MALAIKAT PENOLONG

Pembaca yang Budiman,

Inilah oleh-oleh dari perjalanan saya dari Merauke ke Mindiptana. Jarak Merauke - Mindiptana pulang pergi adalah 1.100 km. Inilah perjalanan pertama kali bagi saya dengan kendaraan mobil menempuh jarak sejauh itu. Saya persilakan anda menyimak ceritanya:

“Saya sudah pernah ke Mindiptana, lewat kampung Umap, dua kali” demikian jawab Jan, bakal rekan seperjalanan kami. Atas dasar jawaban itu, saya menjadi lebih mantap untuk melewati jalan panjang yang bagi kami merupakan perjalanan pertama via darat.  Kami berempat plus sopir bergerak meninggalkan Asiki ( 400 km dari Merauke ) dengan mobil Ford – Ranger, menuju Mindiptana. Jarak antara Asiki – Mindiptana adalah 150 kim.

Ketika kami sudah  meluncur di km 23, ada perempatan jalan di antara kebun-kebun kepala sawit. Jan, rekan kami memberikan komando kepada pak sopir supaya berbelok ke kiri. Setelah menempuh jarak kira-kira 3 km, kami melihat beberapa truk, ada ada beberapa orang di sana. Dari pada bingung-bingung ke mana arah yang harus kami tuju, kami bertanya kepada salah seorang di antara mereka. Mereka mengatakan bahwa kami salah arah, jadi harus kembali lagi. Nanti  setelah sampai di perempatan, kami harus berbelok ke kiri dan lurus mengikuti jalan di antara perkebunan kepala sawit itu. 

Demikianlah, kami kembali lagi ke perempatan, dan kemudian belok kiri lalu mengikuti petunjuk yang diberikan oleh mereka. Ada banyak perempatan, namun kami tetap teguh untuk memilih jalan yang lurus. Di kilometer 80, ada jalan yang bercabang dua, kami kebingungan mau memilih yang mana. Jan, yang sudah pernah melewati jalan itu pun bingung. Syukurlah beberapa menit kemudian  di belakang kami muncul sebuah truk. Kami bertanya kepada pak sopir ke mana arah dan jalan yang harus kami lalui. Mereka menunjukkan arah ke kanan.  Atas dasar petunjuk itu, kami melanjutkan perjalanan, dan sampai di sungai Muyu.

Di dekat itu, ada sebuah kampung yang bernama Kanggup. Saya pernah melayani umat di daerah itu sehingga masih ingat beberapa tempat yang dengan mudah saya kenali. Kampung Kanggup jaraknya 102 km dari Asiki. Itu berarti masih 48 km lagi  jalan yang harus kami lalui. Jalan ini adalah jalan yang dibuka oleh perusahaan Korindo (perusahaan kayu lapir) karena mereka membutuhkan kayu-kayu dalam jumlah yang banyak. Per hari mereka perlu 1.000 M3 kayu mentah, untuk dioleh di Asiki. Itulah sebabnya jalan itu mereka pelihara, agar kelancaran pengangkutan kayu sungguh-sungguh terjamin.

Jalan-jalan yang sudah terbuka di tengah-tengah hutan perawan itu adalah jalan Asiki-Kanggup-Imko, Asiki-Kanggup-Umap-Imko-Mindiptana, dan Asiki-Kanggup-Kombut-Mokbiran-Imko-Mindiptana.  Salah satu keuntungan dari adanya jalan itu, adalah transportasi darat menjadi lebih lancar, terlebih pada musim kemarau. Jalan yang sudah dibuka perusahaan, diperkirakan telah mencapai 170 km dari Asiki (pusat pengolahan kayu). Yang kelihatan adalah kayu-kayu yang besar-besar sudah habis, di sepanjang jalan hanyalah kayu-kayu yang berdiameter 10 – 20 cm. Bahkan perusahaan membabat pohon-pohon yang berdiameter 30 cm agar bisa memenuhi target 1.000 M3 kayu mentah per hari.

Di km 106, kami melihat ada mobil berhenti. Di situ jalan bercabang dua. Kami dengan penuh percaya diri memilih jalan yang ke kanan. Di kiri kanan jalan kami melihat hutan-hutan yang baru saja dibuka, kayu-kayu besar  sudah diambil, yang tersisa adalah kayu-kayu kecil dan pohon-pohon yang tidak masuk hitungan, tetapi sudah tumbang. Ada sebagian kecil masyarakat yang memanfaatkan kayu itu untuk kayu bakar, ada beberapa alat berat yang masih ada di tempat itu dan ditinggalkan di hutan, karena operatornya sedang libur dalam rangka lebaran. Di antara lahan-lahan itu, ada beberapa yang sudah ditanami pohon-pohon karet.

Jalanan sepi. Kami melaju terus mengikuti jalan yang baru dibuka itu dan mencoba mencari siapa saja yang bisa ditemui agar kami punya kepastian “apakah kami tersesat atau sudah di arah yang benar”.  Syukurlah setelah menemepuh jarak 133 km, ada 2 anak muda yang sedang jalan kaki. Kami mendekati mereka dan bertanya: “ Di manakah jalan yang menuju ke Mindiptana”. Mereka menjawab: “ Bapa-bapa sudah lewat terlalu jauh dan harus kembali lagi”.  Kami bertanya: “Apakah kalian rela menunjukkan jalan itu”. Mereka menjawab “mau” asalkan nanti dihantar kembali untuk pulang ke kampung yang mereka tuju. Permintaan itu kami sepakati. Mereka kemudian naik di bak belakang mobil pick up kami.

Di km 106, di tempat kami melihat mobil berhenti itulah seharusnya kami berbelok ke kiri. Di tempat itu, 2 anak muda tadi ternyata mengambil keputusan baru. Mereka tidak jadi kembali ke kampung yang telah kami sepakati, tetapi malah ingin bersama kami ke Mindiptana. Keputusan baru itu menguntungkan kami, karena kami tidak perlu menempuh jarak 54 km ( 27 km pp) untuk mengantar mereka dan kemudian balik lagi. Setelah 8 km meninggalkan km 106, ada jalan bercabang dua. Kepada kedua anak muda itu, kami bertanya: ke kiri atau ke kanan ?  Mereka menjawab “ ke kiri”. Seandainya kami dibiarkan berjalan sendiri, mungkin sekali kami akan tersesat lagi.  Dua anak muda yang ikut kami di bak belakang telah menunjukkan jalan yang harus kami lalui, sehingga jam 17.10 kami tiba dengan selamat di Mindiptana.

Jan, yang sudah pernah 2 kali melewati jalan itu, ternyata tidak bisa memberikan petunjuk yang tepat. Kami hilang arah dan telah melewati jalan yang salah sepanjang 27 km. Memang di banyak persimpangan dan di jalan yang bercabang, tidak ada papan nama dan petunjuk arah. Padahal papan nama dan petunjuk arah itu amat penting, terlebih bagi mereka yang baru pertama kali melewati jalan itu.

Syukurlah kami mendapatkan malaikat penolong, yang telah mengantar kami ke tempat tujuan. Hanya terima kasihlah yang dapat kami sampaikan kepada kedua orang muda tadi. Mereka juga dengan sukacita turun di Mindiptana. Akan menumpang di rumah siapa dan makan apa malam itu, mereka juga tidak mengatakan sepatah kata pun ke pada kami. Semua lancar-lancar saja. Semua berjalan / terjadi begitu alamiah.  Mereka begitu polos mengantar kami, begitu sederhana dalam kehidupan, dan begitu biasa dan siap menghadapi “perubahan tanpa persiapan yang berarti”.

Yang ada di pikiran saya adalah “selama ada di Mindiptana mereka akan makan apa, pakai baju ganti apa, dan akan pulang ke kampung mereka bagaimana”, namun ternyata, semuanya itu tidak menjadi persoalan bagi mereka. Mereka tidak datang ke pastoran untuk meminta sesuatu, untuk bekal di perjalanan. Hal itu sama sekali tidak mereka lalukan. Hidup begitu alami, tenang dan tenteram. Hari ini adalah hari ini. Hari esok adalah hari esok. Sungguh mengagumkan, kehidupan yang begitu sederhana yaitu “percaya kepada kemurahan hati dan penyelenggaraan Ilahi”. Tuhan telah memberikan apa yang mereka perlukan untuk hidup. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Komentar

Postingan Populer