MENERIMA SEBUAH KEPALSUAN
PARA PEMBACA YANG BUDIMAN......
Judul dari tulisan ini amat menarik, bukan ? Menerima kebaikan dan kemujuran itu adalah hal yang biasa, namun menerima sebuah kepalsuan.....apa enaknya ? Sr. Rosina hendak memaparkan kepada kita "apa dan bagaimana menerima kepalsuan itu". Ayo, kita ikuti ceritanya:
MENERIMA SEBUAH KEPALSUAN
Kepalsuan kata dasarnya, “palsu” kiranya dimengerti sebagai “tiruan” dan bukan yang asli. Namun sangat mirip dengan yang asli. Menerima sebuah kepalsuan dalam bentuk tindakan, kata-kata atau materi sudah sering terjadi. Manusia tidak dapat dengan mudah mengenali mana yang asli dan mana yang palsu / tiruan. Dewasa ini dalam perjalanan hidup sehari-hari seakan kepalsuan sikap dan tutur kata rayuan terhadap materi, pergaulan yang tidak sehat, seakan mengintai setiap pribadi, bahkan bisa menjadi teman hidup. Sebuah refleksi pribadi dalam sorotan tema “Menerima sebuah kepalsuan”, tentunya membuat penasaran para pembaca. Agar rasa penasaran itu tidak berkepanjangan, saya mengajak para sahabat untuk menyimak sebuah sharing di bawah ini.
Sudah menjadi tradisi bagi biarawan/wati, untuk mengadakan rekoleksi setiap awal bulan, pertengahan atau akhir bulan sesuai dengan keadaan komunitas masing-masing. Tujuannya adalah untuk menyegarkan kembali pola/cara hidup bersama sepanggilan dalam komunitas, berdasarkan nasihat-nasihat Injili yang dihidupi melalui ketiga kaul yakni kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Duc In Altum (Bertolak lebih dalam ) mengingatkan kita pada Sang Guru Ilahi Yesus yang dalam karya-Nya, selalu mengajak para murid untuk beralih ke tempat yang sunyi untuk berdoa dan bersharing sebagai satu kesatuan dalam komunitas. Berdasarkan tradisi itulah kami Komunitas Kramat Jakarta mengadakan rekoleksi pada hari tgl Sabtu 3 Maret – Minggu 4 Maret 2012.
Ketika kami mengikuti rekoleksi yang dipimpin oleh seorang aktor handalan pengikut Ordo Fransiskan yaitu Rm.Kees OFM, kami diajak untuk berrefleksi tentang kebiasaan berkomunikasi. Menjadi kunci permenungan kami adalah “KOMUNIKASI”. Dalam proses berlanjut kami diajak untuk mendalami Kitab Kejadian 1:1-2;3. Isi dari Kitab Kejadian mengurai tentang penciptaan dengan penekanan pada kata “ Allah Berfirman” (Allah berkata-kata/komunikasi) dan “Manusia diciptakan serupa dengan Allah”. Manusia diberi kuasa oleh Allah untuk menjaga ciptaan-Nya yang lain. Permenungan yang cukup panjang dan mendalam namun pada dasarnya mengajak kami untuk lebih perhatian dalam mendengarkan setiap pergumulan sesama rekan suster, ketika berhadapan dengan karya perutusan yang menantang. Bukan saja perhatian pada rekan suster tetapi diajak juga agar senantiasa pekah terhadap jeritan umat Allah di jaman ini, terutama keluarga-keluarga diambang perpecahan, orang miskin dan terlantar dan yang terluka karna perlakuan ketidak adilan pemerintah dan sesama disekitarnya.
Komunikasi dipandang penting dalam sebuah kebersamaan / komunitas. Karena dari komunikasilah kita dapat merasakan sesungguhnya Allah yang maha baik dan berbelas kasih itu hadir dan berbicara dengan kita melalui sesama suster dan dalam doa-doa baik secara komunitas maupun pribadi. Dinamika yang digunakan sangat mengena di hati kami yakni; melalui seminar, diskusi kelompok dan tanya jawab. Yang lebih seru/ mengejutkan adalah sebuah vas bunga nan menawan dipegang oleh Romo dengan berjalan tertatih-tatih berdiri di tengah lingkaran para suster. Kemudian dia memanggil saya (Sr.Rosina) maju ke depan untuk menerima bunga pemberian romo sebagai tanda kesungguhan kami dalam mengikuti proses rekoleksi. Saya segera berdiri dengan mantap melangkah dan berdiri tepat di depan romo. Apa yang dibuatnya ? Romo menyerahkan bunga kepada saya sambil mengucapkan rangkaian kata yang indah liriknya bagai sebuah puisi cinta.
“Suster yang terkasih, terimalah pemberianku ini, karena suster begitu setia mengikuti rekoleksi yang saya bawakan ini dengan serius mencatat dan mendengarkan dengan baik”. Aduh hai…. hatiku juga berbunga-bunga menerima pemberian mawar merah, dari seorang aktor pecinta orang kecil itu, berparas tinggi/gagah , berkulit putih, hidung mancung lagi bermata biru dan berjenggot putih, membungkuk penuh hormat di depanku sambil menyerahkan serumpun bunga mawar itu.
Sebaliknya saya disuruh mengungkapkan perasaan saat menerima bunga tersebut. ‘Terima kasih atas perhatian romo pada saya sejak kemarin hingga hari ini, saya boleh mendapat penyegaran rohani dengan hati yang bebas dan boleh menerima bunga spesial dari romo”. Tetapi ketika itu apa yang terjadi ?, Vas bunga dan serumpun bunga yang ada persis dalam genggaman tanganku, diambil kembali oleh si aktor , dicabut bunga-bunga itu dan dilemparkan ke lantai, sambil berkata “ternyata suster ini senang dengan pemberian palsu, ini bunga plastik, bukan bunga hidup”.
Waduh….copot jantung ini kataku. Jadinya semua peserta rekoleksi kaget, semuanya diam tanpa kata. Namun dalam diam kami mendengarkan dengan baik apa yang diungkapkan Romo pada saat itu. Katanya; Kita manusia terkadang buta terhadap situasi di sekeliling kita, teristimewa sesama yang ada disekitar kita, sehingga tidak mampu lagi melihat dengan benar, apa yang dialami, dan bagaimana membantu sesuai kebutuhan saudara-saudari kita yang menderita karena berbagai tekanan hidup yang dialami. Ini hanya sebuah ilustrasi yang dibuat romo sebagai contoh komunikasih verbal. Terjawablah sudah rasa penasaran para sahabat.
Akhir kata, romo menegaskan kembali tema rekoleksi yaitu KOMUNIKASI. Komunikasi sifatnya tidak melulu berkata-kata atau banyak memberi nasihat kepada sesama, tetapi juga bisa dengan komunikasi non verbal karena sebagian orang hanya membutuhkan untuk didengarkan. Dengan demikian kita mampu memandang dengan mata hati, penuh kelembutan sehingga orang lain makin merasa nyaman dan mampu terbuka mengungkapkan berbagai pergumulan dengan tulus, tanpa takut / ragu-ragu, tanpa diselubungi oleh kepalsuan diri. Sebaliknya kita secara pribadi harus mampu membuka topeng-topeng keegoan kita, sekaligus membebaskan diri dari ikatan-ikatan yang membelenggu diri, mampu mengampuni dengan tulus dan utamakan kejujuran tanpa dibarengi sebuah kepalsuan.
Selamat membaharui diri dengan bercermin pada Jendela Johari. Kuakhiri refleksi ini dengan sebuah lirik lagu dari Sheila Marcia “Damai Bersama Mu” hanya penggalan lagu pada refrain;
Jangan biarkan damai ini pergi,
Jangan biarkan semuanya berlalu,
Hanya pada-Mu Tuhan tempatku berteduh
dari semua kepalsuan dunia.
Para pembaca dan sahabat-sahabatku yang budiman inilah kisah kasih permenunganku dalam bekerjasama dengan Roh Allah melalui rekoleksi komunitasku yang dipandu langsung oleh sang aktor terkenal kaum miskin alias Rm. Kees OFM, bertempat di Kramat, Jakarta Pusat.
Syalom
By Sr.Rosina PBHK
Terima kasih Suster, atas cerita dan keberanian untuk "menerima kepalsuan", sehingga dengan demikian, kami semua yang membaca tulisan ini akan terinspirasi untuk menerima realita dan kebenaran.....tidak ada lagi kepalsuan. Hidup dalam kepalsuan sama dengan hidup dalam permusuhan dan pertentangan dengan diri sendiri, sesama dan Sang Pencipta. Di dalam situasi yang demikian ini, tidak ada kedamaian dan kebahagiaan. Mereka yang demikian ini, sebenarnya orang yang "mati" meskipun raganya masih hidup.
Judul dari tulisan ini amat menarik, bukan ? Menerima kebaikan dan kemujuran itu adalah hal yang biasa, namun menerima sebuah kepalsuan.....apa enaknya ? Sr. Rosina hendak memaparkan kepada kita "apa dan bagaimana menerima kepalsuan itu". Ayo, kita ikuti ceritanya:
MENERIMA SEBUAH KEPALSUAN
Kepalsuan kata dasarnya, “palsu” kiranya dimengerti sebagai “tiruan” dan bukan yang asli. Namun sangat mirip dengan yang asli. Menerima sebuah kepalsuan dalam bentuk tindakan, kata-kata atau materi sudah sering terjadi. Manusia tidak dapat dengan mudah mengenali mana yang asli dan mana yang palsu / tiruan. Dewasa ini dalam perjalanan hidup sehari-hari seakan kepalsuan sikap dan tutur kata rayuan terhadap materi, pergaulan yang tidak sehat, seakan mengintai setiap pribadi, bahkan bisa menjadi teman hidup. Sebuah refleksi pribadi dalam sorotan tema “Menerima sebuah kepalsuan”, tentunya membuat penasaran para pembaca. Agar rasa penasaran itu tidak berkepanjangan, saya mengajak para sahabat untuk menyimak sebuah sharing di bawah ini.
Sudah menjadi tradisi bagi biarawan/wati, untuk mengadakan rekoleksi setiap awal bulan, pertengahan atau akhir bulan sesuai dengan keadaan komunitas masing-masing. Tujuannya adalah untuk menyegarkan kembali pola/cara hidup bersama sepanggilan dalam komunitas, berdasarkan nasihat-nasihat Injili yang dihidupi melalui ketiga kaul yakni kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Duc In Altum (Bertolak lebih dalam ) mengingatkan kita pada Sang Guru Ilahi Yesus yang dalam karya-Nya, selalu mengajak para murid untuk beralih ke tempat yang sunyi untuk berdoa dan bersharing sebagai satu kesatuan dalam komunitas. Berdasarkan tradisi itulah kami Komunitas Kramat Jakarta mengadakan rekoleksi pada hari tgl Sabtu 3 Maret – Minggu 4 Maret 2012.
Ketika kami mengikuti rekoleksi yang dipimpin oleh seorang aktor handalan pengikut Ordo Fransiskan yaitu Rm.Kees OFM, kami diajak untuk berrefleksi tentang kebiasaan berkomunikasi. Menjadi kunci permenungan kami adalah “KOMUNIKASI”. Dalam proses berlanjut kami diajak untuk mendalami Kitab Kejadian 1:1-2;3. Isi dari Kitab Kejadian mengurai tentang penciptaan dengan penekanan pada kata “ Allah Berfirman” (Allah berkata-kata/komunikasi) dan “Manusia diciptakan serupa dengan Allah”. Manusia diberi kuasa oleh Allah untuk menjaga ciptaan-Nya yang lain. Permenungan yang cukup panjang dan mendalam namun pada dasarnya mengajak kami untuk lebih perhatian dalam mendengarkan setiap pergumulan sesama rekan suster, ketika berhadapan dengan karya perutusan yang menantang. Bukan saja perhatian pada rekan suster tetapi diajak juga agar senantiasa pekah terhadap jeritan umat Allah di jaman ini, terutama keluarga-keluarga diambang perpecahan, orang miskin dan terlantar dan yang terluka karna perlakuan ketidak adilan pemerintah dan sesama disekitarnya.
Komunikasi dipandang penting dalam sebuah kebersamaan / komunitas. Karena dari komunikasilah kita dapat merasakan sesungguhnya Allah yang maha baik dan berbelas kasih itu hadir dan berbicara dengan kita melalui sesama suster dan dalam doa-doa baik secara komunitas maupun pribadi. Dinamika yang digunakan sangat mengena di hati kami yakni; melalui seminar, diskusi kelompok dan tanya jawab. Yang lebih seru/ mengejutkan adalah sebuah vas bunga nan menawan dipegang oleh Romo dengan berjalan tertatih-tatih berdiri di tengah lingkaran para suster. Kemudian dia memanggil saya (Sr.Rosina) maju ke depan untuk menerima bunga pemberian romo sebagai tanda kesungguhan kami dalam mengikuti proses rekoleksi. Saya segera berdiri dengan mantap melangkah dan berdiri tepat di depan romo. Apa yang dibuatnya ? Romo menyerahkan bunga kepada saya sambil mengucapkan rangkaian kata yang indah liriknya bagai sebuah puisi cinta.
“Suster yang terkasih, terimalah pemberianku ini, karena suster begitu setia mengikuti rekoleksi yang saya bawakan ini dengan serius mencatat dan mendengarkan dengan baik”. Aduh hai…. hatiku juga berbunga-bunga menerima pemberian mawar merah, dari seorang aktor pecinta orang kecil itu, berparas tinggi/gagah , berkulit putih, hidung mancung lagi bermata biru dan berjenggot putih, membungkuk penuh hormat di depanku sambil menyerahkan serumpun bunga mawar itu.
Sebaliknya saya disuruh mengungkapkan perasaan saat menerima bunga tersebut. ‘Terima kasih atas perhatian romo pada saya sejak kemarin hingga hari ini, saya boleh mendapat penyegaran rohani dengan hati yang bebas dan boleh menerima bunga spesial dari romo”. Tetapi ketika itu apa yang terjadi ?, Vas bunga dan serumpun bunga yang ada persis dalam genggaman tanganku, diambil kembali oleh si aktor , dicabut bunga-bunga itu dan dilemparkan ke lantai, sambil berkata “ternyata suster ini senang dengan pemberian palsu, ini bunga plastik, bukan bunga hidup”.
Waduh….copot jantung ini kataku. Jadinya semua peserta rekoleksi kaget, semuanya diam tanpa kata. Namun dalam diam kami mendengarkan dengan baik apa yang diungkapkan Romo pada saat itu. Katanya; Kita manusia terkadang buta terhadap situasi di sekeliling kita, teristimewa sesama yang ada disekitar kita, sehingga tidak mampu lagi melihat dengan benar, apa yang dialami, dan bagaimana membantu sesuai kebutuhan saudara-saudari kita yang menderita karena berbagai tekanan hidup yang dialami. Ini hanya sebuah ilustrasi yang dibuat romo sebagai contoh komunikasih verbal. Terjawablah sudah rasa penasaran para sahabat.
Akhir kata, romo menegaskan kembali tema rekoleksi yaitu KOMUNIKASI. Komunikasi sifatnya tidak melulu berkata-kata atau banyak memberi nasihat kepada sesama, tetapi juga bisa dengan komunikasi non verbal karena sebagian orang hanya membutuhkan untuk didengarkan. Dengan demikian kita mampu memandang dengan mata hati, penuh kelembutan sehingga orang lain makin merasa nyaman dan mampu terbuka mengungkapkan berbagai pergumulan dengan tulus, tanpa takut / ragu-ragu, tanpa diselubungi oleh kepalsuan diri. Sebaliknya kita secara pribadi harus mampu membuka topeng-topeng keegoan kita, sekaligus membebaskan diri dari ikatan-ikatan yang membelenggu diri, mampu mengampuni dengan tulus dan utamakan kejujuran tanpa dibarengi sebuah kepalsuan.
Selamat membaharui diri dengan bercermin pada Jendela Johari. Kuakhiri refleksi ini dengan sebuah lirik lagu dari Sheila Marcia “Damai Bersama Mu” hanya penggalan lagu pada refrain;
Jangan biarkan damai ini pergi,
Jangan biarkan semuanya berlalu,
Hanya pada-Mu Tuhan tempatku berteduh
dari semua kepalsuan dunia.
Para pembaca dan sahabat-sahabatku yang budiman inilah kisah kasih permenunganku dalam bekerjasama dengan Roh Allah melalui rekoleksi komunitasku yang dipandu langsung oleh sang aktor terkenal kaum miskin alias Rm. Kees OFM, bertempat di Kramat, Jakarta Pusat.
Syalom
By Sr.Rosina PBHK
Terima kasih Suster, atas cerita dan keberanian untuk "menerima kepalsuan", sehingga dengan demikian, kami semua yang membaca tulisan ini akan terinspirasi untuk menerima realita dan kebenaran.....tidak ada lagi kepalsuan. Hidup dalam kepalsuan sama dengan hidup dalam permusuhan dan pertentangan dengan diri sendiri, sesama dan Sang Pencipta. Di dalam situasi yang demikian ini, tidak ada kedamaian dan kebahagiaan. Mereka yang demikian ini, sebenarnya orang yang "mati" meskipun raganya masih hidup.
Komentar