Mokbiran

Mokbiran adalah pusat paroki. Letaknya sulit dicari di peta. Untuk mencapai tempat ini, pada musim hujan, mereka memilih terbang dengan pesawat MNA jenis Twin Otter ke Tanah Merah, lalu dengan jalan darat melalui Mindipatana. Penerbangan ini memakan waktu, 1 jam 10 menit. Biaya perjalanan Rp 1.100.000 ,- sekali terbang. Jalan darat sudah ada, namun sebagian besar belum diaspal. Bila musim hujan beberapa ruas jalan tetap kering, namun sebagian besar menjadi basah dan gampang sekali menjadi becek dan sulit dilalui. Hanya mobil-mobil dobel gardanlah yang bisa menembuh medan yang berat ini. Jarak Tanah Merah - Mindiptana 90 km dan Mindiptana - Mokbiran sebenarnya tidak jauh, hanya 30 km.

Dengan sepeda motor pada musim hujan, jarak Tanah Merah Mindiptana ditempuh dalam waktu 4 jam, sedangkan Mindiptana - Mokbiran, kira-kira 2 jam, jadi seluruhnya: 6 jam. Sedangkan pada musim kemarau, jarak yang sama dapat ditempuh dalam waktu 3 jam. Bila ditempuh dengan mobil, pada musim hujan jarak yang sama bisa memakan waktu 8 - 10 jam. Bila jalan dalam keadaan buruk, perjalanan itu bisa memakan waktu lebih lama lagi, atau bahkan bermalam di tengah hutan. Perjalanan yang sama pada musim kemarau bisa ditempuh dengan waktu lebih singkat, sekitar 3 jam.

Masyarakat yang tidak mempunyai kendaraan bisa menyewa / membonceng ojek dengan biaya Rp. 600.000 sekali jalan. Sedangkan bila naik mobil / mencarter mobil, biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp 3 pada musim panas dan Rp 4 juta rupiah untuk sekali jalan pada musim hujan. Para penumpang harus siap bekal sendiri, karena di jalan tidak ada restoran atau warung makan.

Beberapa tahun sebelumnya, jalan-jalan di wilayah ini sudah pernah diaspal, dengan banyak jembatan kayu di beberapa tempat. Ketika kayu-kayu jembatan itu lapuk, semua kendaraan harus lewat jalan tanah yang becek dan sulit. Untuk bisa melewati jalan licin dan becek itu, para pengguna jalan menaruk kayu-kayu bantuan yang cukup banyak. Bahkan ada yang merelakan kendaraannya melewati air sungai yang tingginya melewati knalpot. Dalam hal seperti ini, mobil-mobil terpaksa harus menunggu sampai tinggi air agak turun.

Tgl 18 - 20 Agustus 2009 yang lalu, telah dilaksanakan 2 kali penerimaan Krisma di paroki Mokbiran, yaitu di Mokbiran dan di stasi Amuan. Di Mokbiran ada 40 an orang, sedangkan di Amuan ada 30 -an orang. Banyak di antara mereka yang tidak bisa membaca dengan lancar. Mengapa demikian ? Ada beberapa di antara mereka yang baru pulang dari PNG dan tidak tahu berbahasa Indonesia. Yang lain, hanya sekolah sampai kelas II SD. Sudah lebih dari 15 tahun sekolah tidak berjalan ( alias tutup ) karena guru tidak ada.

Yang menggembirakan adalah mereka tetap setia pada agama yang mereka anut, yaitu agama katolik meskipun di stasi mereka perayaan ekaristi tidak dapat diarayakan setiap hari minggu. Pastor paroki berkeliling untuk melayani 7 stasi.

Selain itu, hal yang menggembirakan lainnya adalah ada 1seorang nenek yang memberikan sebagian panenan buah durian secara tetap kepada paroki. Bagaimana hal ini diatur ? Ada 1 cabang besar yang menjulur ke arah pastoran. Semua buah yang ada di cabang / dahan pohon durian yang besar itu adalah milik pastor. Mereka dengan setia memungut / memetik buah yang sudah jatuh dan diserahkan ke pastoran. Tua-muda dan siapa pun yang mengetahui buah yang jatuh itu, dengan rela hati menyerahkannya ke pastoran meski pastor tidak di tempat.

Nenek itu sudah meninggal, namun wasiat dan permintaan kepada anak dan cucunya agar mereka melanjutkan "persembahan" itu tetap dijalankan sampai saat ini. Sungguh suatu teladan kesetiaan dan rasa hormat kepada orang tua / nenek ternyata tetap hidup dan mewarnai serta memperkaya spiritualitas kaum sedaaerhana di daerah yang terpencil itu. Ini bukti bahwa iman dan kasih yang telah ditanamkan para misionaris telah menghasilkan buah. Tuhan sendiri telah berkarya di tengah umat-Nya.

Di kedua kampung itu hanya ada guru honor di SD. Mereka tidak mempunyai ijazah guru, hanya lulusan SMA. Karena terdorong oleh kemauan baik dan semangat besar agar generasi muda mereka "tidak buta huruf" dan ada sebagian dari mereka bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mereka merelakan diri mengabdi sebagai "guru". Mereka mendapat honor seadanya, yang diberikan oleh Kepala Desa bila dana bantuan desa sudah dicairkan.

Dari keadaan yang demikian, tokh ada beberapa anak murid yang hasilnya menggembirakan dan bisa mengikuti pendidikan SMP dan SMP di Mindiptana (20 km jaraknya dari kampung / desa mereka).

Persoalan terbesar: 1) letak geografis kampung mereka yang jauh dari pusat kecamatan, jalanan rusak, listrik belum ada, angkutan umum juga bisa dikatakan tidak ada. Sembako harus datang dari tempat yang jauh. 2) guru-guru dan pegawai pemerintah tidak punya tempat tinggal. Mereka harus menunggu lama untuk mendapatkan perumahan. Masyarakat sering amat menggantungkan harapan kepada pemerintah, bahwa semua kebutuhan guru akan dipenuhi oleh pemerintah. Akibatnya, masyarakat setempat pasif dan amat tergantung pada kebaikan pemerintah. 3) guru-guru tidak punya teman sepadan untuk sharing, tukar pikiran. Mereka sering harus menjadi "orang yang serba bisa", padahal bahan bacaan sulit didapat dan siaran tv tidak ada, karena tidak ada listrik dan antene pemancar. 4) biaya perjalanan dari kecamatan ke tempat tugas amat mahal. 5) semangat pengabdian memang makin melemah.

Kondisi ini merupakan lingkaran setan yang sulit dipecahkan bila dikerjakan sendiri-sendiri. Perlu komitmen bersama dari semua pihak, dan program kerja yang jelas, serta dialokasikan dana tetap agar seluruh kegiatan dalam rangka peningkatan SDM di daerah pedalaman menjadi kenyataan.

Komentar

Postingan Populer