KUPU-KUPU AIR
Belum pernah saya lihat, binatang-binatang berwarna putih itu asyik beterbangan. Mereka beterbangan ke sana ke mari dengan bebas, di sepanjang sungai, mengitari dan menyusuri pinggir sungai. Jumlahnya ribuan. Mereka menikmati alam dan sungguh-sungguh bebas dalam dunia dan menurut irama hidup mereka. Itulah kupu-kupu air yang hidup di sepanjang sungai Kao – Mindiptana – Kab. BovenDigoel – Merauke.
Yang mengagumkan adalah mereka terbang hanya beberapa centimeter di atas permukaan air. Air dengan diri mereka seakan dua sahabat yang amat akrab dan tidak boleh berpisah. Bahkan mereka “menikmati air,” air bagaikan sang sahabat yang amat akrab dengan mereka itu. Wow ......“menikmati air” .......betapa asyiknya, namun bagaimana caranya ?
Mereka terbang di atas permukaan air, dengan badan bagian ekor menempel di air. Mereka nampak kayak kapal-kapal amphibi kecil, berwarna putih yang berjalan di atas air. Luar biasa….. suatu pemandangan yang amat langka, dan tidak ada duanya di tanah Papua Selatan. Sayang kamera yang ada tidak mampu mengabadikan “persahabatan kupu-kupu dangan air itu”.
Berumur pendek
Umur mereka ternyata hanya beberapa jam. Setelah puas terbang, menjalin persahabatan dengan air, sambil mendewasakan diri, dan memberikan “pemandangan / penampilan yang mengagumkan” akhirnya mereka mati. Mungkin pula sebelum mereka mati, terlebih dulu kawin / bertelur sehingga generasi berikutnya akan muncul lagi.
Siapa yang mengajar mereka untuk tetap “menjalin persahabatan dengan air” ? Siapa yang memberitahu mereka bahwa tanda “persahabatan itu dilaksanakan dengan cara “menempelkan bagian ekor ke air ?”. Siapa yang menyiapkan mental mereka untuk menerima kenyataan bahwa umur mereka amat pendek dan sesudah “melihat dan menikmati dunia ini” mereka siap-siap untuk mati ?
Mungkin induk-induk merekalah yang menanamkan “jiwa ksatria” kepada anak-anak mereka ketika mereka masih dalam wujud telur. Betapa hebatnya mereka, dan patut dipuji dan ditiru. Dalam waktu yang amat singkat itu, mereka tetap menanamkan sesuatu yang amat penting dan mendasar bagi anak cucu mereka. Mereka menyadari bahwa “jiwa ksatria itu penting, merupakan jati diri dan keistimewaan mereka. Mereka bertanggung jawab untuk meneruskannya kepada generasi berikutnya. Waktu yang amat singkat bukanlah halangan atau alasan untuk menolak atau menghindari kewajiban itu. Penanaman jiwa ksatria merupakan mandat / perutusan yang amat mulia. Mereka juga yakin bahwa penanaman jiwa juga merupakan tindakan ksatria.
Jiwa ksatria itu diterima anak-anak mereka terima dengan lapang dada, penuh penyerahan dan keterbukaan dan “kerendahan hati”, dan bukan sebagai nasib buruk yang harus dielakkan dan ditolak. Meski umur mereka singkat, namun mereka telah memberikan arti dan makna bagi dunia.
Mokbiran, 15 Agustus 2010.
Komentar