33 INVESTOR KE PAPUA

33 Investor agresif ke Papua

Izin usaha budi daya menghambat kinerja pertanian



Oleh Diena Lestari & Aprika R. Hernanda

Bisnis Indonesia, Rabu, 21 April 2010



JAKARTA: Sebanyak 33 investor dalam negeri mengajukan izin prinsip kepada Bupati Merauke untuk menggarap area tanaman pangan skala besar dan hutan industri di kawasan itu.

Izin prinsip itu diperlukan untuk melanjutkan pengelolaan areal lahan untuk investasi pertanian pangan skala besar, menyusul penerbitan PP No.18/2010 tentang Pedoman Usaha Budi daya Tanaman Pangan, dan juga untuk pengembangan kawasan hutan industri (HTI). Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air Kementerian Pertanian Hilman A. Manan membenarkan 33 perusahaan yang agresif meminta izin prinsip dari bupati.

"Sejumlah 33 perusahaan di dalamnya termasuk yang meminta HTI untuk pelepasan hutan," ujarnya di Jakarta kemarin.

Dia mengatakan 33 perusahaan ini di luar sembilan perusahaan yang sebelumnya sudah terlebih dahulu berkomitmen untuk berinvestasi di Merauke.

Bisnis mencatat sembilan perusahaan tersebut adalah PT Sumber Alam Sutra, PT Wolu Agro Lestari, PT Comxindo International, PT Bangun Tjipta Sarana, PT Medco, Artha Graha, PT Digul Agro Lestari, PT Buana Agro Tama, dan Korindo Group.

Menurut dia, 33 perusahaan tersebut sampai saat ini sudah melakukan kajian kelayakan (feasibilities study) dan tinggal mengurus administrasi perizinan.

Meski demikian, dia menyatakan belum dapat menginformasikan nama 33 perusahaan tersebut.

Dirjen menyatakan pemerintah tengah menyiapkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan yang menjadi turunan teknis PP No.18/2010. Permentan ini nantinya akan mengatur usaha hortikultura dan peternakan.

Pendaftaran izin itu diberlakukan hanya untuk pengusaha dengan karakter tertentu yang diperhitungkan berdasarkan batasan skala luas areal yang digarap, tenaga kerja, dan besaran investasi.

Sekretaris Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Udhoro Kasih Anggoro menyatakan yang akan melakukan pendaftaran adalah pemerintah daerah melalui Dinas Pertanian. "Jadi bukan petani yang wajib melakukan pendaftaran," ujarnya.

Dia menjelaskan izin ini diharapkan dapat membantu pelaku usaha mengakses modal ke perbankan.

"Dengan demikian maka akan tercipta efisiensi, nilai tambah, harga yang adil, dan sekaligus penciptaan avalis [jaminan] permodalan yang wajar."



Kontraproduktif
Ketua Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (Wamti) Agusdin Pulungan menyatakan perizinan itu merupakan kejutan yang kedua bagi petani setelah munculnya kebijakan pemerintah tentang food estate.

"Rencana permentan yang muncul secara tiba-tiba yang akan mengintervensi dan mengatur keluarga petani kecil. Kini pun diterpa oleh urusan birokrasi yang kontraproduktif," tukasnya.

Menurut dia, rencana permentan itu berpotensi melanggar kedaulatan petani dan memancing keresahan sosial di tingkat petani.

Di sisi lain, lanjutnya, hal ini menciptakan peluang penyalahgunaan oleh oknum aparat untuk memeras petani.

Oleh karena itu, Agusdin menegaskan, Wamti menolak pemberlakuan aturan itu termasuk meminta program food estate dibatalkan. (k37) (diena.lestari@bisnis.co.id/aprika.hernanda@bisnis.co.id)

Komentar

Postingan Populer