KEHIDUPAN SEPANJANG SUNGAI LULUT – BANJARMASIN
Pagi itu, kami menyusuri sungai Lulut
dalam perjalanan menuju ke pasar terapung. Pasar ini terletak di desa Lok
Baintan, di sebelah utara kota Banjarmasin. Hari masih gelap, belum banyak
orang yang melintasi sungai itu. Hanya perahu kami yang meluncur melawan arus,
sedangkan dari arah yang berlawanan ada 1 – 2 perahu kecil ( ketinting ) yang
menyalakan lampu mereka. Di mana-mana memang masih sunyi. Apalagi pagi itu,
udara terasa agak dingin. Kami mengenakan jaket untuk menghangatkan badan.
Perahu kelotok sebagai sarana
wisata air, biasanya memuat 20 penumpang. Pagi itu, perahu kelotok itu hanya
memuat kami berempat sebagai penumpang. Untuk menghalau rasa dingin, saya duduk
manis sambil bersila, sedangkan dua rekan lain mulai mengantuk. Bisa juga duduk
bersandar di dinding perahu, sambil meluruskan kaki. Gaya duduk di perahu itu
hanya 2: duduk bersila atau meluruskan kaki, karena langit-langit perahu itu
amat rendah. Tidak mungkin kami berdiri. Kalau mau berpindah ke tempat lain,
kami harus merangkak.
Perlahan-lahan langit mulai
terang, karena matahari mulai terbit. Aktivitas penduduk yang tinggal di tepi
sungai itu mulai tampak. Dari perahu kami melihat banyak orang yang mandi,
mencuci pakaian dan memancing, berjualan dan tentu saja membuang sampah. Air
sungai Lulut tidak jernih tetapi berwarna coklat. Mungkin lumpur atau tanah
coklat itulah yang bercampur dengan air sungai itu.
Nampaknya sudah biasa bagi mereka,
bahwa mereka mencuci pakaian, sementara tetangga mereka mandi sambil pipis atau
buang hajat. Menggunakan air yang berwarna coklat, sedangkan di sebelah mereka
ada sampah atau ecek gondok yang lewat, atau mungkin ada bangkai tikus atau
ikan busuk, adalah bagian dari aktivitas sehari-hari. Menjadi nyata bahwa air merupakan 1 unsur
vital dalam kehidupan mereka, baik untuk hidup, membersihkan rumah dan
kendaraan, menyuburkan tanaman, maupun untuk sarana transportasi.
Hari makin cerah, sehingga dengan
jelas kami dapat melihat apa saja yang ada di sekitar sungai. Di sepanjang
sungai selama perjalanan, saya melihat bahwa sungai itu penuh dengan sampah
berupa plastik, potongan kayu, eceng gondok, dan tentu saja sampah dapur dan
limbah dari kamar mandi dan wc. Bila
penduduk di sepanjang sungai itu berjumlah 5.000 orang, dan per hari mereka
membuang sampah sebanyak 1 ons, jumlah sampah yang dibuang ke sungai sebanyak 500
kg ( ½ ton). Dalam satu bulan, sampah yang dibuang ke sungai jumlahnya 30 x ½ ton = 15 ton. Selama setahun, sampah yang
mengotori sungai berjumlah 12 x 15 ton = 180 ton.
Berapa banyak sampah yang
diangkat / dibersihkan dari sungai itu ?
Berapa bulan sekali, sampah-sampah itu diangkat ? Sementara itu, ada sampah / limbah yang
langsung menyatu dengan air, misalnya limbah sabun, air cucian sayur, atau
limbah minyak atau cairan beracun lainnya. Limbah itu amat sulit untuk diangkat
dengan alat angkut (keranjang / jaring) seperti yang dipergunakan untuk
mengangkat sampah. Dengan demikian, pencemaran air sungai itu makin lama makin
tinggi. Air sungai itu, makin hari sebenarnya tidak layak minum, tidak layak
untuk mandi dan cuci seperti yang terjadi sekarang ini.
De facto, masyarakat yang hidup
dan tinggal di tepi sungai itu tetap mandi dan mencuci, menggosok gigi serta
membuang limbah di sana. Memang tidak ada pilihan lain. Namun, kulit mereka
tetap kuning bersih, tampak gemuk dan sehat meski menggunakan air sungai yang
tidak layak dikonsumsi dan dipergunakan untuk keperluan sehari-hari. Para pedagang
di pasar terapung merupakan bukti bahwa mereka gtetap bisa hidup sehat.
Ini pertanda dan bukti nyata,
bahwa Dia yang memiliki hidup, mempunyaki cara dan jalan tersendiri untuk
melindungi dan memelihara umat-Nya. Dia tetap lebih dan paling sempurna dari
semua yang ada di dunia dan di luar dunia ini.
Komentar