DERITA DAN KEMATIAN
PEMBACA YANG BUDIMAN
SYALOOM......
Bagi orang-orang katolik, tanggal 1 - 8 April 2012 adalah hari-hari istimewa yang disebut Pekan Suci. Pekan Suci bukan pertama-tama berarti minggu itu atau hari-hari selama sepekan itu yang suci, tetapi hari-hari istimewa yang berisi ajakan dan gerakan umat Allah untuk hidup suci. Pada hari-hari itu dirayakan dan dihadirkan "peristiwa hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus yang membawa keselamatan bagi umat manusia". Jiwa dan semangat yang dirayakan pada hari-hari suci itu, dihidupkan kembali agar dilaksanakan dalam hidup sehari-hari.
Dalam rangka merenungkan makna kehidupan itu, Pastor Herman Pongantung mencoba "menelusuri arti derita dan kematian" yang telah dan akan dialami oleh umat manusia. Marilah kita coba memasuki dan mendalami "apa yang dia sajikan untuk anda" :
Derita dan kematian
Kemarin, dalam misa Minggu Palma, sudah dibacakan passio christi (Kisah sengsara Kristus). Sebuah cerita tentang derita dan kematian. Derita bagi orang taat dan beriman, jadi pertanyaan serius dan menggangu pastoral saya dari waktu ke waktu: kenapa harus ada ?
Jangan heran, pertanyaan itu kerap ditanyakan oleh orang-orang sabar beriman dalam sharing pastoral. Dan jangan merasa terusik resah, kalau jumlah mereka makin banyak adalah kaum ibu yang biasanya hanya menyiapkan makan saja. Mereka ini ‘sisa’ kaum beriman aktif, yang hidup sehari-hari ‘melawan arus atheis’. Dalam kebenaranNya, Tuhan adil? Toch, tidak mudah menerangkan mereka tentang penderitaan, agar mereka tetap setia pada iman yang masih ada. Sementara dalam gereja indah, sepi, yang langsung menghadap ladang-ladang penduduk, dibacakanlah tentang Yesus mati!
Bertanya tentang derita dan kematian, saya jadi teringat cerita Ayub. Di minggu penuh makna iman ini, jangan biarkan dibaca begitu saja kitab Ayub. Ini sebuah karya sastra gemilang. Camkanlah! Tak pernah ada orang yang berbicara sedemikian baik tentang penderitaan dan kematian. Selain dalam kitab ini. Ayub berjalan lebih jauh dari umumnya kita. Sikap protes melawan Tuhan! “Turunlah dari langitmu dan terangkan pada kami, berhadapan sebagai manusia dengan manusia... Engkau tak adil dalam pandangan mataku. Saya tak melakukan sesuatu, mengapa dihukum sedemikian kejam? Tapi, bagaimana melakukan naik banding dengan Engkau? Engkau sendiri tak akan menjawab? Engkau tidak akan menerangkan dirimu. Engkau menertawakan penderitaan umat manusia”.
Saya heran menemukan teks serupa ini dalam Kitab Suci. Ini seakan sebuah makian. Para sahabat Ayub tak keliru. Sesuai hukum, mereka coba mempertahankan Tuhan. “Orang tak pernah melihat Tuhan menghukum orang yang benar. Jika kau dihukum itu karena kau pendosa. Akan tetapi kau terlalu sombong, anggap mengenalNya”, kata mereka. Ayub membela diri. Keadaan pun jadi lebih genting. Ia mengutip ajaran mereka yang pada telinga Ayub hal itu kedengaran salah.
Sebaliknya mereka menanti agar melihat Tuhan melumat dia. Tapi, sebenarnya, sama sekali yang terjadi tidak seperti harapan mereka itu. Pada akhir dari kitab, Tuhan menjawab pada Ayub. Tuhan tidak menjawab langsung atas pertanyaan-pertanyaannya, tidak juga menerangkan misteri penderitaan yang terjadi, tetapi berbicara tentang keindahan ciptaan. Ayub baru mengerti bahwa ia berbicara tentang hal-hal yang sudah berlalu baginya. Kemudian Tuhan angkat bicara dan akhirnya memberi alasan pada Ayub.
Pemberontak dan tukang caci maki, Ayub, mungkin saja karena ia telah berbicara dengan lebih baik tentang Tuhan dari pada para teolog. Sebaiknya kita harus membaca kitab Ayub. Bacalah itu bersama mereka yang berada dalam keadaan susah dan yang kecewa dalam penderitaan. Mereka akan menemukan dalam teriakan Ayub, gema penderitaan mereka.
Dari sisi tertentu, Ayub adalah orang paling modern dari oknum-oknum tertentu dalam Kitab Suci. Ia tidak senang iman yang diobral dan menolak pembenaran-pembenaran yang terlalu simplistis mengenai Tuhan. Ia mau mencari, mengerti, dan memberi (sebuah) arti atas penderitaan dan kematian. Apakah Ayub seorang tak beriman? Tentu ia tidak berteriak cukup kuat melawan Tuhan jika ia tak percaya pula dengan penuh kesabaran akan Dia. Saya langsung terpikir dan membandingkan pribadi Ayub pada Yan van Paassen, yang makin tua makin menemukan kegemaran ‘suka mengganggu’ hati kita/pembaca. Maaf, mungkin karena saya terbawa arus baru saja mengomentari email beliau di milis ini.
Jangan mengatakan terlalu cepat: “Tuhan adalah cinta” pada orang-orang yang ditimpa kematian kejam. Bukan tipe Tuhan demikian yang mereka alami, tapi benar-benar sebaliknya. Kematian dirasakan sebagai suatu yang tak adil, lalu Ayub yang taat beriman protes pada Tuhan akan ketidak-mampuan dan sikap hening The Big Boss. Ayub hanyalah seorang anak manusia dengan kodratnya!
Derita dan kematian tetap merupakan misteri (rahasia yang sulit dipahami). Di sanalah iman dan harapan perlu menjadi pilar-pilar kehidupan, dengan kasih sebagai dasarnya. Apakah anda ingin bersharing tentang hal yang sulit ini ???
SYALOOM......
Bagi orang-orang katolik, tanggal 1 - 8 April 2012 adalah hari-hari istimewa yang disebut Pekan Suci. Pekan Suci bukan pertama-tama berarti minggu itu atau hari-hari selama sepekan itu yang suci, tetapi hari-hari istimewa yang berisi ajakan dan gerakan umat Allah untuk hidup suci. Pada hari-hari itu dirayakan dan dihadirkan "peristiwa hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus yang membawa keselamatan bagi umat manusia". Jiwa dan semangat yang dirayakan pada hari-hari suci itu, dihidupkan kembali agar dilaksanakan dalam hidup sehari-hari.
Dalam rangka merenungkan makna kehidupan itu, Pastor Herman Pongantung mencoba "menelusuri arti derita dan kematian" yang telah dan akan dialami oleh umat manusia. Marilah kita coba memasuki dan mendalami "apa yang dia sajikan untuk anda" :
Derita dan kematian
Kemarin, dalam misa Minggu Palma, sudah dibacakan passio christi (Kisah sengsara Kristus). Sebuah cerita tentang derita dan kematian. Derita bagi orang taat dan beriman, jadi pertanyaan serius dan menggangu pastoral saya dari waktu ke waktu: kenapa harus ada ?
Jangan heran, pertanyaan itu kerap ditanyakan oleh orang-orang sabar beriman dalam sharing pastoral. Dan jangan merasa terusik resah, kalau jumlah mereka makin banyak adalah kaum ibu yang biasanya hanya menyiapkan makan saja. Mereka ini ‘sisa’ kaum beriman aktif, yang hidup sehari-hari ‘melawan arus atheis’. Dalam kebenaranNya, Tuhan adil? Toch, tidak mudah menerangkan mereka tentang penderitaan, agar mereka tetap setia pada iman yang masih ada. Sementara dalam gereja indah, sepi, yang langsung menghadap ladang-ladang penduduk, dibacakanlah tentang Yesus mati!
Bertanya tentang derita dan kematian, saya jadi teringat cerita Ayub. Di minggu penuh makna iman ini, jangan biarkan dibaca begitu saja kitab Ayub. Ini sebuah karya sastra gemilang. Camkanlah! Tak pernah ada orang yang berbicara sedemikian baik tentang penderitaan dan kematian. Selain dalam kitab ini. Ayub berjalan lebih jauh dari umumnya kita. Sikap protes melawan Tuhan! “Turunlah dari langitmu dan terangkan pada kami, berhadapan sebagai manusia dengan manusia... Engkau tak adil dalam pandangan mataku. Saya tak melakukan sesuatu, mengapa dihukum sedemikian kejam? Tapi, bagaimana melakukan naik banding dengan Engkau? Engkau sendiri tak akan menjawab? Engkau tidak akan menerangkan dirimu. Engkau menertawakan penderitaan umat manusia”.
Saya heran menemukan teks serupa ini dalam Kitab Suci. Ini seakan sebuah makian. Para sahabat Ayub tak keliru. Sesuai hukum, mereka coba mempertahankan Tuhan. “Orang tak pernah melihat Tuhan menghukum orang yang benar. Jika kau dihukum itu karena kau pendosa. Akan tetapi kau terlalu sombong, anggap mengenalNya”, kata mereka. Ayub membela diri. Keadaan pun jadi lebih genting. Ia mengutip ajaran mereka yang pada telinga Ayub hal itu kedengaran salah.
Sebaliknya mereka menanti agar melihat Tuhan melumat dia. Tapi, sebenarnya, sama sekali yang terjadi tidak seperti harapan mereka itu. Pada akhir dari kitab, Tuhan menjawab pada Ayub. Tuhan tidak menjawab langsung atas pertanyaan-pertanyaannya, tidak juga menerangkan misteri penderitaan yang terjadi, tetapi berbicara tentang keindahan ciptaan. Ayub baru mengerti bahwa ia berbicara tentang hal-hal yang sudah berlalu baginya. Kemudian Tuhan angkat bicara dan akhirnya memberi alasan pada Ayub.
Pemberontak dan tukang caci maki, Ayub, mungkin saja karena ia telah berbicara dengan lebih baik tentang Tuhan dari pada para teolog. Sebaiknya kita harus membaca kitab Ayub. Bacalah itu bersama mereka yang berada dalam keadaan susah dan yang kecewa dalam penderitaan. Mereka akan menemukan dalam teriakan Ayub, gema penderitaan mereka.
Dari sisi tertentu, Ayub adalah orang paling modern dari oknum-oknum tertentu dalam Kitab Suci. Ia tidak senang iman yang diobral dan menolak pembenaran-pembenaran yang terlalu simplistis mengenai Tuhan. Ia mau mencari, mengerti, dan memberi (sebuah) arti atas penderitaan dan kematian. Apakah Ayub seorang tak beriman? Tentu ia tidak berteriak cukup kuat melawan Tuhan jika ia tak percaya pula dengan penuh kesabaran akan Dia. Saya langsung terpikir dan membandingkan pribadi Ayub pada Yan van Paassen, yang makin tua makin menemukan kegemaran ‘suka mengganggu’ hati kita/pembaca. Maaf, mungkin karena saya terbawa arus baru saja mengomentari email beliau di milis ini.
Jangan mengatakan terlalu cepat: “Tuhan adalah cinta” pada orang-orang yang ditimpa kematian kejam. Bukan tipe Tuhan demikian yang mereka alami, tapi benar-benar sebaliknya. Kematian dirasakan sebagai suatu yang tak adil, lalu Ayub yang taat beriman protes pada Tuhan akan ketidak-mampuan dan sikap hening The Big Boss. Ayub hanyalah seorang anak manusia dengan kodratnya!
Derita dan kematian tetap merupakan misteri (rahasia yang sulit dipahami). Di sanalah iman dan harapan perlu menjadi pilar-pilar kehidupan, dengan kasih sebagai dasarnya. Apakah anda ingin bersharing tentang hal yang sulit ini ???
Komentar