BARTOL BALAGAIZE

PEMBACA YANG BUDIMAN
SYALOOM....
 Saya hadir kembali pada minggu ini untuk menjumpai anda. Terimalah salam dan jabat erat saya untuk anda semua. Saya sajikan cerita berikut ini untuk anda. Selamat menikmati.
Usianya sudah tidak muda lagi. Langkah dan ayunan kakinya sudah tidak sekokoh dulu lagi. Namun semangatnya untuk berperan aktif dalam menciptakan lingkungan hijau dan memcari pendapatan bagi keluarga, tidak surut.  Itulah Bartol Balagaize, seorang kakek yang tinggal di kampung Wayau – Kecamatan Animha – Kab. Merauke ( 80 km dari kota Merauke).
Di halaman sekeliling rumahnya, dia menanam cabe rawit. Tanaman itu dirawatnya sungguh-sungguh dan diberi pupuk alami: rerumputan, kotoran sapi, dan daun-daun pepohonan yang dia kumpulkan dari para tetangganya. Hasilnya amat luar biasa. Tanaman cabe itu memberikan buah yang lebat dan besar-besar.  Karena para tetangganya tidak menanam cabe sebanyak itu, dan buahnya amat lebat, orang-orang yang lewat di depan rumahnya, “tertarik oleh magnit” cabe-cabe yang siap dipanen itu. Penulis pun rasanya “gemes” dan ingin turut memetiknya.
Mereka yang ingin beli cabe, dipersilahan untuk memetik sendiri. Harganya tidak begitu mahal.  Satu kantung plastik yang sedang, harganya Rp. 10.000 ,-   Namun, melihat sang kakek yang begitu setia merawat pohon cabe itu, para pembeli dengan rela hati memberikan uang lebih banyak daripada harga yang sesungguhnya. Mereka juga mendapatkan kepuasan, karena bisa memetik sendiri. Membeli cabe dengan memetik sendiri yang masih segar-segar, terasa lain di hati daripada membeli cabe di pasar. Kepuasan dan kegembiraan memetik di pohon, tidak dapat digantikan dengan “rupiah”. Itulah sebabnya mereka yang telah memetik sendiri, rela memberikan “rupiah” lebih besar sebagai ungkapan “syukur yang sulit diukur harganya”.
Kakek Bartol, baru satu tahun menanam cabe di kebunnya. Dia tergerak hati untuk menanam sejak ada kunjungan dari Tim Penyuluh dari Kecamatan dan Kabupaten tentang kesehatan dan budidaya tanaman dan sayuran. Mereka membawa bibit, dan kakek Bartol meminta bibit itu. Dengan ketekunannya, dia perhatikan sendiri semua tanaman itu sejak dia semaikan. Hasilnya memang sungguh luar biasa. Ketika penulis memperhatikan kebunnya, di beberapa bedengnya, dia sudah mulai menyemaikan tanaman yang baru.
Wajahnya meskipun sudah penuh dengan keriput, menampakkan kebahagiaan, ketika mereka yang membawa pulang cabe mengucapkan terima kasih dan memberikan “rupiah” kepadanya.  Ia gembira bahwa dia telah turut “andil dalam memberikan kepuasan kepada orang yang ingin memetik secara langsung cabe-cabe yang masih segar itu”.  Ia bangga bahwa ia telah menjadi orang sukses, dan menerima pengakuan dari orang-orang yang telah membeli hasil kebunnya.  Ia layak bersyukur bahwa apa yang telah dirintisnya itu, tidak sia-sia, dan dapat menjawab 1 kebutuhan akan “bumbu dapur / penyedap masakan”.

Saya teringat sabda Tuhan dalam mazmur 126: 5 “ Orang yang menabur dengan bercucuran air mata, akan menuai dengan bersorak sorai”  kiranya  terpancul / sungguh nyata dalam kehidupan kakek Bartol itu. Dia menabur mungkin dengan air mata kesedihan karena dia harus bekerja seorang diri. Mungkin pula sulit air pada musim panas, sehingga dia harus kerja extra. Namun kini, dia bekerja bukan dengan air mata kesedihan, tetapi air mata kebahagiaan, bahwa dalam usia yang sudah lanjut itu, dia mendapatkan kepercayaan untuk “menanam dan menghasilkan cabe segar untuk dikonsumsi orang banyak”.  Keringat bercucuran di badannya, ketika mengolah tanah tetapi sudah berulang kali dia “panen / menuai kegembiraan baik bagi dirinya maupun bagi orang-orang yang turut menikmati hasil kebunnya.
Bartol Balagaize, bergembira bukan karena “duduk santai” tetapi karena usahanya, keuletannya, kesetiaannya dan “memaknai hidupnya terus-menerus dengan kegiatan dan contoh kehidupan yang membawa damai, ketenteraman dan kebahagiaan. Ternyata kebahagiaan dan ketenteraman hidup, damai dan penghargaan dapat ditemukan dan dihadirkan di kampung kecil, di pedalaman. Dia tidak perlu pergi ke kota untuk mencari dan menemukannya.  Kakek ini menunjukkan kepada saya bahwa kebahagiaan bukan diukur dengan adanya HP, BB, WhatsApp, makanan kaleng, supermie, atau apa pun yang menarik hati dan “mencolok mata”.  Kebahagiaan itu dihadirkan dengan memaknai hidup dan lingkungannya ( yang kadang sulit, menantang, menuntut kerja keras, sendirian, pakai alat seadanya ) dengan gembira. 

Komentar

Postingan Populer