4 MISIONARIS DOMESTIK
PARA PEMBACA SETIA BLOG INI
SYALOOM.....
Beberapa waktu yang lalu, Uskup Agung Merauke telah menerima 4 orang misionaris yang diutus untuk berkarya di wilayah Keuskupan Agung Merauke (KAME). Dua orang dari mereka adalah Sr. Yoanita Sinaga KYM, dan Sr. Christine Silalahi KYM, yang datang dari Pematang Siantar - Sumatra Utara. Sedangkan 2 orang lainnya adalah Fr. Agustinus SVD dan Fr. Vitalis SVD. Mereka ini baru saja menyelesaikan studi filsafat dan theologi di Ledalero dan akan menjalankan tahun pastoral selama satu setengah tahun.
Foto: Sr. Christine, Fr. Vitalis, Sr. Yoanita dan Sr. Agustinus.
Sebelum memulai karya pelayanan mereka, mereka menjalani masa orientasi selama 2 hari. Pembekalan pada masa orientasi itu diberikan oleh bapa uskup. Pada hari pertama, mereka mendapatkan informasi tentang situasi Papau pada umumnya, situasi KAME, situasi masyarakat dan Pemerintah Daerah, serta perkembangan pembangunan yang saat ini sedang berlangsung. Di Merauke saat ini, pertambahan jumlah penduduk amat pesat seiring dengan adanya pemekaran Kabupaten Merauke menjadi 4 ( Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel). Mereka datang untuk mencari kerja, dan pada umumnya mereka lebih terampil, berijasah lebih tinggi dari masyarakat lokal, dan lebih siap bekerja di banyak sektor. Karena itu, masyarakat lokal makin lama makin tertinggal.
Tanah yang luas dengan jumlah penduduk yang amat sedikit dan terpencar-pencar, amat sulitlah percepatan pembangunan itu dilaksanakan. Hingga saat ini, infrastruktur tidak ada, jalan-jalan yang sudah ada pun kebanyak dalam keadaan rusak. Sarana transportasi masih amat terbatas dan biayanya mahal. Harga bbm pun mahal di luar kota Merauke dan di pedalaman. Harga bensin bisa mencapai Rp. 8.000 - Rp. 25.000 per liter. Di banyak tempat listrik hanya menyala dari jam 6 sore sampai jam 10 malam. Beberapa lainnya listrik bisa menyala sampai jam 12 malam, itu pun kalau persediaan solar mencukupi.
Tanah Papua menyimpan kekayaan alam yang amat luar biasa. Di darat, di rawa, di hutan dan di laut, ada banyak kekayaan alam yang belum terolah. Di hutan, ada pelbagai macam jenis kayu, dan hasil hutan / binatang hutan lainnya, s eperti kasuari, kangguru, rusa, burung cendrawasih, mambruk dll. Di laut, ada ikan kakap merah, kakap cina, kerapu, hiu, udang, lopster, kepiting dll. Kekayaan alam ini amat menarik investor untuk datang dan meraih keuntungan yang amat besar.
Saat ini, sudah ada 40 investor yang bersiap-siap untuk membuka usaha di Merauke. Dari jumlah yang banyak itu, 3 perusahaan telah beroperasi di usaha kayu cacah dan pelet, kayu gelondongan, dan kelapa sawit. Yang masih dalam persiapan adalah perusahaan tebu. Mereka mendapatkan ijin untuk membuka dan mengelola hutan seluas lebih dari 20.000 hektar per perusahaan. Ada pun harga sewa tanah yang ditentukan secara sepihak oleh perusahaan adalah Rp. 8000 ,- / hektar / tahun. Dan harga kayu Rp. 2.000 / kubik untuk segala jenis pohon.
Sementara itu, ada banyak sekolah yang tidak jalan. Guru-guru lebih suka berada di pusat kecamatan, tidak mengajar atau "sibuk dengan urusan keluarga". Banyak anak sekolah yang tidak bisa membaca, menulis dan menghitung dengan baik, meskipun sudah tamat SD karena kurang mendapatkan latihan. Banyak anak yang terpaksa harus putus sekolah, karena di desa itu tidak ada guru. Banyak yang terpaksa diluluskan / naik kelas, karena guru takut kepada orangtua yang menuntut anaknya harus lulus / naik kelas.
Menurut para orangtua, kalau guru rajin mengajar, pastilah anak-anak akan menjadi pandai. Bila murid-murid tidak bisa membaca, menulis dan menghitung gurulah yang bersalah karena mereka tidak mengajar. Murid-murid tidak bersalah. Guru-gurulah yang sudah melalaikan kewajiban mereka. Maka, kesalahan tidak boleh ditimpakan kepada anak murid. Jadi, murid harus naik kelas.
Pada hari kedua, mereka diajak keliling kota Merauke, mengunjungi biara-biara, paroki-paroki, Rumah Sakit Umum, pelabuhan Merauke, rumah retret, rumah sakit katolik dan kemudian ke luar kota. Di luar kota para peserta diajak untuk melihat dari dekat kehidupan para petani asal Jawa dan Flores yang bertransmigrasi ke daerah ini 25 - 30 tahun yang lalu. Sebagian besar dari mereka telah sukses dan hidup sejahtera. Mereka sudah berhasil menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke perguruan tinggi.
Sementara itu, di sepanjang pantai nampak ada banyak perahu nelayan. Pemiliknya adalah para pendatang dari Makasar. Masyarakat setempat menjadi buruh dari para nelayan asal Makasar itu. Mereka tinggal di gubug-gubug yang terbuat dari papan, sedangkan para nelayan pendatang tinggal di rumah tembok. Masyarakat setempat yang dulu adalah pemilik tanah, laut dan kekayaan alam, sekarang ini menjadi "orang-orang yang tersingkir di tanah mereka sendiri".
Setelah selesai masa orientasi ini, kedua suster segera berangkat ke tempat tugas mereka. Sr. Yoanita ke Kurik ( 35 km dari Merauke ), dan sr. Christine ke Tanah Merah ( 500 km dari Merauke ). Mereka diutus untuk "hadir dan terlibat dalam sukaduka kehidupan masyarakat lokal" yang makin bingung akan pembangunan yang terjadi di daerah mereka". Selama ini mereka mengalami bahwa pembangunan itu bukan untuk mereka tetapi untuk para pendatang.
Membangun manusia memang tidak mudah dan perlu waktu yang lama. Namun, kalau tidak diambil langkah yang serius untuk membangun manusia di tanah Papua ini dengan melibatkan mereka secara aktif, bertahap dan berkesinambungan, "kebingunan itu akan berjalan terus". Masyarakat setempat akan menjadi korban pembangunan, dan bukan pelaku pembangunan di desa / di daerah mereka.
Tuhan memang ada dan tetap ada. Dia memberikan rahmat, kekuatan dan penghiburan kepada mereka yang datang kepada-Nya. Dia mengundang semua orang untuk menjadi "alat / oknum" pembangun bagi sesamanya yang masih tertinggal. Sering kali terdengar ungkapan: " Banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang terpilih".....moga-moga untuk tanah Papua akan ada banyak orang yang dipanggil dan dipilih.
Komentar