MIMPI

Para Pembaca Budiman,

Syaloom.....

Saya memang punya "mimpi / kerinduan" tentang sekolah katolik di KA Merauke. Menurut saya, mimpi itu sungguh riil dan manusiawi. Mimpi itu antara lain: Yayasan punya pengurus yang cukup dan terampil, jumlah guru di setiap sekolah memadai, ada fasilitas sekolah yang lumayan, ada dana operasional yang cukup, kesejahteraan guru terjamin. Selanjutnya: kerukunan dan rasa damai di semua unit kerja sungguh nyata, ada kerja sama dan komunikasi yang baik, ada kontrol dan evaluasi secara periodik. Juga yang tidak kalah penting: bekerja adalah aktualisasi diri, penyempurnaan diri dan sesama. Maka etiket, budi pekerti, hati nurani juga dikembangkan dan dihadirkan dalam aktivitas kerja. Juga bekerja adalah wujud pengorbanan demi perkembangan masyarakat dan generasi muda, bukan pertama-tama mencari uang.

Di atas semuanya itu, bekerja adalah berpartisipasi dalam karya keselamatan Allah. Di dalam dan melalui diri manusia, Allah bekerja dan menghadirkan diri-Nya. Manusia mewujud nyatakan kebaikan dan kemurahan, kesetiaan dan kedamaian, kebijaksanaan dan kesempurnaan Allah dan lain sebagainya. Maka, ketika orang mengalami unsur-unsur itu, sering kita mendengar atau mengucapkan terima kasih Tuhan / syukur kepada Allah.

Situasi yang saya "Mimpikan" itu saat ini amat jauh. Motivasi orang bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup: sandang, pangan dan papan.

Memang benar bahwa apa yang saya pikirkan itu perlu dipikirkan, dibicarakan / dirundingkan dan diwujudkan.

Saya butuh orang-orang yang: 1) memikirkan , 2) membicarakan / merundingkan 3) mewujudkan. Secara de facto a) ada orang-orang yang memikirkan dan merundingkan, b) kegiatan memikirkan dan merundingkan, sudah sering terjadi. Sedangkan kegiatan mewujudkan apa yang dipikirkan dan dirundingkan itu sangat langka. Maka, banyak orang (termasuk saya) terperangkap pada konsep-konsep yang kurang / malah sulit terwujud. Orang pulang dengan tumpukan kertas yang berisi ide-ide yang bagus-bagus, tetapi mengambil keputusan nyata untuk pengembangan Sumber Daya Manusia di daerah tertentu dan punya proposal yang nyata, plus disertai dengan sejumlah dana tetap diserahkan kepada "nobody".

Ketika sampai pada penyusunan proposal dan pengajuan suatu (marilah kita jujur dan menunjuk diri sendiri terlebih dahulu) orang cenderung untuk cuci tangan / menjauh / sulit disentuh / tidak peduli.

Realita: proposal yang menyangkut kehidupan orang banyak, untuk daerah terpencil, orang-orangnya tidak dikenal, tidak punya "contact person", meski pun amat riil dan mendesak lebih sering ditinggalkan.

Di luar negeri ada banyak lembaga donor. Mereka punya brosur yang memberikan keterangan: proyek-proyek apa saja yang bisa dibantu, dan besarnya dana yang bisa diminta, dan prosedur pengajuan permohonan.

Contoh: Pernah saya tahun 2001 mengajukan permohonan dan proyek itu dikabulkan. Setelah proyek selesai, saya mengirimkan laporan. Tahun 2003 saya mengajukan proposal lagi. Tanpa banyak komentar proposal itu dikabulkan.

Saya tidak kenal mereka, juga sebaliknya. Namun, ketika saya mengajukan proposal itu, semuanya berjalan sesuai dengan aturan dan prosedur yang berlaku.

Saya juga rindu, di Indonesia akan ada lembaga-lembaga donor semacam itu. Sudah waktunya kita beralih dari konsep ke wujud nyata.Dalam bahasa Kitab Suci: "Sabda sudah menjadi daging". Sebagaimana Yesus sudah menjadi Manusia, kita pun dipanggil dan digugah untuk mewujudkan ide-ide, kata-kata dan lain lain menjadi sesuatu yang nyata, yang bisa dilihat, bisa dipegang, dan dirasakan oleh sesama manusia.

Salam persaudaraan,

Niko Adi msc

Komentar

Postingan Populer