REALITAS MASYARAKAT MERAUKE (BAG III)

 PEMBACA BLOG YANG BUDIMAN
SYALOOM....
Beberapa minggu yang lalu, tepatnya 28 November 2012, saya memulai tulisan saya tentang "BUAH-BUAH KONSILI VATIKAN II DI KAME". KAME adalah singkatan dari Keuskupan Agung Merauke.  Sudah ada dua tulisan terdahulu yang saya sajikan untuk anda. Tulisan yang berikut ini adalah bagian yang ketiga.  Mari kita simak isinya..... Selamat menikmati.

III.  Realitas Kehidupan
Jarak sepanjang 500 km dapat ditempuh dalam waktu 12 – 14 jam pada musim panas, dan bisa menjadi 24 jam atau lebih pada musim hujan. Bahkan jika jalanan telah menjadi kubangan lumpur, perjalanan bisa menjadi 3 hari atau lebih. Di sepanjang jalan, hutan-hutan muda terlihat amat padat dan menghijaukan kembali daerah yang dulu gundul karena tanahnya diambil untuk membangun dan menimbun jalan.  Meskipun sering terbakar, hutan itu tetap tumbuh secara alami.

Pesawat merpati jenis twin-otter, grand-caravan, dan pilatus menghubungkan Merauke dengan pusat-pusat kabupaten dan beberapa pusat kecamatan. Seminggu 1 kali atau 2 kali bila banyak penumpang, pesawat itu melayani daerah pedalaman. Ada daerah-daerah tertentu yang  masih merupakan daerah perintis, sehingga harga tiket ke sana cukup murah ( rp. 200.000 dengan lama penerbangan 30 menit ). Sedangkan daerah-daerah yang sudah maju, diberlakukan tiket komersial dengan harga sekitar Rp. 1 juta dengan lama penerbangan 1 jam. 

Ketepatan jam penerbangan yang dilakukan oleh pesawat-pesawat pemerintah, sulit dipastikan. Meskipun cuaca cerah, pesawat parkir di apron, dan pilot juga sudah siap, sering kali pesawat ditunda keberangkatannya atau batal terbang atas alasan yang tidak jelas.  Jadwal dan tujuan penerbangan dengan mudah berubah-ubah, sehingga penumpang yang sudah menunggu sejak pagi, terpaksa harus berlama-lama berada di bandara. Bahkan ada kalanya penumpang harus kembali ke rumah, karena  pada hari itu pesawat tidak terbang meski tanpa alasan yang jelas. Sementara itu, ijin terbang bagi perusahaan-perusahaan penerbangan lainnya, sulit diperoleh. Sistem monopoli dan (mungkin sekali) korupsi yang sudah mengakar, membuat yang sebenarnya mudah menjadi sulit.

Pada musim hujan dan ombak, pesawat adalah harapan satu-satunya untuk transportasi ke daerah pedalaman. Namun, bila jadwal dan tujuan penerbangannya berubah-ubah penumpang juga mengalami kesulitan besar, dan biaya perjalanan menjadi lebih mahal. Waktu, tenaga dan biaya terbuang percuma. Akibat lebih lanjut, banyak penumpang (pegawai swasta dan PNS) yang terpaksa tidak bisa segera kembali ke tempat tugas. Hal ini pada gilirannya akan melumpuhkan pekerjaan di kantor, di sekolah dan di banyak sektor lainnya.  Karena situasi ini berlangsung selama bertahun-tahun, hambatan serius ini rasanya “sudah menjadi sesuatu yang biasa” padahal amat merugikan dan telah membuat banyak manusia di wilayah itu makin tertinggal.

Pemekaran kabupaten sejak tahun 2000, telah memacu para bupati untuk memekarkan desa-desa tertentu menjadi pusat kecamatan. Terlebih dengan adanya dana respek (rencana strategis pembangunan kampung), sebesar Rp. 200 juta bahkan Rp. 1 milyar per desa setiap tahun, desa-desa banyak yang memekarkan diri. Misalnya, sebagian dari warga desa A, berpisah dan membangun desa B, di tempat yang lebih terpencil supaya bisa mendapat bantuan dana respek itu. Transportasi ke desa baru ini makin sulit dan biayanya juga mahal, namun hal ini tidak dipertimbangkan oleh warga desa B, karena tergiur oleh dana besar itu.

Realita yang ada adalah banyak desa tidak memenuhi syarat untuk pendirian SD, karena jumlah anak sekolah hanya sedikit. Mereka juga tidak punya sarana pelayanan kesehatan (Pustu atau Puskesmas) dan fasilitas pemerintahan lainnya. Akibatnya, anak-anak mereka tidak sekolah, tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Kualitas makanan dan minuman mereka juga kurang terkontrol. Tidak mengherankan bahwa di banyak kampung angka kematian, terlebih kematian ibu dan anak cukup tinggi.  Sakit saluran pernafasan, sakit kulit dan maag, sakit gigi dan diare serta cacingan sering dialami oleh masyarakat pedalaman.

Daerah yang terpencil, sulitnya transportasi dan mahalnya biaya hidup, membuat pegawai pemerintah (mis. perawat dan bidan desa) dan guru PNS tidak kerasan tinggal di tempat tugas. Mereka lebih memilih bertugas di pusat kecamatan atau di tempat yang mudah dijangkau.  Maka, amat mudah ditemukan guru-guru dan pegawai pemerintah yang “menganggur dan santai-santi di pusat kecamatan atau di kota selama berbulan-bulan”.  Mereka sering terpaksa tidak bertugas atau meninggalkan tempat tugas atau “mogok untuk kembali ke tempat tugas” karena biaya perjalanan yang amat mahal harus dibayar dengan 50 – 60 % gaji mereka. 

Uang kini sudah mulai main peranan. Ada uang ada barang. Suasana jual beli (perdagangan) sudah mempengaruhi hidup masyarakat pedalaman juga. Masyarakat yang dulu dengan sukarela menolong guru-guru atau para pegawai, misalnya, memberi sagu, kayu bakar, pisang atau hasil buruan sehingga mereka kerasan tinggal dan melayani masyarakat, kini menuntut upah bila disuruh untuk mencari sesuatu. Guru dan pegawai harus beli daging, kayu bakar atau bila perlu membuat kebun atau pagar rumah, mereka juga harus membayar.  Padahal guru di kampung itu hanya 1 atau 2 orang, mereka harus kerja keras untuk mengajar dan membina anak-anak mereka. Seorang guru harus mengajar 3 kelas, atau bahkan 6 kelas. Bagaimana mungkin, mereka bisa membuat persiapan yang baik ? Bahkan pada sore hari mereka rela memberikan pelajaran tambahan ( les ) atau pelajaran agama ( katekese atau latihan koor ).

Guru-guru dan pegawai pemerintah yang tidak berada di tempat tugas, ketiadaan listrik di desa-desa, informasi dan komunikasi yang sulit,  membuat suasana dan kehidupan sosial ekonomi mereka makin lumpuh. Yang terjadi adalah sekolah-sekolah tidak jalan, pergaulan mereka hanya dengan orang-orang sesuku, juga tidak / kurang ada informasi dan interaksi timbal balik. Maka bisa dipahami bahwa kualitas SDM di kampung-kampung pada umumnya rendah. Ini terjadi bukan karena mereka bodoh, tetapi karena kemungkinan, kemudahan dan peluang untuk belajar, meningkatkan ilmu, ketrampilan dan pengetahuan, serta memperluas jaringan kerja sama, sulit didapatkan.

Masyarakat hidup dari hasil hutan, hasil memangkur sagu, hasil tanaman umbi-umbian dan ikan. Untuk kehidupan sehari-hari mereka berkecukupan, bahkan berkelimpahan. Memang bagi mereka kebiasaan untuk menyimpan hasil panen mereka sudah ada, tetapi bukan untuk waktu yang lama. Misalnya, anak babi atau anak rusa yang mereka tangkap, atau umbi-umbian, dipelihara untuk keperluan pesta. Di antara mereka dikenal juga sistem barter. Namun cara menyimpan dalam jumlah yang besar untuk keperluan jangka panjang, tidak mereka kenal atau belum menjadi bagian dari kehidupan mereka. Lebih sering, apa yang mereka dapatkan pada saat itu, mereka bagi bersama-sama sampai habis.

Pola pikir yang masih amat kental adalah hasil hari ini untuk hari ini. Sedangkan, keperluan hari esok adalah urusan kemudian. Hutan masih luas, sagu, umbi-umbian dan binatang buruan ada banyak di hutan, ikan berlimpah-limpah di laut dan di rawa. Alam begitu murah hati. Maka, manusia tidak perlu cemas. Semuanya sudah ada, tinggal dicari dan diambil. Hidup pada masa kini dan gembira pada hari ini jauh lebih penting daripada memikirkan hari esok.

Pengaruh dunia moderen
Dengan masuknya orang-orang dari daerah lain, masuk pula pengaruh dan cara berpikir yang berbeda, dan masuk juga barang-barang yang bisa diperjualbelikan. Untuk mendapatkan barang-barang kebutuhan hidup yang tidak mereka miliki, dibutuhkan pasar dan pemasaran. Masyarakat mulai mengenal uang dan bagaimana membelanjakan uang. Kalau dulu, ikan dibarter dengan sagu (benda berat dan repot dibawa ditukar dengan benda berat dan repot dibawa), sekarang benda berat dan repot ditukar dengan “uang” (benda tipis dan ringan, namun bisa ditukar dengan banyak benda lain dengan lebih mudah). Masyarakat mengenal uang sebagai “alat tukar yang baru”. Dengan uang mereka bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Alat-alat dapur, makanan, pakaian mereka tidak berbeda dengan masyarakat dari daerah lain. Gaya hidup masyarakat lokal mulai berubah. Sudah banyak warga masyarakat lokal yang punya alat-alat elektronik, punya sepeda motor, motor tempel, dan telpon genggam. Sudah banyak warga masyarakat yang punya rumah yang lumayan dan bersih, ada listrik dan sumur untuk keperluan air bersih. Sudah banyak masyarakat lokal yang jadi guru, bidan, perawat, bahkan ada yang jadi dokter, camat, bupati dan anggota DPRD.

Ada banyak orang asli Papua yang memukau karena bahasa Indonesia mereka yang bagus, sopan, cerdas, dan bahkan mampu memimpin masyarakatnya dengan baik. Kompleks perumahan yang bagus dan bersih, tanaman karet, sayur-sayuran dan kebun-kebun yang mereka pagar dengan pagar kayu yang kuat, memberikan kesan bahwa mereka juga bisa bekerja keras. Mereka juga tahu menerima dan menghormati tamu. Ketika ada pesta atau perayaan tertentu, tamu-tamu mereka hantar ke tempat penginapan yang telah mereka siapkan, dan makan minum mereka dijamin oleh tuan rumah.  Kaum perempuan yang telah dilatih di asrama-asrama, amat berperan dalam menyiapkan makanan dan perlengkapan yang diperlukan oleh para tamu.

Mereka yang baru pertama kali datang berkunjung ke kampung-kampung ( ke desa-desa) pada umumnya tercengang bahwa di sana ada roti, pisang goreng tepung, cucur, ubi goreng, beberapa jenis menu hidangan yang disajikan bagi mereka. Mereka tidak menyangka bahwa di tempat yang terpencil itu, ada aneka hidangan dengan menu Indonesia. Ada juga minuman kaleng (coca cola, lasegar, pocari sweat, fanta dll) dan aqua atau vit atau sejenisnya. Memang bahwa menu-menu yang demikian, tidak ditemukan setiap hari, namun sudah terbukti bahwa ketrampilan dan kemampuan untuk menyiapkan hidangan dengan menu Indonesia, sudah ada. Putra-putri Papua sudah banyak yang bisa melakukan kegiatan itu.

Hasil pembangunan tidak merata
Hasil-hasil pembangunan tidaklah dinikmati oleh seluruh masyarakat secara merata. Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, tetap tertinggal dan sulit berkembang. Secara kasat mata, pembangunan yang dilaksanakan pemerintah lebih banyak tertuju pada pembangunan fisik. Dana untuk pengembangan bidang pendidikan dan kesehatan ternyata amat kecil. Itulah sebabnya untuk mempercepat pembangunan, kepada masyarakat asli Papua diberikan dana otonomi khusus dan dana respek (rencana strategis pembangunan kampung). Kepada kepala-kepala kampung diberikan uang tunai Rp 100 juta pada tahun 2010 dan Rp. 2011. Karena mereka tidak tahu mengelola dana itu, atas desakan masyarakat ada sebagian besar kepala desa yang membagi-bagi uang itu kepada mereka. Uang itu dibagi rata kemudian dipakai untuk makan minum.

Pada tahun 2012 ini, Pemda Merauke memberikan Rp. 200 juta sebagai bagian dari dana otsus untuk pembangunan gedung gereja. Ada sebagian yang berhasil membangun gereja, dan ada banyak yang hanya berhasil membangun sebagian, tetapi dananya sudah habis. Sulitnya transportasi, kurangnya pendampingan dan ketrampilan, sulitnya kerja sama, menipisnya semangat swadaya, melunturnya semangat gotong royong, ketergantungan dana bantuan kepada pemerintah dll menjadi faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan pembangunan. Mentalita untuk mendapatkan uang dengan mudah, menyebabkan kelompok-kelompok masyarakat enggan untuk kerja keras atau bercocok tanam. Mereka sekarang lebih suka membuat proposal yang ditujukan kepada pemerintah atau pengusaha.

Arus investasi

Pada tahun 2008, krisis pangan dan energi melanda masyarakat global, yang ditandai dengan peningkatan harga-harga produk pangan di pasar internasional. Krisis inilah yang kemudian mendorong negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mengantisipasi krisis, sembari mengambil kesempatan tersebut di masa depan. Salah satu strategi yang dilakukan adalah mengembangkan kawasan lumbung pangan (LP = food estate) dan energi yang terbarukan melalui penggunaan lahan yang tersedia pada wilayah di luar Pulau Jawa dan Bali, seperti Kalimantan dan Papua.

Lahan yang tersedia di dua pulau besar tersebut dikategorisasikan sebagai lahan cadangan, yaitu lahan yang dipersiapkan untuk penggunaan atau pengelolaan tertentu di masa depan. Khusus di Papua, lahan cadangan yang tersedia adalah sebesar 12 juta hektar. Dari jumlah itu 2,5 juta lahan cadangan atau 15 persen berada di wilayah Kabupaten Merauke. Tanah yang luas dan kaya akan sumber alam ini, amat menarik para investor untuk datang dan berinvestasi di Merauke.

Dengan pelbagai cara mereka berusaha untuk masuk dan menguasai / mengambil alih kepemilikan hak atas ribuan hektar tanah milik masyarakat asli Papua.  Mereka mendekati camat (kepala distrik), ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA), tokoh agama, tokoh masyarakat.  Mereka tidak segan-segan memberikan sejumlah uang kepada oknum-oknum tertentu yang mereka anggap bisa mempengaruhi kelompok-kelompok /marga-marga pemilik tanah. Ada oknum-oknum yang diajak jalan-jalan ke Jakarta, diberi hadiah, diberikan janji-janji tertentu, dan ketika pulang diberi sejumlah uang. 

Kepada masyarakat lokal mereka bertemu muka secara langsung, memberikan informasi (iming-iming) bahwa perusahaan akan membuka jalan, membangun perumahan  rakyat, ada listrik, ada gedung sekolah yang baik. Pendek kata perusahaan akan mengubah hidup mereka menjadi lebih sejahtera. Sebagai contoh, pada akhir pertemuan itu, pihak perusahaan memberikan uang tunai sebesar Rp. 3,5 milyar sebagai “tali asih” kepada masyarakat di salah satu desa.  Perwakilan masyarakat yang menerima uang itu tidak tahu berapa luas tanah yang diminta dan berapa jangka waktu pemakaian tanah oleh pihak perusahaan, karena dokumen berita acara penyerahan uang dan pelepasan tanah tidak ada di tangan mereka.

Bagi masyarakat, uang tali asih itu adalah uang tanda persaudaraan, antara kedua belah pihak. Uang itu bukan uang sewa atau uang pembelian / pengalihan hak atas tanah ulayat. Sedangkan bagi perusahaan, uang tersebut adalah uang sewa atau malah uang  pembelian tanah ulayat. Dengan  bukti kwitansi dan berita acara yang ada pada mereka, mereka menyatakan bahwa tanah tersebut telah mereka kuasai / mereka miliki.

Pada tanggal 1 Juni 2012, satu perusahaan kelapa sawit, dengan areal konsesi seluas 33.540 ha, telah “resmi” memperoleh tanah dari warga masyarakat adat seluas 7.592,51 ha. Dari tanah seluas 7.592,51 ha hanya 6.486,87 ha yang dibayar oleh perusahaan. Sedangkan tanah seluas 1.105,64 ha tidak dibayar oleh perusahaan karena akan dijadikan perkebunan plasma untuk masyarakat. “Pelepasan” tanah tersebut dimuluskan dengan pembayaran tanah yang totalnya tidak lebih dari Rp. 2,3 milyar sebagai “tali asih” kepada 9 marga tersebut.

Para pemilik hak ulayat hanya menerima uang tanah sebesar Rp. 350.000/ha dari perusahaan untuk jangka waktu 35 tahun. Harga tanah per ha (10.000 m2) per tahun Rp. 350.000: 35 = Rp. 10.000,- Jelaslah bahwa masyarakat hanya menerima harga tanah sebesar Rp. 1/m² per tahun dari perusahaan. Ada satu pertanyaan yang patut diutarakan di sini: “Rp 1,- / m2 itu apakah harga penjualan tanah atau harga sewa tanah ?”. Tidak ada seorang warga masyarakat pun yang tahu, karena dokumen resmi yang sudah ditandatangi kedua pihak, salinannya tidak diberikan Ketua Adat, Kepala Kampung atau Kepala Distrik.


Masyarakat lokal makin miskin

Marga tersebut telah kehilangan ribuan hektar tanah, dengan imbalan yang amat kecil. Hutan mereka yang telah memberikan kehidupan selama bertahun-tahun, dan menjadi lahan mencari makan, berburu dan merupakan warisan para leluhur, kini dikuasai oleh orang lain ( orang asing ). Mereka dilarang memasuki area itu. Mereka tidak menyangka bahwa penandatangan berita acara itu telah mengubah hidup mereka menjadi lebih pahit dan menderita. Mereka menjadi buruh perusahaan dengan gaji kecil, karena mereka tidak punya ketrampilan dan hanya sebagai buruh kasar untuk membersihkan lahan. Janji-janji yang diberikan oleh perusahaan ternyata hanyalah impian. 

Komentar

Postingan Populer