29 NOVEMBER 2012

PEMBACA BLOG YANG BUDIMAN

SYALOOM....

BERIKUT INI ADALAH CERITA PERJALANAN SAYA KE PEDALAMAN bersama beberapa rekan yang untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di bumi Merauke. Mari kita ikuti ceritanya.

Tanggal 29 November 2012 setelah terbang 8 jam dari Jakarta, tibalah ibu Lily Tanila, ibu Regina Lanny, dan ibu Rini di Merauke dengan pesawat Merpati. Mereka hanya sempat beristirahat sejenak di wisma uskup, kemudian melanjutkan perjalanan ke Tanah Merah dengan menggunakan mobil. Perjalanan dari Merauke ke Tanah Merah diperkirakan 10 jam.
Dalam perjalanan menuju ke Tanah Merah, ada beberapa desa yang dilewati, yaitu Sota, Erambu, Kweel, Bupul, Muting, Muting III, Kali Mandom, Camp 19, Camp 17. Jarak yang ditempuh adalah 400 km. Saat ini musim panas, sehingga jalanan cukup keras meskipun jalan itu belum diaspal. Sebagian besar jalan sudah diperbaiki dan diaspal kembali sehingga kelancaran perjalanan lebih terjamin.
Dua mobil meluncur menuju ke Bupul. Mobil Strada ditumpangi 2 suster, dan mobil Inova ditumpangi uskup, dan 3 rekan dari Jakarta. Setelah melewati Erambu ( 160 km ) dari Merauke, mobil strada mengalami gangguan mesin. Air di radiator mendidih, juga yang ada di mesin. Untunglah di sekitar itu ada air, sehingga segera kami menambahkan air agar kadar panasnya menurun. Air yang ditambahkan telah dapat menurunkan suhu mesin, namun terdengar bunyi yang agak kasar. Syukurlah mobil ini, smasih bisa melanjutkan perjalanan sampai di Bupul. Mobil ini dan pak sopir kami tinggalkan di Bupul, sedangkan mobil inova melanjutkan perjalanan ke Tanah Merah.
Perjalanan sungguh amat lancar, dan kami tidak mengalami hambatan yang berarti. Ketika memasuki daerah perkebunan kelapa sawit, matahari sudah hampir terbenam. Kami tidak begitu mengenal jalan-jalan di sekitar perkebunan itu. Untuk meyakinkan diri bahwa kami tidak tersesat, kami bertanya kepada seorang sopir truk yang kebetulan berpapasan dengan kami. Dengan jelas, pak sopir memberikan informasi bahwa kami harus belok ke kiri dan kemudian sampai di Camp 19. Pemukiman itu disebut Camp 19, karena jaraknya 19 km dari pusat perkantoran perusahaan sawit milik PT Korindo.
Setelah memasuki Camp 19, kami mengalami keraguan lagi, apakah kami harus belok ke kiri atau terus. Dalam keraguan itu, kami mengikuti 2 orang yang mengendarai sepeda motor. Mereka kemudian memasuki suatu pemukiman. Kepada seorang pemilik kios kami bertanya ke mana jalan yang menuju Tanah Merah. Bapak itu dengan senang hati menggambar denah, sehingga dengan denah itu, kami dengan mudah keluar dari kompleks perkebunan sawit. Syukur kami mendapatkan pertolongan dari bapak tadi, meskipun tidak sekolah setingkat universitas, namun informasi yang diberikan sungguh amat membantu. Kami tidak tersesat.
Setelah melewati perkebunan sawit, jarak yang masih harus ditempuh adalah 90 km. Mengingat bahwa kami tidak begitu mengenal jalan di sekitar itu, kendaraan kami tidak melaju kencang. Ketika sudah mendekati kota Tanah Merah, ada mobil inova yang terjebak di lumpur-lumpur. Sudah 7 hari tidak hujan, namun sore itu ada hujan lebat sehingga tanah menjadi basah dan berlumpur. Karena berjuang sendiri, kanvasnya sudah habis, dan bau kanvas yang terbakar tercium dari kejauhan. Mobil inova itu dicoba ditolong oleh mobil Hiline, namun gagal. Akhirnya mobil Hiline itu, melanjutkan perjalanan.
Kami menunggu giliran untuk lewat, dan hendak minta bantuan mobil lain, bila nanti mobil kami terjebak lumpur. Cukup lama kami menunggu giliran, sambil berpikir bagaimana bisa keluar dari jebakan lumpur, dan kepada siapa kami minta tolong. Mobil inova kami rasanya sulit menembus lumpur dengan kekuatan sendiri.  Tidak disangka-sangka, kami bertemu dengan seorang kenalan yang sudah mengenal medan itu. Kenalan ini dengan senang hati menuntun mobil kami. Mobil kami ketika hendak terpeleset ditahan beramai-ramai oleh beberapa orang sehingga akhirnya halangan ini terlalui.
Hambatan terakhir terjadi di Kampung Kuda, sekitar 5 km dari Tanah Merah. Jembatan di tempat itu sedang diperbaiki. Semua mobil harus melalui jembatan darurat yang becek dan berlumpur. Di tengah jembatan itu, ada sebuah truk yang mogok, padahal muatannya banyak sekali. Untunglah ada celah di antara jembatan dan truk itu, sehingga mobil-mobil kecil bisa lewat. Saya berjalan kaki di jembatan berlumpur itu, kemudian minta rekan yang saya kenal tadi mengantar saya ke Tanah Merah untuk meminta bantuan.
Mobil Inova, dengan 3 rekan dan sopir saya tinggalkan. Setibanya di Tanah Merah saya segera meminta bantuan, agar ada mobil yang dapat menarik Inova ketika melewati jembatan berlumpur. Bantuan telah siap dan mereka meluncur ke Kampung Kuda. Setelah berjuang keras, akhirnya kedua mobil tiba dengan selamat di Tanah Merah. Perjalanan Merauke Tanah Merah, yang biasanya ditempuh dalam waktu 10 jam, hari itu ditempuh selama 14 jam. Kami semua lega telah tiba di tempat tujuan.
Syukur kepada Allah, rekan-rekan dari Jakarta bisa beristirahat (tidur) selama dalam perjalanan, dengan menumpang Inova yang ber-ac sehingga cukup nyaman. Itulah untuk pertama kalinya, mobil tersebut yang telah berumur  7 tahun, sampai di Tanah Merah. Syukurlah bahwa kami tidak mendapatkan halangan yang berarti. Bahkan kami mengalami kebaikan Tuhan yang luar biasa. Di tengah keraguan “bisakah kami lewat tanpa bantuan mobil lain ?” dan pertanyaan “siapakah yang akan membantu kami” Tuhan memberikan rekan-rekan sebanyak 1 mobil untuk menolong kami.  Ketika rekan-rekan kami kesulitan tali untuk mengandeng Inova, tiba-tiba ditemukan kawat baja yang amat panjang, tergeletak di sekitar mobil dan dengan tali itu, mobil kami tertolong.
Dia mengerti kami, dan telah memberikan pertolongan-Nya kepada kami. Maka tidak ada kata lain yang bisa dihaturkan kepada-Nya selain terima kasih. Juga terima kasih kepada mereka yang telah dengan rela hati menolong kami di lokasi berlumpur. Di tempat yang tidak enak, ternyata ada kebaikan, ada kerelaan berkorban, ada kesetiakawanan. Di tempat yang sulit, ternyata ada “tangan-tangan yang terberkati yang telah menyalurkan rahmat Tuhan”. 

Komentar

Postingan Populer