26 DESEMBER 2012

PEMBACA YANG BUDIMAN
SYALOOM....
SELAMAT NATAL saya haturkan kepada anda sekalian, pembaca setia blog ini. Semoga kasih Allah yang mewujud dalam diri Yesus, yang diimani oleh umat kristiani, buah-buahnya dirasakan juga oleh saudara-saudari yang berkeyakinan non kristiani. Saya hadirkan di sini "dialog antara saya dengan pihak perusahaan yang telah berinvestasi di Merauke". Selamat membaca:

Hari Rabu, 26 Desember   2012, jam 11.00 saya menerima kunjungan dari orang-orang penting dari Perusahaan Medco-Group yang membuka perkebunan di wilayah muara sungai Bian – Kabupaten Merauke. Mereka adalah Bpk Sukiman, Bpk James, Bpk Meldy dan Bpk Sadrak. Dari pihak keuskupan hadir pada kesempatan itu, Mgr Niko dan Bpk Harry Woersok. Selain kami saling mengucapkan selamat natal, kunjungan tersebut dimaksudkan untuk saling mengenal, memperakrab persaudaraan dan memperdalam saling pengertian antara pihak Perusahaan, Masyarakat setempat dan Keuskupan.
Mgr Niko menjelaskan bahwa menurut program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) Merauke akan dijadikan lumbung pangan dan energi secara nasional. Program yang dicanangkan pada tahun 2010 telah disambut dengan penuh semangat oleh para investor, mengingat tanah di wilayah selatan Papua itu, subur, luas dan rata. Ada banyak sungai besar yang dapat dilewati kapal-kapal dengan bobot di atas 25.000 ton.  Itulah sebabnya, ada 46 investor yang berminat untuk menanam modalnya di wilayah ini.  
Pada umumnya para investor itu telah mengantongi ijin dari Pemerintah pusat untuk mengelola hutan seluas 2,15 juta hektar. Ijin tersebut telah disertai pula dengan peta tentang luas lahan yang boleh mereka kelola selama 35 tahun. Ada investor yang memperoleh 2.500 ha, yang lain memperoleh di atas 10.000 ha dan yang paling besar luasnya 301.000 ha dikelola oleh salah satu perusahaan di bawah payung Medco-Group.  
“Saya berterima kasih kepada para investor yang berani masuk ke daerah-daerah yang sulit. Kehadiran para investor ini memang sangat dibutuhkan. Mereka harus memfasilitasi sendiri dan menyediakan apa saja yang diperlukan. Tanpa kehadiran dan peran serta para investor, perkembangan suatu daerah akan lambat sekali. Pemda tidak mungkin mengembangan dan memajukan masyarakatnya dengan kekuatan sendiri. Pemda butuh partner untuk bersama-sama membangun masyarakat. Tentu yang dimaksudkan adalah investor yang berkehendak baik untuk turut membangun masyarakat secara benar dan adil”.
Sesuai dengan keyakinan masyarakat, tanah adalah milik mereka yang diwariskan oleh nenek moyang kepada mereka, untuk kehidupan mereka dan anak-cucu mereka. Mereka memang didekati dan diberi informasi (sosialisasi) bahwa ada perusahaan yang akan masuk ke wilayah mereka. Kepada mereka diberikan sejumlah uang, yang disebut tali asih (uang buka pintu, supaya diterima sebagai keluarga). Lalu mereka dan pihak perusahaan menandatangai “surat perjanjian”.  Namun (penulis mendengar langsung dari para pemilik tanah) apa isi perjanjian itu mereka tidak paham, karena tidak diberi waktu untuk mempelajarinya lebih dahulu, dan “dokumen perjanjian itu” semuanya dibawa oleh utusan pihak perusahaan. Masyarakat sampai hari ini tidak pegang dokumen itu.  Apakah “surat perjanjian” itu betul-betul surat perjanjian, atau “jual beli” atau perjanjian sewa-menyewa, tidak ada masyarakat, camat, pemda atau lembaga mana pun yang tahu.  Kenyataannya, masyarakat pemilik tanah, saat ini hidup di dalam area perusahaan. Lebih parah lagi, mereka kini kehilangan hak atas kepemilikan dan pengelolaan tanah selama 25 tahun, tanpa mereka tahu.
Sejauh pengamatan dan peninjauan di lapangan, tanggal 9 Desember 2012 yang lalu, luas perkampungan masyarakat lokal di desa Senegi, hanya sekitar 2 hektar. Lahan yang lain telah dikuasai oleh Perusahaan. Ada beberapa petak lahan yang disiapkan untuk persemaian tanaman karet. Desa mereka “dikurung oleh hutan / area perusahaan”.  Akibat lebih lanjut, mereka sulit untuk mendapatkan air bersih, karena rawa-rawa ada di area perusahaan, tanaman sagu sebagian sudah ditimbun, sehingga mereka kesulitan mendapatkan makanan pokok. Juga binatang buruan sudah menjauh karena “tidak aman” dan habitat mereka terganggu.
Uskup bertanya: “bila tanah anda, tiba-tiba diambil alih oleh orang lain, dan anda hanya diberikan ganti rugi “sekian rupiah yang diputuskan secara sepihak, apakah anda mau ?”.  Mereka menjawab: “kami tidak mau”.  Inilah yang terjadi di kalangan masyarakat asli Papua. Tanah mereka diambil alih oleh pihak lain, tanpa pembicaraan yang baik, benar, adil dan melegakan. Mereka tidak menyadari bahwa sekian ribu hektar tanah mereka telah berpindah tangan, dengan pembayaran yang tidak jelas. Uang yang diserahkan itu adalah uang sewa atau uang jual beli ?  Pertanyaan yang muncul adalah “mengapa masyarakat sebagai pihak pertama (pemilik tanah) tidak diberi dokumen itu ?”   Ke mana mereka harus meminta dokumen itu ?  Mengapa pihak kedua berkeberatan menyerahkan dokumen itu ?   
Bila yang diambil alih hanya beberapa hektar, tentu masyarakat tidak akan mengalami kesulitan yang berarti, karena mereka masih tetap bisa ke hutan dan melaksanakan aktivitas sehari-hari. Tetapi, ketika perusahaan mengambil hampir semua lahan mereka, itu berarti kehidupan mereka terancam. Mereka yang menggantungkan hidupnya dari hasil hutan, akan sangat menderita. Mereka tidak siap dan tidak sanggup menghadapi perubahan yang begitu mendadak ini. Mereka harus ditolong dan didorong agar dapat mengikuti perkembangan yang terjadi di wilayah mereka.
Perusahaan punya uang, masyarakat punya tanah. Ini berarti kedua pihak harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Di negara anda, tentu anda tidak bisa membuat perjanjian seperti yang terjadi di wilayah ini. Kalau  begitu, buatlah juga untuk masyarakat tersebut seperti yang terjadi di negara anda. Masyarakat juga ingin hidup dan berkembang secara baik dan adil. Perusahaan anda yang datang ke tempat ini, perlu dan bertanggung jawab untuk memfasilitasi perkembangan itu.
Mereka katakan: “ kami telah memberikan “piring nasi  dan semua isinya kepada perusahaan”, lalu “apa yang perusahaan berikan kepada kami ?”.  Hutan kami (hidup kami) sudah kalian ambil, lalu hidup kami kalian atur bagaimana ?   Tanpa kalian kami sudah hidup, bahkan berkelimpahan. Mengapa kalian membuat kami hidup dalam kesulitan ? Kami tidak punya apa-apa lagi di tanah kami sendiri.
Atas masukan dari uskup tadi, lahan kehidupan bagi masyarakat setempat juga akan dipetakan, sehingga mereka tetap dapat berburu di hutan, mengambil hasil hutan, memancing, mengambil kayu bakar dll.  Juga diusulkan adanya perjanjian sewa-menyewa tanah secara jelas, berapa rupiah per hektar per tahun, berapa luas tanah yang disewa, dan untuk jangka waktu berapa tahun ?  Dokumen-dokumen tentang sewa-menyewa itu, harus ada juga di tangan masyarakat. Bila hal itu terjadi, perusahaan akan dengan aman dan damai melaksanakan kegiatan investasi di bumi Papua ini. Masyarakat Marind – penduduk
Bapak James menyatakan bahwa pihak perusahaan bertekad untuk membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Ada program-program yang telah direncanakan. Beliau baru menyadari bahwa penduduk lokal “dikurung oleh area perusahaan”. Hal ini akan ditinjau lebih lanjut, dan akan dibicarakan bersama antara pihak perusahaan, tokoh-tokoh masyarakat dan dimediasi oleh keuskupan. Mereka juga akan membantu masyarakat agar mempunyai kebun karet. Masing-masing keluarga akan diusahakan mempunyai 1.000 pohon karet. Mereka akan memperhatikan dan memperbaiki bangunan sekolah, serta membayar guru di sekolah itu.  Bagaimana dan kapan realisasinya masih akan dibicarakan lagi.
Semoga apa yang telah tumbuh di hati mereka, pada hari natal 2012 ini, akan membangkitkan semangat dan kasih yang mendalam kepada putra-putri Papua pemilik tanah ini. Semua orang, semua pihak dan lembaga-lembaga yang ada “dari dirinya dan maksud keberadaannya” punya tekad untuk “hidup baik” dan menghidupkan yang sudah baik di masyarakat, dan menumbuhkan kebaikan bersama. Kalau begitu, sebenarnya “kebaikan itu sudah ada di dalam diri setiap orang / lembaga”.  Mengapa begitu sulit menghadirkan kebaikan ?  Karena untuk membuat kebaikan secara terus-menerus itu, tantangannya banyak, dibenci, dan disingkirkan, dan  perlu rahmat / kasih Allah. Maka itu, orang cenderung / lebih suka hidup di luar rahmat dan kasih Allah. 

Komentar

Unknown mengatakan…
Saya Lahir dan besar di Kota Merauke kota tercinta, sekarang saya berada di Yogyakarta.
Saya kuliah di Atma Jaya Yogyakarta, Teknik Informatik.

Saya rindu kota merauke khususnya paroki kesayangan saya Paroki Santa Maria Fatima Kelapa Lima, sekarang pastor parokinya Pius Banda.
Saya juga senior di Misdinar Kelapa 5 dari tahun 2006-2010. Saya banyak sekali belajar dari misdinar tentang cari bagaimana mencari teman yang baik, baik itu SEagama maupun beda agama. Dan masih banyak lagi.
Unknown mengatakan…
Saya Hendrikus Letsoin MENGUCAPKAN ;
Selamat Hari Natal 2013 & Tahun Baru 2013 kepada sodara-sodara sekalian yang ada di kota Merauke beserta keluarga besar Letsoin dan Ohoiwutun, khususnya kepada Paroki Santa Maria Fatima Kelapa 5.

Love u^^
Unknown mengatakan…
Bapa Uskup. Terimakasih untuk tulisan dari Bapa Uskup yang mengajak kita berfikir ''win win solution''. Senang membaca tulisan ini.

Ini tulisan yang kedua yang saya sukai di blog ini (yang pertama tentang peresmian gereja di Nasem di mana tantangan hujan lumpur tidak menghalangi pelayanan Bapa Uskup dan umat).

Semoga akan banyak tulisan yang memotivasi kita melanjutkan Karya AgungNya. Selamat Natal dan Tahun Baru buat Bapa Uskup. Salam.-
WARTA K.A.MERAUKE mengatakan…
Yb. Sdr Noldy

Salam dan Selamat Tahun baru 2013. Terima kasih atas apresiasi tentang 2 tulisan saya yg tertuang di blog ini. Semoga hikmahnya dpt sdr petik dan dijadikan pegangan dalam mengambil keputusan dalam hidup sdr.

Berkat Tuhan

Mgr Niko Adi msc
WARTA K.A.MERAUKE mengatakan…
Yb Hendrik,

Selamat hari Natal dan Selamat Tahun Baru 2013. Semoga kuliahmu cepat selesai dan segera bisa kembali ke Merauke untuk membagikan ilmu bagi saudara-saudaramu disini.

Doa dan berkatku,

Mgr. Niko Adi, MSC

Postingan Populer