PENCERAHAN
PEMBACA YANG BUDIMAN
Dalam milis pendidikan, saya mendapatkan kiriman email yang amat bagus isinya. Penulis sebagai seorang muslim ( Islam ) memberikan pencerahan kepada pembacanya dan tentu karena ditulis di dunia maya juga, memberikan pencerahan kepada umat manusia di dunia ini. Saya haturkan sepenuhnya tulisan / pandangan tersebut untuk anda di blog ini.
Pandangan Saya Sebagai Orang Islam Terhadap Ahok
Melaui blog ini, saya hendak menghaturkan banyak terima kasih kepada ibu Anita Tahmid atas pencerahan yang keluar dari hati nurani yang tulus. Saya doakan agar ibu Anita dikarunia lebih banyak rahmat yang akan beliau salurkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara bagi banyak orang.
Dalam milis pendidikan, saya mendapatkan kiriman email yang amat bagus isinya. Penulis sebagai seorang muslim ( Islam ) memberikan pencerahan kepada pembacanya dan tentu karena ditulis di dunia maya juga, memberikan pencerahan kepada umat manusia di dunia ini. Saya haturkan sepenuhnya tulisan / pandangan tersebut untuk anda di blog ini.
Pandangan Saya Sebagai Orang Islam Terhadap Ahok
Posted by
Suara Pengusaha Opini, Pilihan, Terkini Sunday, August 5th, 2012 - 12:25 pm |
Oleh Anita Tahmid (Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo)
KAMIS, kemarin, 19 Juli 2012, KPUD Jakarta mengumumkan hasil Pemilukada
tanggal 11 Juli 2012 yang lalu. Hasilnya sebagai berikut: Jokowi – Ahok 42,6 %;
Foke – Nara 34,05 %; Hidayat – Didik 11,7 %; Faisal – Biem 4,9 %; Alex – Nono
4,67 %; Herdardji – Riza 1,97 %. Tampilnya pasangan Joko Widodo – Basuki
Tjahaja Purnama atau Jokowi – Ahok sebagai peraih suara paling tinggi cukup
mengejutkan bagi saya, karena survei-survei yang dilakukan sebelum hari
pemilihan hanya menempatkan pasangan kotak-kotak itu pada posisi kedua. Padahal, Calon Wakil Gubernur
yang diusung PDI Perjuangan dan Gerinda itu beragama Kristen Protestan. Hasil
ini menunjukkan, agama Calon Gubernur dan Wakil Gubernur tidak terlalu menjadi
persoalan bagi warga Jakarta yang mayoritas Muslim. Mereka sama sekali tak
menghiraukan fatwa atau pendapat yang mengharamkan memilih Non-Muslim sebagai
pemimpin.
Memang sudah seharusnya pemilih Jakarta menunjukkan kelasnya sebagai
warga Ibukota yang cerdas, rasional dan tidak emosional, yang menyadari isu
agama itu dimunculkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, untuk
kepentingan politik sesaat. Isu agama bukan kali pertama terjadi di dunia perpolitikan di Indonesia.
Pemilihan Presiden tahun 1999, 2004 dan 2009 selalu diwarnai isu agama. Tahun
1999 sekelompok ulama dan tokoh Islam mengeluarkan fatwa haramnya perempuan
menjadi presiden. Fatwa itu sengaja dimunculkan untuk menghadang Megawati
Soekarno Putri, karena ada kekhawatiran terhadap orang-orang di belakang
Megawati yang rata-rata abangan dan bahkan Non-Muslim.
Pada Pilpres 2004 isu
agama kembali dihembuskan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Istri
Calon Presiden SBY dituduh beragama Kristen karena namanya Kristiani Herrawati.
Demikian juga pada Pilpres 2009 istri Calon Wakil Presiden Boediono dituduh
beragama Kristen. Akibat tuduhan itu, beberapa kali Bu Herawati mengenakan
jilbab untuk menunjukkan di depan publik bahwa tuduhan itu tidak benar.
Ternyata semua isu agama itu tidak terbukti. Kekhawatiran adanya kristenisasi
dan pembangunan gereja besar-besaran pada pemerintahan Megawati, ketika Bu Ani
Yudhoyono menjadi ibu Negara dan pada saat Bu Herawati Boediono menjadi Ibu
Wakil Presiden, semua itu tidak terbukti. Rakyat akhirnya paham bahwa isu agama
hanyalah dijadikan mainan politik semata.
Memilih Pemimpin yang Sejati
Menurut saya, memilih pemimpin harus didasarkan kepada kemampuan Calon,
bukan apa agama Calon. Sebab, soal agama adalah urusan pribadi antara seorang
hamba dengan Tuhannya. Apakah Calon rajin sembahyang atau tidak, tekun puasa
Ramadhan atau tidak, dan selalu membayar zakat atau tidak, itu semua bukan
urusan rakyat untuk mengetahuinya. Yang perlu dipertimbangkan saat memilih
pemimpin adalah sejauhmana kemampuan pemimpin untuk menghadirkan sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Karena itu, yang harus dipilih adalah pemimpin yang adil
sehingga kepemimpinannya membawa kemaslahatan (kemanfaatan) bagi rakyat yang
dipimpinnya. Dalam Kitab Al-Hisbah karangan Ibnu Taimiyah dinyatakan sebagai
berikut: الله ينصر الدولة العادلة وإن كانت كافرة، ولا ينصر الدولة الظالمة وإن كانت مؤمنة Artinya: “Allah akan menolong Negara yang adil
meskipun Negara itu Kafir. Dan Allah tidak akan menolong Negara yang dholim
meskipun Negara itu Mukmin (Islam).”
Kita bisa melihat Australia, Jepang, Korea, Negara-negara Eropa dan Amerika
yang penduduknya bukan mayoritas Muslim (baca: Kafir), tapi ternyata lebih maju
dan sejahtera dibandingkan dengan Negara-negara Islam seperti Mesir, Yaman,
Aljazair, Oman, Libya dan Tunis, tidak lain karena Negara-negara Kafir itu
menjunjung tinggi keadilan. Maka Allah menolong mereka karena keadilan yang
mereka tegakkan. Seorang tokoh pembaharu asal Mesir, Mohammad Abduh mengatakan
“Saya melihat Islam di Barat tapi saya tidak temukan Kaum Muslim di sana.
Sebaliknya, saya menemukan Kaum Muslim di Timur tapi saya tidak melihat ada
Islam di sana.” Maksudnya, Orang-orang Barat tidak mengenal agama Islam, namun
perilakunya mencerminkan ajaran Islam. Mereka menjunjung tinggi keadilan, giat
bekerja, disiplin, memudahkan urusan orang lain, menjaga kebersihan dan
ketertiban umum serta menghargai waktu. Nah, inilah pentingnya memilih pemimpin
yang diyakini mampu menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Soal apa
agama pemimpin tersebut, itu bukan faktor penting, sebab, bisa jadi ada pemimpin
yang di KTP tertulis agama Islam, tapi perilakunya justru Kafir, tidak
mencerminkan nilai-nilai Islam. Keislaman seorang pemimpin bukan dilihat dari
peci dan baju koko-nya, melainkan dari perilakunya. Pemimpin yang mengaku Islam
sebagai agamanya, tidak berani berbuat korupsi, tidak menggunakan fasilitas
Negara untuk kepentingan pribadi, dan tidak berbuat dholim kepada rakyatnya.
Sebaliknya, tidak mustahil ada pemimpin yang di KTP tertulis Kristen tapi
perilakunya malah sangat Islami. Ia curahkan segala pikiran dan tenaganya untuk
kesejahteraan rakyat, sehingga rakyat bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya,
baik jasmani maupun rohani. Ia kerahkan jiwa dan raganya untuk kemaslahatan
(kemanfaatan) rakyat, sehingga rakyat tidak menemui kesulitan untuk memperoleh
pangan, sandang dan papan, bahkan untuk melakukan peribadatan kepada Allah SWT.
Pemimpin seperti itu sesuai dengan Kaidah Fiqh: تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة, Artinya: “Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus mengacu pada
kemaslahatan (kebaikan) rakyat”.
Kajian Dalil Larangan Memilih Pemimpin Kafir
Memang dalam kitab Suci Al-Quran ada beberapa ayat yang melarang umat Islam
untuk memilih pemimpin yang tidak beragama Islam. Di antaranya ayat-ayat yang
terjemahannya berikut ini:
o Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang
Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpinmu (Al-Maidah : 51)
• Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Kafir
sebagai pemimpin-pemimpinmu dengan meninggalkan orang-orang Mukmin / Muslim
(An-Nisa : 144)
Menurut
saya, ayat-ayat di atas benar adanya. Hanya saja, pertanyaannya adalah orang
Kafir seperti apa yang tidak boleh dijadikan sebagai pemimpin. Di sinilah
perlunya melakukan apa yang dalam Logika Hukum disebut Rechtsvervijning
(Pengkonkritan atau Penghalusan Hukum) yang merupakan salah satu metode dalam
Konstruksi Hukum. Kita tidak boleh memahami ayat secara apa adanya atau
tekstual, tapi harus melakukan kontekstualisasi. Kenapa orang Kafir tidak boleh
dijadikan pemimpin? Bagaimana kondisi dan situasi pada saat ayat itu
diturunkan? Apakah keadaan sekarang masuk dalam kriteria tidak dibolehkannya
mengangkat pemimpin Kafir seperti pada masa Rasulullah SAW. masih hidup dulu?
Saya berpendapat bahwa orang-orang Islam tidak boleh memilih pemimpin Kafir
dengan catatan pemimpin tersebut membawa dampak negatif bagi agama dan umat
Islam. Selama pemimpin Kafir tersebut diyakini mendatangkan keburukan atau
kemudharatan bagi agama dan umat Islam, maka hukum memilihnya tidak boleh.
Sebaliknya, bila keyakinan itu tidak ada maka hukumnya boleh. Lagi pula, untuk
ukuran jaman sekarang di era demokrasi, pemimpin tidak bisa tampil secara
sewenang-wenang dan sesuka hatinya. Ia tidak bisa menjadi satu-satunya
pengambil kebijakan. Setiap kebijakan yang diputuskan harus melalui musyawarah
dengan banyak pihak dan dalam pelaksanaannya dikontrol oleh rakyat, baik
melalui wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat, media dan LSM. Adanya
mekanisme kontrol inilah yang membedakan pemerintahan sekarang dengan jaman
dulu. Pemimpin sekarang tidak akan berani berbuat semena-mena, kecuali ia akan
menjadi bulan-bulanan media dan didemonstrasi oleh rakyat. Karena itu,
kekhawatiran dengan adanya pemimpin Kafir tidak mempunyai dasar.
Sosok Ahok
yang Islami
Ada
seorang ulama di Belitung Timur, kampung halaman Ahok, yang mengatakan, “Pada
diri Ahok ditemukan sifat-sifat kenabian, yaitu Shidiq (jujur), Amanah (dapat
dipercaya), Tabligh (mampu berkomunikasi) dan Fathonah (cerdas).” Saya
sependapat dengan ulama tersebut. Berdasarkan rekam jejak yang dipublikasikan,
selama memimpin Belitung Timur, Ahok terkenal sebagai sosok pemimpin yang
profesional, jujur, bersih, transparan dan merakyat. Sifat-sifat itu sesuai
dengan ajaran Islam. Ahok tak menjaga jarak antara dirinya dengan rakyat. Ia
biasa keliling kampung untuk mengetahui persoalan rakyatnya. Perilaku Ahok itu
seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab yang suka keliling kampung.
Dengan keliling kampung, Khalifah Umar pernah dikisahkan menemukan suara tangis
pada malam hari. Ternyata ada anak-anak kecil yang menangis tiada henti karena
tidak makan berhari-hari. Karena merasa bersalah, Khalifah Umar spontan
mengambil sendiri makanan yang ada di gudang Negara, memikulnya sendiri dan
mengantarkan ke keluarga tadi. Itulah perlunya pemimpin turun ke bawah (turba)
sehingga tahu persis keadaan rakyat yang dipimpinnya, dan tidak melulu
mengandalkan laporan dari staf-stafnya.
Ahok juga tidak pernah memanfaatkan
fasilitas publik untuk kepentingan pribadi. Justru yang terjadi, Ahok memotong
uang perjalanan dinasnya untuk membantu rakyatnya yang miskin. Perilaku Ahok
ini mengingatkan saya kepada cerita Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Suatu ketika
putranya datang menghadap ke Istana, lalu Khalifah Umar bertanya, “Untuk urusan
apa, Kamu datang, Nak?” Sang putra menjawab, “Untuk urusan pribadi.” Seketika
Khalifah Umar mematikan lampu ruangan. Sang putra bertanya lagi, “Kenapa
dimatikan, Ayahanda?” “Karena lampu ini dibiayai oleh Negara. Tidak boleh
menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi.” Subhanallah. Perilaku
Ahok itu jarang ditemukan pada pemimpin-pemimpin saat ini. Tidak sedikit
Gubernur dan Bupati/Walikota yang mendekam di penjara karena terlibat kasus
korupsi penggunaan APBD. Tapi tidak termasuk Ahok. Ia sadar bahwa APBD adalah
uang rakyat yang harus dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Maka, uang itu
haram dimanfaatkan untuk urusan pribadi, seperti untuk memperkaya diri sendiri
atau untuk mendanai kampanye pemenangan dalam Pemilukada.
Ketika pemilukada
Belitung Timur 2005, ada kekhawatiran bahwa jika terpilih, Ahok akan melakukan
kristenisasi atau membangun gereja besar-besaran, ternyata kekhawatiran itu
tidak terbukti. Selama memimpin Belitung Timur, Ahok lebih menjunjung tinggi
ayat-ayat Konstitusi. Lagi pula, kalau kelak benar-benar terpilih pada
Pemilukada Jakarta putaran kedua tanggal 20 September 2012, sosok Jokowi tidak
akan mungkin membiarkan wakilnya, Ahok sibuk memprioritaskan urusan agamanya
ketimbang urusan rakyat keseluruhan. Ahok bukan pasangan pertama Jokowi.
Sebelumnya, Jokowi sudah pernah berpasangan dengan Wakil yang beragama Kristen.
Selama dua periode kepemimpinannya di Solo, Jokowi didampingi Wakil yang juga
beragama Kristen. Namanya FX Hadi Rudyatmo. Dan, selama ini tidak pernah
terjadi apa-apa. Lalu, apa yang dikhawatirkan dari Ahok? (***)
Sumber:
Kompasiana.com
http://suarapengusaha.com/2012/08/05/pandangan-saya-sebagai-orang-islam-terhadap-ahok/
Komentar