Manusia atau Dema ?
Ketika para misionaris mewartakan Firman Tuhan kepada masyarakat Papua, 100 tahun yang lalu, pertanyaan yang dilontarkan penduduk setempat adalah "Kamu manusia atau dema (setan)?" Pertanyaan itu muncul, karena sosok fisik dari misionaris itu amat berbeda dengan sosok fisik penduduk setempat. Misionaris Eropa (Belanda) berkulit putih dan berambut pirang/lurus, sedangkan penduduk setempat berkulit hitam, dan berambut hitam/keriting.
Mereka belum pernah melihat manusia berkulit putih. Maka, mereka mau meyakinkan diri dengan pertanyaan tadi "apakah si kulit putih itu manusia atau dema (setan). Ternyata si kulit putih itu adalah manusia juga seperti mereka.
Pertanyaan kedua yang dilontarkan adalah "Kamu datang dari atas atau dari bawah ? "Kalau kamu dari atas, silakan datang dan masuk ke kampung kami. Kalau kami dari basah, silakan pulang". "Dari atas" maksudnya dari surga, sedangkan "dari bawah" artinya dari dunia ini. Menurut mereka, yang datang dari atas itu datang dari roh yang baik, yang penuh kasih dan murah hati.
Misionaris yang berkulit putih itu menjawab:"Saya datang dari atas". Saya datang untuk kalian, saya datang membawa kabar baik tentang Tuhan Yesus". Setelah jawaban itu disampaikan, ia diterima dengan baik orang penduduk setempat. Dan mulailah pembicaraan dengan mereka, dengan bahasa isyarat, karena mereka belum mengenal bahasa masing-masing.
Umat Makaling (250 km di utara Merauke) menampilkan kembali adegan 100th yang lalu itu, ketika mereka menyambut kedatangan Uskup di kampung Mereka, tgl 20 Agustus 2009 yang lalu. Sayang bahwa adegan itu tidak dishooting, sehingga tidak dapat ditampilkan secara lugas penampilan dan gerakan real "situasi penghadiran masa lalu, dalam masa sekarang ini". Yang jelas, peragaan itu tidak menampilkan "manusia-manusia telanjang". Mereka memperagakan "semangat penyambutan" bukan menyuguhkan ketelanjangan fisik yang sering dijadikan "obat ingin tahu" tentang keadaan masa kini penduduk lokal.
Mereka melalui gerak dan tari itu menceritakan bahwa ketika Kabar Gembira itu masuk,terlebih ketika Yesus masuk di kampung itu dan di hati mereka, roh-roh jahat menyingkir. Kuasa-kuasa kegelapan menghilang. Perselisihan, perkelahian, dan saling membunuh dihentikan. Alat-alat perang: busur dan anak panah mereka patahkan. Perdamaian dikumandangkan dan disepakati. Hidup baru dimulai. Sesama tidak lagi dipandang sebagai musuh, mereka adalah sahabat, sebab manusia adalah ciptaan Allah. Umat manusia adalah anak-anak Allah, bukan dema (setan).
Di Makaling, diterima krisma kepada 61 orang. Sedangkan di Sanggase diterimakan krisma kepada 38 orang. Setelah acara utama selesai, umat dan para krismawan-krismawati mengadakan perjamuan bersama. Mereka membuat "sagu sep", yaitu makanan khas masyarakat Papua. Adonan sagu itu, dicampur kelapa muda atau pisang raja, atau daging. Lalu adonan yang sudah siap itu, ditebarkan di atas bara api yang diatasnya ditutup dengan daun pisang. Panjangnya bisa mencapai 3 meter. Ini tergantung dari berapa jumlah tamu yang akan mendapat bagian. Semakin banyak tamu, semakin panjang sep yang dibuat. Lalu, di bagian atasnya ditutup juga dengan daun pisang sampai rapat. Baru kemudian timbunan makanan itu ditutup rapat-rapat dengan kulit kayu.
Sebenarnya, cara pembuatan itu, secara moderen sama dengan membuat nagasari atau "lemet" ukuran besar, dibungkus tebal dengan daun-daun pisang lalu dimasukkan ke dalam oven. Atau, bisa juga, "lemet" mentah tadi dikukus. Hasilnya juga kira-kira sama dengan "sagu sep" khas masyarakat Papua.
Catatan:
Peragaan atas kehadiran misionaris pertama ke kampung mereka, sebenarnya merupakan pembaharuan tekad mereka untuk mengikuti Yesus. Menerima sakramen krisma dalam usia 17 tahun (yang sudah dianggap dewasa) merupakan simbol bahwa mereka mau ikut Yesus sebagaimana para leluhur mereka. Kalau dulu mereka diwakili oleh orangtua, pada saat krisma, mereka sendiri menyatakan janji itu untuk setia kepada Kristus dan menjadi saksi-Nya.
Sakramen Krisma memang membuat orang menyadari betapa besarnya kasih Tuhan kepada mereka. Ia merupakan sakramen ke 3 (atau ke empat) dalam tata urutan penerimaan sakramen-sakramen gerejani. Artinya, orang yang menerima krisma makin dilengkapi untuk makin bersatu dengan Kristus dan Gereja-Nya, dan dari dalam dirinya akan muncul dorongan dan kerinduan untuk memberikan kesaksian tentang kebaikan hati Allah, melalui kehidupannya yang baik, penuh damai dan sukacita bersama dengan sesama / tetangga dan masyarakatnya.
Mereka belum pernah melihat manusia berkulit putih. Maka, mereka mau meyakinkan diri dengan pertanyaan tadi "apakah si kulit putih itu manusia atau dema (setan). Ternyata si kulit putih itu adalah manusia juga seperti mereka.
Pertanyaan kedua yang dilontarkan adalah "Kamu datang dari atas atau dari bawah ? "Kalau kamu dari atas, silakan datang dan masuk ke kampung kami. Kalau kami dari basah, silakan pulang". "Dari atas" maksudnya dari surga, sedangkan "dari bawah" artinya dari dunia ini. Menurut mereka, yang datang dari atas itu datang dari roh yang baik, yang penuh kasih dan murah hati.
Misionaris yang berkulit putih itu menjawab:"Saya datang dari atas". Saya datang untuk kalian, saya datang membawa kabar baik tentang Tuhan Yesus". Setelah jawaban itu disampaikan, ia diterima dengan baik orang penduduk setempat. Dan mulailah pembicaraan dengan mereka, dengan bahasa isyarat, karena mereka belum mengenal bahasa masing-masing.
Umat Makaling (250 km di utara Merauke) menampilkan kembali adegan 100th yang lalu itu, ketika mereka menyambut kedatangan Uskup di kampung Mereka, tgl 20 Agustus 2009 yang lalu. Sayang bahwa adegan itu tidak dishooting, sehingga tidak dapat ditampilkan secara lugas penampilan dan gerakan real "situasi penghadiran masa lalu, dalam masa sekarang ini". Yang jelas, peragaan itu tidak menampilkan "manusia-manusia telanjang". Mereka memperagakan "semangat penyambutan" bukan menyuguhkan ketelanjangan fisik yang sering dijadikan "obat ingin tahu" tentang keadaan masa kini penduduk lokal.
Mereka melalui gerak dan tari itu menceritakan bahwa ketika Kabar Gembira itu masuk,terlebih ketika Yesus masuk di kampung itu dan di hati mereka, roh-roh jahat menyingkir. Kuasa-kuasa kegelapan menghilang. Perselisihan, perkelahian, dan saling membunuh dihentikan. Alat-alat perang: busur dan anak panah mereka patahkan. Perdamaian dikumandangkan dan disepakati. Hidup baru dimulai. Sesama tidak lagi dipandang sebagai musuh, mereka adalah sahabat, sebab manusia adalah ciptaan Allah. Umat manusia adalah anak-anak Allah, bukan dema (setan).
Di Makaling, diterima krisma kepada 61 orang. Sedangkan di Sanggase diterimakan krisma kepada 38 orang. Setelah acara utama selesai, umat dan para krismawan-krismawati mengadakan perjamuan bersama. Mereka membuat "sagu sep", yaitu makanan khas masyarakat Papua. Adonan sagu itu, dicampur kelapa muda atau pisang raja, atau daging. Lalu adonan yang sudah siap itu, ditebarkan di atas bara api yang diatasnya ditutup dengan daun pisang. Panjangnya bisa mencapai 3 meter. Ini tergantung dari berapa jumlah tamu yang akan mendapat bagian. Semakin banyak tamu, semakin panjang sep yang dibuat. Lalu, di bagian atasnya ditutup juga dengan daun pisang sampai rapat. Baru kemudian timbunan makanan itu ditutup rapat-rapat dengan kulit kayu.
Sebenarnya, cara pembuatan itu, secara moderen sama dengan membuat nagasari atau "lemet" ukuran besar, dibungkus tebal dengan daun-daun pisang lalu dimasukkan ke dalam oven. Atau, bisa juga, "lemet" mentah tadi dikukus. Hasilnya juga kira-kira sama dengan "sagu sep" khas masyarakat Papua.
Catatan:
Peragaan atas kehadiran misionaris pertama ke kampung mereka, sebenarnya merupakan pembaharuan tekad mereka untuk mengikuti Yesus. Menerima sakramen krisma dalam usia 17 tahun (yang sudah dianggap dewasa) merupakan simbol bahwa mereka mau ikut Yesus sebagaimana para leluhur mereka. Kalau dulu mereka diwakili oleh orangtua, pada saat krisma, mereka sendiri menyatakan janji itu untuk setia kepada Kristus dan menjadi saksi-Nya.
Sakramen Krisma memang membuat orang menyadari betapa besarnya kasih Tuhan kepada mereka. Ia merupakan sakramen ke 3 (atau ke empat) dalam tata urutan penerimaan sakramen-sakramen gerejani. Artinya, orang yang menerima krisma makin dilengkapi untuk makin bersatu dengan Kristus dan Gereja-Nya, dan dari dalam dirinya akan muncul dorongan dan kerinduan untuk memberikan kesaksian tentang kebaikan hati Allah, melalui kehidupannya yang baik, penuh damai dan sukacita bersama dengan sesama / tetangga dan masyarakatnya.
Komentar