BERAWAL DARI JAGUNG
Bertiga kami (Kasdi, Chandra dan Mgr Niko) mengadakan perjalanan ke pinggiran kota Merauke, senin 26 Maret 2012, melewati jembatan Kali (sungai) Maro. Kali Maro adalah sungai terbesar di wilayah Kab. Merauke. Tujuan perjalanan ini adalah melihat dari dekat, kehidupan masyarakat Merauke, keadaan / kesuburan tanah dan daerah transmigrasi di wilayah ini. Di sepanjang perjalanan kami bercerita tentang air yang menggenang di mana-mana. Maklum, wilayah Kabupaten Merauke letaknya 2 meter di bawah permukaan air laut. Wilayahnya 60 % rawa, 15 % laut dan 25 % dataran rendah.
Kami melihat lokasi tanah di Serapu ( 12 km dari Merauke ) agar punya gambaran kongkrit letak lokasi itu, keadaan tanah di sana dan sekitarnya, curah hujan, pohon-pohon apakah yang tumbuh di sekitarnya. Jalan raya menuju ke lokasi itu lumayan bagus, bahkan sebagian telah dikeraskan dengan menggunakan “tiling” (pasir sisa tambang dari Freeport – Timika). Rumah-rumah penduduk sudah mulai banyak, bahkan penduduk asli pun ada yang tinggal di sepanjang jalan itu, mereka bercampur dengan penduduk lain yang bermatapencaharian menanam padi.
Kami kemudian menuju lokasi transmigrasi di Semangga I dan II. Para transmigran kebanyakan adalah orang Jawa Tengah. Mereka berasal dari Purwodadi, Brebes, Banyuwangi, Wonokromo, Kebumen dll yang pindah ke wilayah itu sekitar tahun 1970-an. Kini kehidupan mereka sudah makmur. Panenan melimpah: beras, jagung, dan aneka sayuran. Mereka sudah banyak yang berhasil menyekolahkan anak-anak mereka menjadi sarjana lulusan perguruan tinggi di Jawa.
Dalam perjalanan itulah, kami mampir dan menikmati jagung rebus. Rasanya manis, biji buahnya besar-besar, dan empuk. Sambil menikmati jagung, kami mengamati pohon pisang, sayuran, tanaman singkong, cabe dll. Tanahnya hitam dan subur. Tanaman-tanaman itu tumbuh subur meskipun tanpa pupuk. Berawal dari jagung inilah kami mulai berbicara tentang kerinduan untuk menanam pohon / tanaman keras: jati, jambon, sengon dll. Pohon-pohon itu bisa tumbuh cepat, batangnya besar-besar dalam kurun waktu 4-5 tahun. Itu berarti bila pohon itu dikembangkan, kebutuhan kayu di Merauke yang makin hari makin meningkat bisa dicukupi, dan malah bisa dijual ke luar Merauke. Harganya juga lumayan menjanjikan.
Chandra, ketika melihat langsung keadaan tanah yang subur, luasnya tanah yang memungkinkan masyarakat menanam dalam jumlah besar, tergerak juga untuk mengusahakan bibit-bibit pohon. Dalam waktu dekat, akan ada peninjauan ke tempat pembibitan di Bandung, dan berdiskusi dengan rekan-rekan sejawatnya sebagai tindak lanjut kunjungan ke lapangan. Demikian pula Kasdi, ia pun turut memperhatikan tanah yang hitam dan menyebut aneka tanaman yang ia amati, sambil menikmati jagung manis. Kami bertiga berfoto sambil memegang jagung manis yang masih panas itu. Tanah Merauke benar-benar subur.....menantikan tangan-tangan penuh kasih yang mau mengolah tanah ini untuk kemakmuran dan kesejahteraan hidup masyarakat banyak.
Menanam pohon merupakan tanda bukti cinta dan kepedulian manusia kepada alam ciptaan yang amat indah, kaya dan subur di mana pun. Menanam pohon juga merupakan ungkapan terima kasih kepada Sang Pencipta yang elah memberikan aneka pohon kepada manusia. Terlebih ketika kebutuhan kayu untuk pembangunan amat besar, menanam pohon untuk masa depan adalah suatu tindakan yang amat dibanggakan. Kayu yang dipakai tidak akan tumbuh kembali. Maka usaha penanaman kembali dan mengusahakannya dalam jumlah besar merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Lagi pula, tumbuhan menyediakan oksigen yang diperlukan oleh manusia. Karena itu, pohon-pohon perlu ditambah jumlahnya, dan sebagian lagi dilestarikan agar anak cucu tahu bahwa di daerah mereka ada tanaman-tanaman yang langka dan berharga.
Anda yang tergerak hati dan ingin ambil bagian dalam mengembangkan kehidupan masyarakat Merauke, dengan menanam pohon, silakan datang. Di tanah ini, ada banyak hal yang mengagumkan. Itu semua adalah hadiah dari Sang Pencipta bagi kita umat manusia.
Komentar