5 JUTA PEZIARAH

PEMBACA YANG BUDIMAN

SYALOOM DAN SELAMAT BERJUMPA KEMBALI

Beberapa waktu yang lalu, saya mendampingi 18 orang dari Indonesia yang berziarah ke Eropa Timur. Ada banyak pengalaman yang bagus dan mengagumkan yang sebenarnya dapat diceritakan, namun pada kesempatan ini, saya bercerita tentang yang satu ini. Tempat itu sudah mulai dikenal banyak orang dari pelbagai penjuru dunia.  Inilah pengalaman saya ketika berada di sana:

Panas

Add caption


Udara yang amat panas, itulah yang saya rasakan waktu itu. Suhunya 39 derajat celsius. Suhu ini cukup panas bagi orang Indonesia. Maka bagi orang Asia, khususnya rombongan dari Indonesia yang sedang berada Medjugorje ini, untuk melindungi diri kami pakai topi, baju lengan panjang dan malah ada yang bawa payung. Sedangkan orang-orang Eropa dan Eropa Timur mereka malah pakai pakaian tipis, tanpa lengan,  bahkan ada yang telanjang dada. Di beberapa tempat lain, saya melihat ada banyak orang yang mandi matahari pada tengah hari. 

 

Pemandu wisata di tempat itu bilang bahwa orang-orang Asia ‘takut matahari”. Mereka lebih suka berjalan di tempat yagn teduh, pakai payung dan berusaha melindungi diri dari sengatan terik matahari. Sedangkan orang-orang Eropa mencari matahari. Mereka berani berjemur, atau memilih meja makan yang berada di luar, sehingga bisa langsung kena sinar matahari.  Rupanya kulit orang-orang Asia “tidak bisa tahan lama berada di bawah terik matahari”, namun di banyak tempat para petani, nelayan, mereka yang bekerja di perkebunan, juga para tukang becak, buruh kasar, sopir-sopir bisa tahan terhadap panas terik matahari. Itu berarti ketika “dituntut oleh situasi / alam” kulit orang-orang orang-orang Asia pun bisa tahan dipanggang oleh matahari. Pepatah mengatakan: “ Dia bisa karena terbiasa”.

Para pemandu wisata di Eropa timur tidak memakai topi atau baju lengan panjang. Meski di tengah panas terik matahari pun mereka tetap tenang. Mereka siap mengantar dan mendampingi kami berjalan kaki, menyusuri kompleks pertokoan yang menjual barang-barang sovenir, ke bangunan-bangunan kuno bersejarah, dan keliling kota.  Mereka memberikan keterangan seperlunya tentang situasi kota dan beberapa situs sejarah, serta asal muasal rakyat / bangsa yang diam di negeri mereka.

Berbatu-batu

“Hah...begini” adalah kata yang terungkap ketika kami tiba di tempat pemberhentian awal. Kami tidak mengira bahwa keadaan jalan yang menuju ke sana, masih demikian alami. Jalanan menuju ke sana berbatu-batu dan menanjak. Itulah tempat ziarah di Medjugorje. Di sana, Bunda Maria menampakkan diri kepada 6 anak yang sedang berada di tempat itu. Itulah sebabnya, kami hendak berziarah ke tempat itu dan “merasakan / menghadirkan kunjungan bunda Maria kepada anak-anak pada waktu itu”.

Di sekitar itu ada begitu banyak toko benda-bena rohani dan sovenir: rosario, gambar kudus, patung-patung, gantungan kunci, dan pernak-pernik lainnya. Setelah melihat jalanan yang berbatu-batu, dan menanjak, ada beberapa peserta yang “nyali-nya mulai ciut” dan memutuskan untuk tidak mendaki, lebih-lebih yang ada gangguan di kaki. Syukurlah di tempat itu ada kios minuman, sehingga rekan-rekan yang tidak turut mendaki bisa beristirahat sambil berdoa di sana. Sedangkan  sebagian besar peserta memutuskan untuk tetap naik, sambil berdoa rosario. Kami berhenti di setiap persepuluhan doa rosario. Di tempat itu, ada relief ( seperti relief jalan salib ) bunda Maria, sehingga para peserta bisa berdoa, istirahat sejenak sambil menarik napas.

Bebatuan yang kami injak benar-benar bebatuan yang masih utuh dan alami, sehingga ada yang tajam-tajam, tidak rata dan menuntut perhatian tersendiri. Tempat ziarah ini sudah sering dikunjungi selama lebih dari 10 tahun, namun jalanan itu “tetap dipertahankan keasliannya” sehingga “tidak / belum dirapihkan” untuk memudahkan orang berjalan kaki. Di seluruh kompleks itu tidak ada tenda-tenda. Para peserta ketika tiba di titik sentral (sekarang ini di titik itu sudah ada patung Maria) tetap berada di alam terbuka, tempat duduk pun tidak ada. Masing-masing kalau mau duduk, tinggal memilih batu besar / batu kecil untuk duduk, tanpa alas apa pun. Capek, panas dan berkeringat, haus, dan kulit dipanggang matahati ketika musim panas, adalah bagian dari perjalanan peziarahan kami.

Meski panas dan berbatu-baru, penurut informasi dari pemandu, ada 5 juta peziarah yang datang ke tempat itu setiap tahun. Saya sendiri melihat ada begitu banyak rombongan peziarah yang ada  di sana ketika itu, dan mereka berasal dari banyak negara: Itali, Belanda, Polandia, dari China, Korea dan Jepang. Meskipun tempat ziarah itu belum diakui resmi oleh Vatikan, “tidak dapat disangkal bahwa tempat itu telah menjadi tujuan peziarahan, telah banyak orang yang mengalami kasih Allah, telah banyak rejeki yang diterima oleh penduduk sekitar”. Desa kecil Medjugorje telah mempersatukan banyak umat Allah, telah membawa perubahan bagi masyarakat, dan telah memperkenalkan Allah / menunjukkan jalan kebenaran kepada banyak jiwa.

Tempat itu telah memberikan “kehidupan” baik secara jasmani maupun rohani kepada jutaan orang setiap tahunnya. Benar bahwa Tuhan itu mahamurah dan ada di mana-mana, namun ketika orang pergi berziarah dengan niat yang luhur, mereka telah mempersiapkan diri “untuk mengalami kasih Allah” sehingga hati mereka lebih terbuka. Juga suasana hati para peserta ziarah, yang terbuka dan penuh sukacita sering merupakan pembuka rahmat Allah yang lebih besar bagi peserta yang “mulanya biasa-biasa saja”.  Para peserta ziarah tanpa diduga sebelumnya, sering merupakan jembatan rahmat Allah yang begitu besar bagi peserta lainnya.  Suasana itulah yang amat manis untuk dikenang, dan sering dirindukan setiap orang, namun sulit didapatkan ketika berada di rumah karena penuh dengan kesibukan rutin.  Ziarah memang dapat membantu orang untuk memulai kehidupan baru. Diharapkan kehidupan baru ini akan berlanjut dan berkembang, sehingga makin banyak orang mengalami rahmat dan kasih Allah. 
 

Komentar

Postingan Populer