NATAL DI KAMPUNG TANI - PERANCIS ( I )
RASANYA AMAT MENYESAL, bila cerita / pengalaman yang menarik dilewatkan / dibuang begitu saja. Terlebih cerita ini muncul dari pengalaman "merayakan Natal di kampung" di Perancis, sebuah negara maju - di Eropa. Karena itu, saya tuturkan sepenuhnya, cerita yang ditulis oleh Pater Herman Pongantung MSC, seorang misionaris asal Gorontalo - Indonesia, yang sudah 8 tahun berkarya di sana. Dia memulai ceritanya dengan menyapa terlebih dahulu konfraternya yang berada di banyak belahan dunia:
Saya menghaturkan selamat Natal bagi konfater semua.
Perayaan2 Natal baru saja lewat. Banyak dari kita sibuk selama masa itu. Yang menjabat pastor paroki tak kepalang repotnya. Saya juga merasakannya. Setelah itu, inilah saat yang baik utk saya berbagi pengalaman.
Sebelum masing-masing kita mulai berfantasi tentang apa atau bagaimana merancang perpisahan tahun, saya ingin membagi kisah Natal-ku buat konfrater. Sebuah sharing pengalaman di paroki saya. Sudah 4 bulan saya menjalani tugas yg diberikan oleh uskup Orléans, Jacque Blaqart.. Saya bekerja di paroki bernama Centre Bauche. Letaknya antara kota Orléans dan Paris. Sebuah kawasan pertanian. Tanahnya datar dan amat luas; sampai-sampai tempat ini mendapat julukan ‘lumbungnya Prancis’. Penghasilan utamanya: gandum, gula bit, kentang. Kalau tidak membosankan bagi pemandangan mata kita, ada dua bangunan indah menghiasi horizonnya, yang setiap kali kutatap dengan pandangan ngerih, yakni pada barisan kincir angin raksasa dan bangunan reaktor nuklir. Keduanya tak boleh dikunjungi/didekati. He ! Terbayang pemilik pohon mangga di kampung, yang tiap kali mengusir pergi anak-anak keras kepala, sekeras biji batu kartepel di dalam saku mereka.
Inilah pertama kalinya saya merayakan Natalan di paroki; sebagai pastor paroki di Eropa. Sebelumnya, selama 6 thn, saya hanya tinggal dalam biara dan menjadi anggota tim Basilika Issoudun. Terus terang, rasa ingin tahu saya jauh lebih besar mengenai kehidupan umat dan dinamika gereja (Eropa), apalagi saya hanya pastor pembantu, daripada sibuk menyumbangkan pikiran bagi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan Natal.
Menuju Natal.
Di ambang bulan Desember, pada pesta Sta Cecilia, orang kudus pelindung musik, saya menerima undangan Misa paroki, yang akan diselenggarakan di Neuville. Ini hal baru bagiku. Bahwa orang merayakan santa pelidung musik ini secara publik! Misa tersebut akan dipimpin oleh imam lain dan diiringi oleh orkes simphoni terbaik sedepartemen, bernama L’Orchestre d’Harmonie de Neuville (bisa kunjungi website). Wah, saya berminat sekali tentunya. Apalagi undangan diberikan langsung oleh organis saya selama misa-misa Natal dan sudah beberapa kali pada hari minggu biasa. Dia sendiri baru saja diangkat menjadi Chef Conductor orkestra Harmonie tersebut. Kami sebenarnya sudah saling mengenal sebelum saya ditugaskan ke paroki ini. Ketika itu kami saling bertemu dalam satu group bersama pada acara akbar JMJ (Jounée Mondiale de la Jeunesse/Hari Pemuda Sedunia), Agustus 2011, di Tarragon, Bacelona, sampai Madrid .
Sebagai Lagu Pembukaan misa dimainkan kisah La Marche des Rois, karya Geoges Bizet, dari abad 18.
De bon matin, j’ai rencontré le train
De trois grands Rois qui allaient en voyage
De bon matin, j’ai rencontré le train
De trois grands Rois dessus le grand chemin…
Di pagi benar, kuberpapasi dengan kereta api
Yg mengangkut tiga raja yang mengadakan perjalanan…)
Awal Desember, di jalanan kampung pertanian dan setiap rumah, mulai terhiasi. Toko-toko dan pusat pemukiman padat, arena public malah sudah mendahului dari semuanya. Seperti umumnya: ada pernik-pernik, Sinterklaas, St Nicolaus, Manusia Salju, lampu pohon pinus, lonceng, dll. Kesan paganisme, folklorik kuat tenggelam dalam malam berabad-abad silam. Semuanya hanya terpikir sepintas. Terlalu pongah untuk mendiskusinya dgn suara bathin. Karenanya perhatian saya lebih tertuju ke gedung Balai Pertemuan Umum (Salle Municipale). Di sana Orkestra Harmonie tampil lagi. Terbuka untuk umum. Malam itu, 4 Desember, pertunjukan dibuka oleh Wali Kota, yg sempat kujumpai hari kemarinnya di bangsal kota. Seluruh anggota simphoni mengenakan kostum St Nicolaus, warna cocacola. Mereka itu sebagian pemuda paroki, sebagian lain atheis. Saya benar-benar menikmati petunjukan tersebut seperti beberapa tahun lalu di Munster, di bawah dingin bersalju, saya menonton Philharmonie Munsters menampilkan Johann Sebastian Bach Weinacht.
Malam itu sebagian dimainkan lagu klasik, sebagian lain lagu rohani. Walaupun negara (state) ini menganut paham a-theis, toch, ada simbol2 tradisi kristiani dalam ruang publik. Sayangnya, peristiwa anticlerikalime yang disusul pemisahan Negara dan Agama masih jadi moment sejarah yang dengungannya diulang-ulang! Malam sebelumnya, sampai tengah malam, di sebuah bangsal desa, saya berdiskusi dengan seorang bapak yang benar-benar antiklerikalisme. Attitudenya aggresif. Akhir diskusi kami, dengan prinsipnya yang benar-benar mengecam gereja, ia mendekat dan berkata : «Maaf, saya bertanya, apakah saya bukan kristen? Tolong ampuni saya». Ada sebuah kesimpulan yang kutarik, tapi kusimpan saja dalam hati.
Tgl 10/11 Desember, giliran gabungan anak TK dan SD St Yosep ‘menduduki’ gedung Balai Pertemuan Umum. Mereka memainkan pentas drama kolosal natal, berdurasi 2 jam, selama dua hari berturut. Hari pertama pengunjung lebih dari seribu orang. Hari ke dua pengunjung masih lebih dari seribu. Tetap membludak. Drama itu berkisah dari KS tentang penciptaan dan ekologi: “Dengarlah tanah berbicara”. Karya beberapa guru katekese bersama. Dari tahun ke tahunnya, mereka meraup sukses besar. Untuk kota kecil yang dikitari kampung2 kecil dengan keluasan tanah pertanian, hal ini sudah membanggakan. Tapi yang lebih menarik, bahwa kerasulan anak-anak berevangelisasi di publik. Ternyata juga, bahwa orang tua muslim suka anak-anak mereka disekolahkan di sekolah katolik yang harus bayar uang sekolah, kendati di sekolah pemerintah niet betalen!
Seperti meniti anak tangga penanggalan, mendekati hari Natal, stasi-stasi sibuk mengundang pastor ‘merapatkan diri’, untuk membicarakan berjalannya liturgi Natal. Sudah ditetapkan dari tahun lalu, bahwa ada 5 misa untuk perayaan Natal. Jadi tidak semua stasi/kampung dapat giliran misa. Sementara paroki ini meliputi kl 32 stasi (masing-masing ada gerejanya), yang dilayani oleh 4 imam. Hasil pembicaraan itu segera diedit, lalu disebarkan ke seluruh umat stasi. Seperti selebaran Berita Mingguan paroki. Ini amat membantu, terlebih bagi yang tinggal di luar, atau Orléans atau Paris , yang hanya pulang kampung di saat week-end.
Week-end terakhir sebelum Natal , 17 Desmber. Giliran anak2 calon komuni (19 anak) tak mau ketinggalan. Mereka buat sesuatu yang special. Menghibur opa-oma di rumah jompo. Maka pkl 09.00 mereka sudah berkumpul di aula paroki. Apa yang mereka buat? Kegiatan membuat kado. Entah dari hutan mana, ada yang mengangkut sekarung buah pohon pinus. Disiapkan pula satu dos bintang, semprotan car perak/merah/kemuning, kado kecil, gunting, lem… Kemudian semuanya diramu oleh mereka sendiri. Sibuk benar, tampak dari kadar keributan mereka yang serba tergesa. Misi mereka, hari itu juga mau buat pertunjukan. Setelah persiapan kado selesai, giliran waktu singkat latihan beberapa lagu natal. Ada alat gitar akustik, trompet contra bas, suling recorder. Lagu andalan : Anak Yesus Dilahirkan (Il est né le divin enfant) dan Malam Kudus (Douce Nuit), dll. Habis makan siang di tempat, akhirnya semua berkemas menuju tujuan rumah jompo St Germain. Di bawah suhu udara di luar rumah 3°c, pipi-pipi putih halus pualam tampak merona merah kulit buah mangga matang.
Ada 180 opa-oma duduk rapih menunggu dengan tak sabar kapan saatnya cucu-cici beraksi. Sementara menunggu tersebut, ada saja keributan yang datangnya dari saling cemburu di antara mereka. Lucu. So tua ngana sayang…! Dan benar, ketika anak-anak itu bernyanyi dan irama musik, kaki tangan berkeriput yang sudah sering diam kaku, ikut menyanyi dan menari, gemetar antara keriangan atau parkinson! Lantas anak-anak menyerahkan kado-kado buat opa-oma. Ternyata di antara mereka yang masih menyimpak kado dari tahun yang lalu. Sore itu, sungguh, anak2 itu jadi idol dan buah bibir pembicaraan. Sampai natal tahun depan!
Saya dapat jatah merayakan Misa Natal di dua penghunian rumah jompo. Rumah jompo yang lama memiliki gereja kalpel sendiri, sementara bangunan rumah jompo baru hanya menyediakan sarana ruang makan untuk penyelenggaraan misa. Kesan saya, rumah-rumah jompo di sini bersih dan lux. Banyak sekali mempekerjakan tenaga kerja. BERSAMBUNG
Saya menghaturkan selamat Natal bagi konfater semua.
Perayaan2 Natal baru saja lewat. Banyak dari kita sibuk selama masa itu. Yang menjabat pastor paroki tak kepalang repotnya. Saya juga merasakannya. Setelah itu, inilah saat yang baik utk saya berbagi pengalaman.
Sebelum masing-masing kita mulai berfantasi tentang apa atau bagaimana merancang perpisahan tahun, saya ingin membagi kisah Natal-ku buat konfrater. Sebuah sharing pengalaman di paroki saya. Sudah 4 bulan saya menjalani tugas yg diberikan oleh uskup Orléans, Jacque Blaqart.. Saya bekerja di paroki bernama Centre Bauche. Letaknya antara kota Orléans dan Paris. Sebuah kawasan pertanian. Tanahnya datar dan amat luas; sampai-sampai tempat ini mendapat julukan ‘lumbungnya Prancis’. Penghasilan utamanya: gandum, gula bit, kentang. Kalau tidak membosankan bagi pemandangan mata kita, ada dua bangunan indah menghiasi horizonnya, yang setiap kali kutatap dengan pandangan ngerih, yakni pada barisan kincir angin raksasa dan bangunan reaktor nuklir. Keduanya tak boleh dikunjungi/didekati. He ! Terbayang pemilik pohon mangga di kampung, yang tiap kali mengusir pergi anak-anak keras kepala, sekeras biji batu kartepel di dalam saku mereka.
Inilah pertama kalinya saya merayakan Natalan di paroki; sebagai pastor paroki di Eropa. Sebelumnya, selama 6 thn, saya hanya tinggal dalam biara dan menjadi anggota tim Basilika Issoudun. Terus terang, rasa ingin tahu saya jauh lebih besar mengenai kehidupan umat dan dinamika gereja (Eropa), apalagi saya hanya pastor pembantu, daripada sibuk menyumbangkan pikiran bagi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan Natal.
Menuju Natal.
Di ambang bulan Desember, pada pesta Sta Cecilia, orang kudus pelindung musik, saya menerima undangan Misa paroki, yang akan diselenggarakan di Neuville. Ini hal baru bagiku. Bahwa orang merayakan santa pelidung musik ini secara publik! Misa tersebut akan dipimpin oleh imam lain dan diiringi oleh orkes simphoni terbaik sedepartemen, bernama L’Orchestre d’Harmonie de Neuville (bisa kunjungi website). Wah, saya berminat sekali tentunya. Apalagi undangan diberikan langsung oleh organis saya selama misa-misa Natal dan sudah beberapa kali pada hari minggu biasa. Dia sendiri baru saja diangkat menjadi Chef Conductor orkestra Harmonie tersebut. Kami sebenarnya sudah saling mengenal sebelum saya ditugaskan ke paroki ini. Ketika itu kami saling bertemu dalam satu group bersama pada acara akbar JMJ (Jounée Mondiale de la Jeunesse/Hari Pemuda Sedunia), Agustus 2011, di Tarragon, Bacelona, sampai Madrid .
Sebagai Lagu Pembukaan misa dimainkan kisah La Marche des Rois, karya Geoges Bizet, dari abad 18.
De bon matin, j’ai rencontré le train
De trois grands Rois qui allaient en voyage
De bon matin, j’ai rencontré le train
De trois grands Rois dessus le grand chemin…
Di pagi benar, kuberpapasi dengan kereta api
Yg mengangkut tiga raja yang mengadakan perjalanan…)
Awal Desember, di jalanan kampung pertanian dan setiap rumah, mulai terhiasi. Toko-toko dan pusat pemukiman padat, arena public malah sudah mendahului dari semuanya. Seperti umumnya: ada pernik-pernik, Sinterklaas, St Nicolaus, Manusia Salju, lampu pohon pinus, lonceng, dll. Kesan paganisme, folklorik kuat tenggelam dalam malam berabad-abad silam. Semuanya hanya terpikir sepintas. Terlalu pongah untuk mendiskusinya dgn suara bathin. Karenanya perhatian saya lebih tertuju ke gedung Balai Pertemuan Umum (Salle Municipale). Di sana Orkestra Harmonie tampil lagi. Terbuka untuk umum. Malam itu, 4 Desember, pertunjukan dibuka oleh Wali Kota, yg sempat kujumpai hari kemarinnya di bangsal kota. Seluruh anggota simphoni mengenakan kostum St Nicolaus, warna cocacola. Mereka itu sebagian pemuda paroki, sebagian lain atheis. Saya benar-benar menikmati petunjukan tersebut seperti beberapa tahun lalu di Munster, di bawah dingin bersalju, saya menonton Philharmonie Munsters menampilkan Johann Sebastian Bach Weinacht.
Malam itu sebagian dimainkan lagu klasik, sebagian lain lagu rohani. Walaupun negara (state) ini menganut paham a-theis, toch, ada simbol2 tradisi kristiani dalam ruang publik. Sayangnya, peristiwa anticlerikalime yang disusul pemisahan Negara dan Agama masih jadi moment sejarah yang dengungannya diulang-ulang! Malam sebelumnya, sampai tengah malam, di sebuah bangsal desa, saya berdiskusi dengan seorang bapak yang benar-benar antiklerikalisme. Attitudenya aggresif. Akhir diskusi kami, dengan prinsipnya yang benar-benar mengecam gereja, ia mendekat dan berkata : «Maaf, saya bertanya, apakah saya bukan kristen? Tolong ampuni saya». Ada sebuah kesimpulan yang kutarik, tapi kusimpan saja dalam hati.
Tgl 10/11 Desember, giliran gabungan anak TK dan SD St Yosep ‘menduduki’ gedung Balai Pertemuan Umum. Mereka memainkan pentas drama kolosal natal, berdurasi 2 jam, selama dua hari berturut. Hari pertama pengunjung lebih dari seribu orang. Hari ke dua pengunjung masih lebih dari seribu. Tetap membludak. Drama itu berkisah dari KS tentang penciptaan dan ekologi: “Dengarlah tanah berbicara”. Karya beberapa guru katekese bersama. Dari tahun ke tahunnya, mereka meraup sukses besar. Untuk kota kecil yang dikitari kampung2 kecil dengan keluasan tanah pertanian, hal ini sudah membanggakan. Tapi yang lebih menarik, bahwa kerasulan anak-anak berevangelisasi di publik. Ternyata juga, bahwa orang tua muslim suka anak-anak mereka disekolahkan di sekolah katolik yang harus bayar uang sekolah, kendati di sekolah pemerintah niet betalen!
Seperti meniti anak tangga penanggalan, mendekati hari Natal, stasi-stasi sibuk mengundang pastor ‘merapatkan diri’, untuk membicarakan berjalannya liturgi Natal. Sudah ditetapkan dari tahun lalu, bahwa ada 5 misa untuk perayaan Natal. Jadi tidak semua stasi/kampung dapat giliran misa. Sementara paroki ini meliputi kl 32 stasi (masing-masing ada gerejanya), yang dilayani oleh 4 imam. Hasil pembicaraan itu segera diedit, lalu disebarkan ke seluruh umat stasi. Seperti selebaran Berita Mingguan paroki. Ini amat membantu, terlebih bagi yang tinggal di luar, atau Orléans atau Paris , yang hanya pulang kampung di saat week-end.
Week-end terakhir sebelum Natal , 17 Desmber. Giliran anak2 calon komuni (19 anak) tak mau ketinggalan. Mereka buat sesuatu yang special. Menghibur opa-oma di rumah jompo. Maka pkl 09.00 mereka sudah berkumpul di aula paroki. Apa yang mereka buat? Kegiatan membuat kado. Entah dari hutan mana, ada yang mengangkut sekarung buah pohon pinus. Disiapkan pula satu dos bintang, semprotan car perak/merah/kemuning, kado kecil, gunting, lem… Kemudian semuanya diramu oleh mereka sendiri. Sibuk benar, tampak dari kadar keributan mereka yang serba tergesa. Misi mereka, hari itu juga mau buat pertunjukan. Setelah persiapan kado selesai, giliran waktu singkat latihan beberapa lagu natal. Ada alat gitar akustik, trompet contra bas, suling recorder. Lagu andalan : Anak Yesus Dilahirkan (Il est né le divin enfant) dan Malam Kudus (Douce Nuit), dll. Habis makan siang di tempat, akhirnya semua berkemas menuju tujuan rumah jompo St Germain. Di bawah suhu udara di luar rumah 3°c, pipi-pipi putih halus pualam tampak merona merah kulit buah mangga matang.
Ada 180 opa-oma duduk rapih menunggu dengan tak sabar kapan saatnya cucu-cici beraksi. Sementara menunggu tersebut, ada saja keributan yang datangnya dari saling cemburu di antara mereka. Lucu. So tua ngana sayang…! Dan benar, ketika anak-anak itu bernyanyi dan irama musik, kaki tangan berkeriput yang sudah sering diam kaku, ikut menyanyi dan menari, gemetar antara keriangan atau parkinson! Lantas anak-anak menyerahkan kado-kado buat opa-oma. Ternyata di antara mereka yang masih menyimpak kado dari tahun yang lalu. Sore itu, sungguh, anak2 itu jadi idol dan buah bibir pembicaraan. Sampai natal tahun depan!
Saya dapat jatah merayakan Misa Natal di dua penghunian rumah jompo. Rumah jompo yang lama memiliki gereja kalpel sendiri, sementara bangunan rumah jompo baru hanya menyediakan sarana ruang makan untuk penyelenggaraan misa. Kesan saya, rumah-rumah jompo di sini bersih dan lux. Banyak sekali mempekerjakan tenaga kerja. BERSAMBUNG
Komentar