SESNUKT 2010
Sesnukt adalah nama sebuah kampung (desa) kecil yang terletak di dekat muara kali (sungai) Muyu. Pada umumnya kampung ini dijangkau dari Mindiptana melalui kali Kao dan kemudian menyusur kali Muyu. Perjalanan seluruhnya memakan waktu 2 jam dengan perahu panjang bermesin Yamaha 40Pk dari Anggamburan, atau 4 jam dari Mindiptana. Di sepanjang sungai, banyak dijumpai aneka pohon dan satwa liar yang sering tidak dijumpai di tempat-tempat lain: kupu-kupu, burung taon-taon, burung elang, nuri, kakak tua, kelawar jenis besar dll.
Ketika tiba di Sesnukt, umat yang sudah siap untuk menjemput rombongan uskup, merapat ke pelabuhan. Uskup mendapat pengalungan bunga, lalu dihantar menuju ke tempat penginapan. Ruangannya nampak baru dan bersih. Memang mereka mempersiapkan semua itu dengan penuh kegembiraan. Kampung juga tampak bersih dan teratur. Di sana ada 2 generator yang siap untuk menerangi kampung itu pada waktu malam.
Dulu, kalau pergi ke mana-mana,para misionaris harus membawa banyak barang: kelambu, alat tidur, bahan makanan, lampu petromax, alat-alat misa, alat-alat masak, keperluan umat dll. Sekarang ini, banyak hal telah dipermudah. Umat sudah bisa dan bahkan rela menyediakan makan bagi para pastor yang melayani mereka. Mereka menyiapkan kamar tidur dan makanan yang lezat dan enak. Sayur-sayuran dan buah-buahan, diambil dari kebun sendiri, sehingga tidak mengandung bahan pengawet. Ini merupakan suatu tanda kemajuan dalam kemandirian dan partisipasi umat.
Ketika uskup tiba di tempat penginapan, memberikan sambutan sebagai ucapan terima kasih atas penyambutan dari umat, dan akan memberikan berkat, tiba-tiba hujan turun. Yang membawa payung, segera membuka payungnya agar tidak basah, dan yang lain membiarkan dirinya diguyur hujan. Setelah doa selesai, hujan mulai reda, kemudian reda hingga keesokan harinya tidak ada hujan sama sekali. Hujan turun hanya beberapa menit, dan hanya di seputaran rumah penginapan uskup. Benar-benar hujan berkat.
Di kampung itu, dilaksanakan pemberkatan gereja baru dan kemudian penerimaan sakramen krisma kepada 64 orang. Mereka itu berasal dari 4 stasi, dan berasal dari banyak wilayah di tanah air ini. Pada misa syukur tanggal 16 Agustus 2010 itu, yang nampak adalah wajah “Gereja Indonesia Mini”: putra/i Papua, Jawa, Manado, Flores, Kei, Tanimbar, Sumatra dll, bahkan beberapa di antaranya adalah orang-orang dari Korea yang bekerja di Perusahaan Kayu PT Korindo – Asiki.
Perusahaan Kayu telah membuat jalan di wilayah itu, untuk memperlancar pengangkutan kayu dari hutan ke tempat pengolahan kayu. Keuntungannya adalah kampung-kampung yang dulunya terpencil, kini sudah bisa dijangkau dengan jalan darat. Pada saat musim panas, jarak 100 km bisa ditempuh dalam waktu 2 jam. Masyarakat bisa menjual / membeli barang kebutuhan di pasar, dan sore hari sudah bisa sampai di rumah, dengan menumpang mobil / truck perusahaan, atau dengan sepeda motor. Jalan-jalan yang ada masih berupa jalan tanah liat yang dikeraskan, dan selalu diperbaiki agar truck-truck dengan muatan kayu logging panjang yang beratnya sekitar 60 – 70 ton bisa melaju dengan lancar.
Para karyawan Korindo dibuatkan penginapan, di beberapa wilayah pemukiman. Satu tempat pemukiman didiami sekitar 200 – 300 orang (karyawan dan keluarga mereka). Di sana disiapkan pula oleh Korindo tanki air bersih, sarana hiburan dan olah raga, dan listrik selama 24 jam gratis. Ini suatu bantuan yang lumayan. Pada waktu malam, pemukiman-pemukiman ini nampak seperti “rangkaian mutiara”.
Jauhnya tempat pemukiman, terbatasnya sarana transportasi, jumlah penduduk yang amat sedikit, tidak adanya pasar, amat menyulitkan pemerintah untuk membangun dan memperkembangkan masyarakat. Perkembangan fisik, dan perluasan jangkauan tidak dengan sendirinya menjamin pengembangan “sumber daya manusia”.
Korindo sebagai perusahaan tentu mengutamakan “suksesnya usaha bisnis mereka” ketimbang memikirkan perkembangan / mutu / kesehatan karyawan. Bagi mereka lebih gampang memberikan bantuan sedikit dana, daripada memikirkan kemajuan masyarakat lokal yang memiliki hutan tropis itu. Nampaknya perusahaan yang telah beroperasi lebih dari 15 tahun itu, lebih memilih memberikan bantuan dana (bila diminta) daripada sibuk-sibuk mengurusi / berperan dalam pengembangan masyarakat lokal.
Memang perlu digugah (dan sungguh dituntut), agar mereka yang telah mendapatkan banyak keuntungan dari wilayah itu, juga turut memperhatikan / peduli pada pengembangan masyarakat lokal. Masyarakat lokal juga punya hak untuk hidup layak dan bisa berperan dalam pembangunan daerah mereka. Kalau mereka dibantu dalam bidang pendidikan, kesehatan dan pengembangan lainnya, itulah andil utama dari perusahaan yang mengelola kekayaan alam masyakarat.
Memperhatikan masyarakat yang belum maju memang repot, dan perlu pengorbanan panjang. Namun, keberanian untuk ambil peduli pada kehidupan orang lain, merupakan suatu keutamaan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain selain manusia. Hanya manusialah yang bisa melaksanakannya, karena manusia diberi akal budi dan hati nurani oleh Sang Pencipta.
Ketika tiba di Sesnukt, umat yang sudah siap untuk menjemput rombongan uskup, merapat ke pelabuhan. Uskup mendapat pengalungan bunga, lalu dihantar menuju ke tempat penginapan. Ruangannya nampak baru dan bersih. Memang mereka mempersiapkan semua itu dengan penuh kegembiraan. Kampung juga tampak bersih dan teratur. Di sana ada 2 generator yang siap untuk menerangi kampung itu pada waktu malam.
Dulu, kalau pergi ke mana-mana,para misionaris harus membawa banyak barang: kelambu, alat tidur, bahan makanan, lampu petromax, alat-alat misa, alat-alat masak, keperluan umat dll. Sekarang ini, banyak hal telah dipermudah. Umat sudah bisa dan bahkan rela menyediakan makan bagi para pastor yang melayani mereka. Mereka menyiapkan kamar tidur dan makanan yang lezat dan enak. Sayur-sayuran dan buah-buahan, diambil dari kebun sendiri, sehingga tidak mengandung bahan pengawet. Ini merupakan suatu tanda kemajuan dalam kemandirian dan partisipasi umat.
Ketika uskup tiba di tempat penginapan, memberikan sambutan sebagai ucapan terima kasih atas penyambutan dari umat, dan akan memberikan berkat, tiba-tiba hujan turun. Yang membawa payung, segera membuka payungnya agar tidak basah, dan yang lain membiarkan dirinya diguyur hujan. Setelah doa selesai, hujan mulai reda, kemudian reda hingga keesokan harinya tidak ada hujan sama sekali. Hujan turun hanya beberapa menit, dan hanya di seputaran rumah penginapan uskup. Benar-benar hujan berkat.
Di kampung itu, dilaksanakan pemberkatan gereja baru dan kemudian penerimaan sakramen krisma kepada 64 orang. Mereka itu berasal dari 4 stasi, dan berasal dari banyak wilayah di tanah air ini. Pada misa syukur tanggal 16 Agustus 2010 itu, yang nampak adalah wajah “Gereja Indonesia Mini”: putra/i Papua, Jawa, Manado, Flores, Kei, Tanimbar, Sumatra dll, bahkan beberapa di antaranya adalah orang-orang dari Korea yang bekerja di Perusahaan Kayu PT Korindo – Asiki.
Perusahaan Kayu telah membuat jalan di wilayah itu, untuk memperlancar pengangkutan kayu dari hutan ke tempat pengolahan kayu. Keuntungannya adalah kampung-kampung yang dulunya terpencil, kini sudah bisa dijangkau dengan jalan darat. Pada saat musim panas, jarak 100 km bisa ditempuh dalam waktu 2 jam. Masyarakat bisa menjual / membeli barang kebutuhan di pasar, dan sore hari sudah bisa sampai di rumah, dengan menumpang mobil / truck perusahaan, atau dengan sepeda motor. Jalan-jalan yang ada masih berupa jalan tanah liat yang dikeraskan, dan selalu diperbaiki agar truck-truck dengan muatan kayu logging panjang yang beratnya sekitar 60 – 70 ton bisa melaju dengan lancar.
Para karyawan Korindo dibuatkan penginapan, di beberapa wilayah pemukiman. Satu tempat pemukiman didiami sekitar 200 – 300 orang (karyawan dan keluarga mereka). Di sana disiapkan pula oleh Korindo tanki air bersih, sarana hiburan dan olah raga, dan listrik selama 24 jam gratis. Ini suatu bantuan yang lumayan. Pada waktu malam, pemukiman-pemukiman ini nampak seperti “rangkaian mutiara”.
Jauhnya tempat pemukiman, terbatasnya sarana transportasi, jumlah penduduk yang amat sedikit, tidak adanya pasar, amat menyulitkan pemerintah untuk membangun dan memperkembangkan masyarakat. Perkembangan fisik, dan perluasan jangkauan tidak dengan sendirinya menjamin pengembangan “sumber daya manusia”.
Korindo sebagai perusahaan tentu mengutamakan “suksesnya usaha bisnis mereka” ketimbang memikirkan perkembangan / mutu / kesehatan karyawan. Bagi mereka lebih gampang memberikan bantuan sedikit dana, daripada memikirkan kemajuan masyarakat lokal yang memiliki hutan tropis itu. Nampaknya perusahaan yang telah beroperasi lebih dari 15 tahun itu, lebih memilih memberikan bantuan dana (bila diminta) daripada sibuk-sibuk mengurusi / berperan dalam pengembangan masyarakat lokal.
Memang perlu digugah (dan sungguh dituntut), agar mereka yang telah mendapatkan banyak keuntungan dari wilayah itu, juga turut memperhatikan / peduli pada pengembangan masyarakat lokal. Masyarakat lokal juga punya hak untuk hidup layak dan bisa berperan dalam pembangunan daerah mereka. Kalau mereka dibantu dalam bidang pendidikan, kesehatan dan pengembangan lainnya, itulah andil utama dari perusahaan yang mengelola kekayaan alam masyakarat.
Memperhatikan masyarakat yang belum maju memang repot, dan perlu pengorbanan panjang. Namun, keberanian untuk ambil peduli pada kehidupan orang lain, merupakan suatu keutamaan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain selain manusia. Hanya manusialah yang bisa melaksanakannya, karena manusia diberi akal budi dan hati nurani oleh Sang Pencipta.
Komentar