telah menghadirkan diri di depan kita, bahwa mereka siap untuk meneruskan perjuangan para guru yang telah lebih dulu berkorban bagi mereka.
MA MI MU, dapat juga ditulis MAMIMU, yang berarti ibumu. Di mana-mana, ibumu dan ibuku (ibu kita) adalah tokoh-tokoh yang siap berkorban bahkan mempertaruhkan nyawa demi anak-anaknya. Maka, bila para pegawai / karyawan atau apa pun namanya bekerja / melayani / berkorban seperti apa yang telah diperbuat oleh ibu mereka, tentu dunia ini akan sungguh-sungguh menjadi tempat kediaman yang amat membahagiakan.
Kiranya tidak berlebihan, bila orang bijak mengatakan:"Surga terletak di telapak kaki ibu", karena sering melalui para ibulah kebahagiaan itu menjadi lebih muda dihadirkan dan dialami oleh banyak orang. Maka, mengucapkan terima kasih kepada para ibu, terlebih ibu yang telah melahirkan kita, bukan merupakan suatu keharusan / paksaan, namun merupakan balasan kasih kita kepada "perempuan yang telah turut menghadirkan kita di dunia ini" dan telah membuat kita tahu apa artinya pengorbanan.
Komentar