SARAPAN DI PERAHU KELOTOK

Banjarmasin adalah nama ibukota Provinsi Kalimatan Selatan. Perjalanan dari Jakarta ke Banjarmasin dengan pesawat hanya 1 jam 20 menit, biaya juga terjangkau. Ada beberapa perusahaan penerbangan yang melayani kota ini. Setiap hari lebih dari 10 kali penerbangan. Saya mendarat di bandara Syamsyudin Noor jam 21.40 wita, dengan selamat malam itu, minggu 15 Desember 2013. Sr Sophia PBHK dan Romo Sapta menjemput saya. Ketika bertemu mereka, situasi di Banjarmasin rasanya seperti di Jawa Tengah.
Saya belum pernah ke kota ini, hanya transit di Bandara tahun 1988 itu, dalam perjalanan pulang dari Manado ke Semarang. Kota itu dari udara tampaknya kecil dan belum berkembang pada tahun 1988 itu, namun sekarang ini ( 2013) perkembangannya sudah luar biasa. Banjarmasin sudah menjadi kota besar. Jalan raya yang lebar, mal-mal, toko-toko yang besar, Indomart, Alfamart sudah bermunculan di mana-mana, penerangan di jalan sudah amat memadai.
Di kota Banjarmasin, selain ikan segar, buah-buahan, dan aneka makanan lokal lainnya, ada wisata sungai yang amat menarik. Wisata ini menyusuri sungai Lulut. Di sana, setiap pagi ada kegiatan yang menarik. Salah satunya adalah pasar terapung. Untuk mencapai tempat ini, kami berangkat dari rumah jam 05.00 pagi dan terus menuju ke pelabuhan. Di sana sudah siap sebuah perahu kelotok, yang mampu menampung 20 an penumpang. Kami hanya berempat: Niko Adi, Rm. Sapta, Sr. Sophia dan Bapak Yusuf
Dalam suasana yang masih agak gelap, dan udara yang masih dingin, kami menaiki perahu kelotok. Jendela perahu sekaligus berfungsi sebagai pintu. Kami masuk lewat jendela. Aduhhhh, betapa sempitnya. Kami masuk ke perahu sambil merayap supaya punggung ini tidak membentur bibir jendela. Syukurlah, kami semua bisa masuk melalui jendela itu, dan dengan tenang duduk di geladak perahu. Perahu mulai bergerak pelan-pelan. Di sepanjang pinggir sungai itu, ada banyak rumah-rumah penduduk. Mereka memadati bibir sungai. Bahkan ada rumah yang dobel-dobel karena anak cucu mau hidup bersama di sekitar keluarga besar mereka.  
Setelah perjalanan kurang lebih 2,5 jam, karena melawan arus, akhirnya kami tiba di kompleks pasar terapung. Di tempat itu, ada puluhan penjual kebutuhan dapur yang dijajakan di perahu kayu. Kebanyak yang berjualan adalah kaum perempuan. Sambil mendayung perahu, mereka menawarkan hasil bumi mereka. Pisang bertandan-tandan “duduk manis di sebuah perahu”, ada juga sayur-sayuran, tomat, cabe, singkong, jeruk, sirsak, jambu dll.
Karena jam 05.00 berangkat dari rumah, kami tentu saja belum sarapan. Di pasar terapung itu, kami bisa beli nasi bungkus, telur asin, tempe dan tahu goreng, nasi bungkus dll. Karena perut sudah mulai lapar, kami memutuskan untuk beli nasi bungkus, telur asin dan tahu goreng untuk sarapan. Suasana pagi itu yang menyenangkan, membuat sarapan saat itu terasa lebih nikmat. Rekan-rekan seperahu yang mula-mula ragu-ragu untuk makan, ternyata tertarik juga dan turut sarapan nasi bungkus. Memang nasi dan telur asinnya enak sekali. Harganya pun murah.
Dari atas perahu kelotok, kami membeli 1 bakul jeruk. Jeruk yang besar-besar dan segar, kami beli dengan harga Rp. 150.000 sekerajang. Isinya kira-kira 100 buah. Sedangkan jeruk yang kecil-kecil harganya Rp. 70.000 per keranjang. Isinya juga kira-kira 100 buah. Ketika kami makan, segarnya bukan main. Airnya juga banyak sekali dan manis, meski kulitnya tetap berwarna hijau. Nikmatnya makan di perahu apung, dan menikmati buah-buahan segar “tidak bisa dilukiskan” tetapi hanya bisa dirasakan dan dialami.  Kami juga beli pisang goreng dan keladi goreng. Aduh.....enak sekali, ketika kami nikmati masih panas-panas di perahu kelotok itu.
Wajah-wajah cerah tampak sekali ketika kami membeli barang jualan mereka. Menurut mereka, bila hari minggu, penjual dan pembeli di pasar terapung ini banyak sekali. Hari itu, cukuplah jumlah orang yang berjualan di sana. Memang sangat unik, baik penjual dan pembeli sama-sama berada di perahu. Maka, apa yang diperjualbelikan jumlah dan macamnya juga terbatas.
Sebenarnya makanan yang kami beli amat sederhana dan biasa. Namun suasana gembira, kebersamaan, dan “memberi rejeki kepada mereka yang berjualan” dan “melihat wajah-wajah para penjuan yang begitu gembira”,  menikmati makanan dengan penuh rasa syukur serta menerima apa adanya itulah yang membuat semuanya menjadi indah dan mengesankan.
Syukur bahwa kami semua disatukan oleh bahasa Indonesia. Syukur bahwa bahasa Indonesia sudah menyebar dan dipakai oleh seluruh penduduk Indonesia. Syukur bahwa tanah air kami subur   sehingga di mana-mana tersedia makanan dan minuman yang amat cukup. Syukur bahwa ada sarana transportasi yang memungkinkan kami sampai ke tempat itu. Syukur bahwa keamanan di mana-mana terjamin sehingga perjalanan kami menjadi amat lancar dan damai. Syukur bahwa masyarakat Indonesia saling menghargai dan saling menerima perbedaan, sehingga meski logat bahasa kami berbeda, tetapi hal itu tidak menghalangi kami untuk berkomunikasi dan bekerja sama. Syukur bahwa kami semua sehat, sehingga bisa mengadakan perjalanan dan menikmati berkat Tuhan. 




Komentar

Postingan Populer