OLEH-OLEH NATAL ( III )
Melalui tulisannya, frater Hyasintus Asalang mengungkapkan buah-buah renungannya bagi kita sekalian. Pengalamannya di antara umat Allah di stasi Wan dan Kolam dituangkan dalam tulisan di bawah ini:
“Duc in Altum et Laxate Retia Vestra in Capturam”
“Bertolaklah ke Tempat yang Dalam dan Tebarkanlah Jalamu Untuk Menangkap Ikan”
Natal yang indah bukanlah terletak pada gemerlap lampu-lampu berwarna, bukan terletak pada keindahan malam yang ditaburi ribuan bahkan jutaan kembang api di langit, bukan juga terletak pada hiruk pikuk keramaian manusia, melainkan terletak pada kedamaian dalam bentuk keceriaan, sukacita orang-orang yang selalu tersenyum meski hanya diterangi oleh sebatang lilin yang bernyala. Mungkin bagi kebanyakan orang, hiruk-pikuk dan keramaian di berbagai tempat, lahirlah sukacita dan damai. Namun, apakah keramaian menjadi sarana utama dan terutama dalam menggerakan setiap manusia untuk hidup dalam kedamaian? Apakah tanpa keramaian, kedamaian hanyalah “boneka” yang tak mampu bergerak dari tempatnya? Inilah paradoks keprihatinan kehidupan yang secara nyata tampak dalam kehidupan perkotaan manusia modern.
Namun keprihatinan tersebut menjadi sebuah hal yang bertolakbelakang ketika saya diberi kesempatan oleh bapak Uskup Agung Merauke, Mgr. Nicholaus Adi Saputra, MSC untuk “menjajal” sebagian kecil daerah di Keuskupan Agung Merauke yakni di Paroki St. Theresia-Muting dalam pelayanan selama masa natal. Saya diperkenalkan mengenai situasi umat di berbagai daerah yang notabene tempat tersebut sulit dijangkau dengan perjalanan panjang yang melelahkan. Namun, semuanya itu tidak menjadi batu sandungan yang “menjatuhkan” saya untuk pergi ke berbagai tempat tersebut. Dan di akhir perjalanan itu saya ditempatkan pada dua daerah yang harus saya layani yakni stasi Waan dan Kolam.
Ada banyak sekali perbedaan yang mencolok dari kedua stasi yang dipisahkan oleh aliran sungai Bian ini, entah dari aspek kerohanian, kerja sama, keaktifan dan situasi umat secara umum. Saya dihadapkan pada persoalan-persoalan agama berupa masalah perkawinan yang sulit untuk diatasi. Kehidupan perkawinan beda gereja menjadi sorotan utama yang terus diperdebatkan antara sesama umat beriman yang percaya akan Kristus. Di satu pihak terdapat pemaksaan secara halus untuk ikut masuk dan bergabung dalam gereja lain tanpa adanya persetujuan dari pemimpin agama yang lain dan di lain pihak muncul egoisme dan kerakusan yang tampak nyata, yang mengakibatkan ketiadaan kerja sama bahkan kekerasan yang terjadi di antara sesama umat beriman. Oleh karena itu, saya pun mengalami hambatan dalam merangkul dan mempersatukan umat yang tercerai-berai karena situasi yang sudah terjadi bertahun-tahun tersebut. Selain itu terdapat masalah kegembalaan, di mana banyak umat yang lari dari kumpulan mereka sendiri. Umat merasa kosong, tiada sosok yang mampu memimpin mereka keluar dari padang gurun kehidupan mereka sendiri.
Namun, saya tidak ingin terpaku hanya pada masalah-masalah yang terjadi di kalangan umat beriman. Dalam kehidupan bersama mereka, terdapat juga pengalaman-pengalaman positif yang membantu saya untuk lebih mengembangkan iman saya sendiri, membuat saya untuk turut merasakan suka dan duka hidup mereka, membantu saya memahami makna natal yang sesungguhnya di balik kesederhanaan mereka, yang berbanding terbalik dengan situasi di perkotaan pada umumnya.
Masih banyak pengalaman lain yang saya hadapi ketika hidup di tengah umat. Pengalaman itu membawa saya pada suatu refleksi tentang panggilan saya sendiri. Apakah saya mampu bertahan dalam panggilan ini? Apakah saya sanggup memikul masalah-masalah yang akan saya hadapi kelak dan membawa perubahan signifikan dalam kehidupan mereka? Apakah saya bisa menjadi penjala yang mampu bertolak ke tempat yang lebih dalam dan menebarkan jala agar manusia masuk dalam “jala” kehidupan dalam Kristus? Semuanya ini melintas dalam diri saya yang terbatas dan rapuh untuk bisa menghantar umat pada jalan kebenaran itu sendiri.
Pengalaman natal di tahun 2011 menjadi sebuah pengalaman yang begitu berharga bagi saya untuk melihat secara lebih jauh panggilan hidup yang kini tengah saya jalani. Saya diberi kesempatan untuk mengenal secara lebih dekat situasi yang terjadi dengan umat beriman di tempat terpencil. Di sini saya belajar untuk hidup dan berinteraksi bersama mereka, mengalami kehidupan mereka yang sesungguhnya dan merasakan “tangisan” mereka ketika mereka tak mampu lagi mengeluarkan air mata. Pengalaman itu menantang saya untuk lebih sanggup menghayati panggilan saya sendiri sebagai calon imam Keuskupan Agung Merauke.
Ada berbagai pelajaran yang saya petik dari pengalaman selama berada bersama umat dan tempat saya tinggal antara lain:
Doa
Doa menjadi kekuatan bagi saya dalam meniti panggilan hidup saya sendiri. Doa menjadi jalan terbaik bagi saya, ketika saya merasa bahwa saya tidak mampu menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi di kalangan umat beriman. Doa menjadi alat yang paling ampuh dalam melihat Tuhan yang hadir dalam diri sesama yang saya layani.
Tabiat
Setiap orang mempunyai kepribadiannya masing-masing, demikian pun juga dengan saya. Namun, kepribadian yang saya miliki ini disesuaikan dengan konteks dan tempat di mana saya berada, tanpa harus meniadakan nilai-nilai fundamental yang sudah berakar dalam diri saya. Ketika berhadapan dengan umat, saya belajar bahwa saya hendaknya memperlihatkan diri sebagai seorang calon imam yang mampu hidup dan mengalami suka duka umat beriman itu sendiri. Di sini, saya sebagai calon imam haruslah senantiasa memancarkan iman dan cinta kasih, rendah hati, kepedulian terhadap yang kecil dan berani berkorban bukan hanya kepentingan diri saya sendiri melainkan juga kehidupan umat yang berada di sekitar saya, layaknya pengorbanan yang diberikan terlebih dahulu oleh umat.
Ketekunan dan ketabahan
Ketekunan dan ketabahan adalah dua aspek yang saling bergantung. Kedua hal positif inilah yang saya temui dalam kehidupan umat beriman selama pelayanan natal. Sebagaimana mereka yang pada umumnya bekerja sebagai nelayan, mereka membutuhkan ketabahan dalam menunggu ikan yang masuk dalam perangkap yang dipasang. Ketekunan untuk terus bekerja tanpa adanya hambatan dari dalam maupun dari luar. Saya pun diajarkan untuk terus memupuk ketekunan dan ketabahan itu dalam jejak panggilan hidup ini, dengan kesetiaan pada Tuhan yang telah memanggil saya. “Ecce Ago Quia Vocasti Me”: Inilah aku sebab engkau telah memanggilku.
Semangat pelayanan
Masih terbersit dalam benak saya tentang rasa ketidakmampuan diri saya dalam melayani umat Tuhan itu sendiri. Perasaan takut, cemas selalu menghantui diri saya. Saya seakan ingin lari dari kehidupan ini dan bersiap menempuh kehidupan baru. Namun, saya ada untuk orang lain. Saya ada untuk melayani orang lain. Oleh karena itu semangat pelayanan menjadi semangat saya dalam mewartakan kerajaan Allah yang sudah hadir di tengah dan di dalam dunia.
Kegembiraan dan Kedamaian dalam Kesederhanaan
Bukan gegap-gempita alam yang bertaburkan kembang api ataupun keramaian yang menjadi ukuran dalam menyambut kenangan kehadiran Tuhan di dunia, melainkan kegembiraan dan kesederhanaan-lah yang mampu memberi arti lebih mengenai makna natal yang sesungguhnya. Hal inilah yang saya temukan dalam kehidupan umat di kedua stasi ini. Dan hal inilah yang menjadi jalan bagi saya dalam melihat Kristus yang rela melepaskan segala kekayaanNya dan bersatu dengan umat manusia yang miskin. Ia menjadi miskin agar manusia menjadi kaya dalam iman.
Pelajaran itu membawa saya untuk melihat diri saya pada sebuah cermin. Di dalam cermin itu, terdapat bayangan diri saya sendiri. Jika saya tersenyum, maka bayangan itu akan kembali tersenyum kepada saya. Namun jika saya marah, maka bayangan itu pun akan menampakan sisi kemarahannya yang luar biasa pula. Saya membawa pemahaman ini kepada mereka agar mereka pun dapat melihat sesama seperti diri mereka sendiri.
Kehidupan bersama umat selama berada di stasi Waan dan Kolam menjadi pengalaman berharga yang tidak akan pernah saya lupakan. Pengalaman itu membuat saya untuk lebih berani menatap kehidupan panggilan saya sendiri. Harus saya akui bahwa masih banyak jurang dan bukit yang harus dilewati. Namun, saya percaya bahwa tangan Tuhan senantiasa menyertai diri saya, menguatkan diri saya untuk mempu bertolak ke tempat yang lebih dalam dan menebarkan jala sukacita keselamatan yang sudah Ia persembahkan terlebih dahulu kepada manusia pada umumnya dan saya khususnya.
Di akhir refleksi ini, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada bapak Uskup Keuskupan Agung Merauke yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengenal secara lebih mendalam situasi umat dan tempat saya akan berkiprah di keuskupan ini.
Dukungan sekecil apa pun punya arti yang besar, bagi perkembangan seseorang. Semoga refleksi tersebut berguna pula bagi kita sekalian, dan merupakan benih subur bagi munculnya panggilan imamat di tanah air kita, khususnya di Keuskupan Agung Merauke.
“Duc in Altum et Laxate Retia Vestra in Capturam”
“Bertolaklah ke Tempat yang Dalam dan Tebarkanlah Jalamu Untuk Menangkap Ikan”
Natal yang indah bukanlah terletak pada gemerlap lampu-lampu berwarna, bukan terletak pada keindahan malam yang ditaburi ribuan bahkan jutaan kembang api di langit, bukan juga terletak pada hiruk pikuk keramaian manusia, melainkan terletak pada kedamaian dalam bentuk keceriaan, sukacita orang-orang yang selalu tersenyum meski hanya diterangi oleh sebatang lilin yang bernyala. Mungkin bagi kebanyakan orang, hiruk-pikuk dan keramaian di berbagai tempat, lahirlah sukacita dan damai. Namun, apakah keramaian menjadi sarana utama dan terutama dalam menggerakan setiap manusia untuk hidup dalam kedamaian? Apakah tanpa keramaian, kedamaian hanyalah “boneka” yang tak mampu bergerak dari tempatnya? Inilah paradoks keprihatinan kehidupan yang secara nyata tampak dalam kehidupan perkotaan manusia modern.
Namun keprihatinan tersebut menjadi sebuah hal yang bertolakbelakang ketika saya diberi kesempatan oleh bapak Uskup Agung Merauke, Mgr. Nicholaus Adi Saputra, MSC untuk “menjajal” sebagian kecil daerah di Keuskupan Agung Merauke yakni di Paroki St. Theresia-Muting dalam pelayanan selama masa natal. Saya diperkenalkan mengenai situasi umat di berbagai daerah yang notabene tempat tersebut sulit dijangkau dengan perjalanan panjang yang melelahkan. Namun, semuanya itu tidak menjadi batu sandungan yang “menjatuhkan” saya untuk pergi ke berbagai tempat tersebut. Dan di akhir perjalanan itu saya ditempatkan pada dua daerah yang harus saya layani yakni stasi Waan dan Kolam.
Ada banyak sekali perbedaan yang mencolok dari kedua stasi yang dipisahkan oleh aliran sungai Bian ini, entah dari aspek kerohanian, kerja sama, keaktifan dan situasi umat secara umum. Saya dihadapkan pada persoalan-persoalan agama berupa masalah perkawinan yang sulit untuk diatasi. Kehidupan perkawinan beda gereja menjadi sorotan utama yang terus diperdebatkan antara sesama umat beriman yang percaya akan Kristus. Di satu pihak terdapat pemaksaan secara halus untuk ikut masuk dan bergabung dalam gereja lain tanpa adanya persetujuan dari pemimpin agama yang lain dan di lain pihak muncul egoisme dan kerakusan yang tampak nyata, yang mengakibatkan ketiadaan kerja sama bahkan kekerasan yang terjadi di antara sesama umat beriman. Oleh karena itu, saya pun mengalami hambatan dalam merangkul dan mempersatukan umat yang tercerai-berai karena situasi yang sudah terjadi bertahun-tahun tersebut. Selain itu terdapat masalah kegembalaan, di mana banyak umat yang lari dari kumpulan mereka sendiri. Umat merasa kosong, tiada sosok yang mampu memimpin mereka keluar dari padang gurun kehidupan mereka sendiri.
Namun, saya tidak ingin terpaku hanya pada masalah-masalah yang terjadi di kalangan umat beriman. Dalam kehidupan bersama mereka, terdapat juga pengalaman-pengalaman positif yang membantu saya untuk lebih mengembangkan iman saya sendiri, membuat saya untuk turut merasakan suka dan duka hidup mereka, membantu saya memahami makna natal yang sesungguhnya di balik kesederhanaan mereka, yang berbanding terbalik dengan situasi di perkotaan pada umumnya.
Masih banyak pengalaman lain yang saya hadapi ketika hidup di tengah umat. Pengalaman itu membawa saya pada suatu refleksi tentang panggilan saya sendiri. Apakah saya mampu bertahan dalam panggilan ini? Apakah saya sanggup memikul masalah-masalah yang akan saya hadapi kelak dan membawa perubahan signifikan dalam kehidupan mereka? Apakah saya bisa menjadi penjala yang mampu bertolak ke tempat yang lebih dalam dan menebarkan jala agar manusia masuk dalam “jala” kehidupan dalam Kristus? Semuanya ini melintas dalam diri saya yang terbatas dan rapuh untuk bisa menghantar umat pada jalan kebenaran itu sendiri.
Pengalaman natal di tahun 2011 menjadi sebuah pengalaman yang begitu berharga bagi saya untuk melihat secara lebih jauh panggilan hidup yang kini tengah saya jalani. Saya diberi kesempatan untuk mengenal secara lebih dekat situasi yang terjadi dengan umat beriman di tempat terpencil. Di sini saya belajar untuk hidup dan berinteraksi bersama mereka, mengalami kehidupan mereka yang sesungguhnya dan merasakan “tangisan” mereka ketika mereka tak mampu lagi mengeluarkan air mata. Pengalaman itu menantang saya untuk lebih sanggup menghayati panggilan saya sendiri sebagai calon imam Keuskupan Agung Merauke.
Ada berbagai pelajaran yang saya petik dari pengalaman selama berada bersama umat dan tempat saya tinggal antara lain:
Doa
Doa menjadi kekuatan bagi saya dalam meniti panggilan hidup saya sendiri. Doa menjadi jalan terbaik bagi saya, ketika saya merasa bahwa saya tidak mampu menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi di kalangan umat beriman. Doa menjadi alat yang paling ampuh dalam melihat Tuhan yang hadir dalam diri sesama yang saya layani.
Tabiat
Setiap orang mempunyai kepribadiannya masing-masing, demikian pun juga dengan saya. Namun, kepribadian yang saya miliki ini disesuaikan dengan konteks dan tempat di mana saya berada, tanpa harus meniadakan nilai-nilai fundamental yang sudah berakar dalam diri saya. Ketika berhadapan dengan umat, saya belajar bahwa saya hendaknya memperlihatkan diri sebagai seorang calon imam yang mampu hidup dan mengalami suka duka umat beriman itu sendiri. Di sini, saya sebagai calon imam haruslah senantiasa memancarkan iman dan cinta kasih, rendah hati, kepedulian terhadap yang kecil dan berani berkorban bukan hanya kepentingan diri saya sendiri melainkan juga kehidupan umat yang berada di sekitar saya, layaknya pengorbanan yang diberikan terlebih dahulu oleh umat.
Ketekunan dan ketabahan
Ketekunan dan ketabahan adalah dua aspek yang saling bergantung. Kedua hal positif inilah yang saya temui dalam kehidupan umat beriman selama pelayanan natal. Sebagaimana mereka yang pada umumnya bekerja sebagai nelayan, mereka membutuhkan ketabahan dalam menunggu ikan yang masuk dalam perangkap yang dipasang. Ketekunan untuk terus bekerja tanpa adanya hambatan dari dalam maupun dari luar. Saya pun diajarkan untuk terus memupuk ketekunan dan ketabahan itu dalam jejak panggilan hidup ini, dengan kesetiaan pada Tuhan yang telah memanggil saya. “Ecce Ago Quia Vocasti Me”: Inilah aku sebab engkau telah memanggilku.
Semangat pelayanan
Masih terbersit dalam benak saya tentang rasa ketidakmampuan diri saya dalam melayani umat Tuhan itu sendiri. Perasaan takut, cemas selalu menghantui diri saya. Saya seakan ingin lari dari kehidupan ini dan bersiap menempuh kehidupan baru. Namun, saya ada untuk orang lain. Saya ada untuk melayani orang lain. Oleh karena itu semangat pelayanan menjadi semangat saya dalam mewartakan kerajaan Allah yang sudah hadir di tengah dan di dalam dunia.
Kegembiraan dan Kedamaian dalam Kesederhanaan
Bukan gegap-gempita alam yang bertaburkan kembang api ataupun keramaian yang menjadi ukuran dalam menyambut kenangan kehadiran Tuhan di dunia, melainkan kegembiraan dan kesederhanaan-lah yang mampu memberi arti lebih mengenai makna natal yang sesungguhnya. Hal inilah yang saya temukan dalam kehidupan umat di kedua stasi ini. Dan hal inilah yang menjadi jalan bagi saya dalam melihat Kristus yang rela melepaskan segala kekayaanNya dan bersatu dengan umat manusia yang miskin. Ia menjadi miskin agar manusia menjadi kaya dalam iman.
Pelajaran itu membawa saya untuk melihat diri saya pada sebuah cermin. Di dalam cermin itu, terdapat bayangan diri saya sendiri. Jika saya tersenyum, maka bayangan itu akan kembali tersenyum kepada saya. Namun jika saya marah, maka bayangan itu pun akan menampakan sisi kemarahannya yang luar biasa pula. Saya membawa pemahaman ini kepada mereka agar mereka pun dapat melihat sesama seperti diri mereka sendiri.
Kehidupan bersama umat selama berada di stasi Waan dan Kolam menjadi pengalaman berharga yang tidak akan pernah saya lupakan. Pengalaman itu membuat saya untuk lebih berani menatap kehidupan panggilan saya sendiri. Harus saya akui bahwa masih banyak jurang dan bukit yang harus dilewati. Namun, saya percaya bahwa tangan Tuhan senantiasa menyertai diri saya, menguatkan diri saya untuk mempu bertolak ke tempat yang lebih dalam dan menebarkan jala sukacita keselamatan yang sudah Ia persembahkan terlebih dahulu kepada manusia pada umumnya dan saya khususnya.
Di akhir refleksi ini, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada bapak Uskup Keuskupan Agung Merauke yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengenal secara lebih mendalam situasi umat dan tempat saya akan berkiprah di keuskupan ini.
Dukungan sekecil apa pun punya arti yang besar, bagi perkembangan seseorang. Semoga refleksi tersebut berguna pula bagi kita sekalian, dan merupakan benih subur bagi munculnya panggilan imamat di tanah air kita, khususnya di Keuskupan Agung Merauke.
Komentar