ANAK - ANAK KAMPUNG WAMBI
Wambi adalah
nama sebuah kampung yang letaknya di tepi pantai. Penduduknya kira-kira 1.200
jiwa. Jaraknya 120 kilo meter di sebelah
utara kota Merauke. Kampung ini dapat dijangkau dengan mobil, sampai pada kilo
meter 80. Kemudian, perjalanan dilanjutkan dengan menyeberangi sungai Bian,
selama 30 menit. Saat ini, ketika jalan agak kering, mobil bisa menerabas
jalan-jalan yang agak rusak sepanjang 15 km. Kemudian ada jalan yang baik
sampai di kampung Wambi, sepanjang 25 km. Untuk mencapai kampung itu, diperlukan
waktu 6 jam, bila semuanya lancar. Kalau
agak tersendat-sendat, kita harus menunggu di penyeberangan, sehingga
perjalanan bisa memakan waktu kira-kira 10 jam.
Sore itu,
Sabtu 30 November 2013, saya berjalan
santai di tepi pantai Wambi. Cuaca cerah dan teriknya panas matahari sudah
mulai berkurang. Air laut sedang surut,
sehingga daratan kering sepanjang pantai itu bagaikan hamparan yang luas dan
datar. Banyak ayam dan anjing piaran penduduk mencari makan di pantai. Sering
kali ikan-ikan atau udang-udang kecil dibuang saja oleh para nelayan. Semua
yang dibuang itulah yang menjadi makanan binatang-binatang itu.
Saya
mendatangi sekelompok anak yang sedang bermain karet gelang di tepi pantai. Yang
menarik perhatian saya adalah area permainan mereka cukup sempit. Ukurannya
kira-kira 2 x 3 x 1 meter persegi = 6 meter persegi. Bentuk area permainan
mereka adalah empat persegi panjang.
Persis di tengah garis di bagian lebar ditempatkan sebuah lidi. Jarak
dari lidi itu, sampai ke tempat mereka memulai permainan kira-kira 3 meter.
Tempat start ini, diberi garis yang agak panjang, agar jelas bahwa itulah garis
batas, dan kaki mereka tidak boleh melewati garis itu ketika melakukan pelemparan karet gelang.
Cara mereka
bermain
Sebelum
bermain mereka menancapkan sebatang lidi di pasir. Lalu mereka menentukan jarak
kira-kira 3 meter dari lidi, dan membuat garis batas pada jarak itu. Dibuatlah kesepatakan antar mereka, berapa
biji karet gelang yang akan dilempar oleh masing-masing peserta. Misalnya
mereka sepakat, karet gelang yang akan dilemparkan 3 biji. Secara bergiliran,
mereka melemparkan karet gelang itu ke arah lidi. Siapa yang karetnya paling
dekat dengan lidi, dialah yang menang. Semua karet gelang yang dilemparkan ke
arah lidi tadi, menjadi milik sang pemenang.
Pada permainan selanjutnya, sang pemenang mendapat giliran pertama untuk
melemparkan karet gelangnya. Peserta yang karet gelangnya paling dekat dengan lidi,
dialah yang menang, dan mendapatkan semua karet itu. Demikianlah berulang-ulang mereka bermain
karet dengan cara sederhana itu.
Pernah
terjadi, karet 3 pemain nempel di lidi. Tanpa basa-basi dan tanpa diskusi
panjang, permainan ketiga orang tadi diulangi lagi. Aturannya tetap sama. Siapa
yang karetnya paling dekat dengan lidi, dialah yang memang. Setelah dilakukan
pelemparan ulang, salah seorang di antara mereka keluar sebagai pemenang. Semua
menerima hasil itu dengan tenang. Yang menang memunguti karet yang tersebar di
sekitar lidi dengan damai.
Pada ronde
yang ke sekian, jumlah karet yang dilemparkan para peserta berubah. Pada ronde sebelumnya jumlah karet yang
dilemparkan 3 buah, pada ronde berikutnya 4 buah. Perundingan atas perubahan itu terjadi amat
singkat, namun “kesepakatan sudah terjadi”. Saya bahkan berpikir dan
mempertanyakan kapan dan di mana perundingan itu. Kayaknya “saya tidak melihat
mereka berkumpul dan bermusyawarah”.
Mungkin sekali ada 1 anak yang usul, dan yang lain dengan segera
menyetujuinya. De facto, semua berjalan
dengan damai. Tidak ada pertentangan dan perdebatan. Semua melemparkan 4 buah
karet gelang ketika mereka ikut bermain.
Hampir semua
peserta pernah menjadi pemenang dalam 1 kali permainan. Tampaknya faktor
keberuntungan ikut menentukan kemenangan masing-masing peserta. Di antara para
pemain itu, ada 1 anak yang hampir tidak pernah menang. Karet gelang yang ada
di tangannya pelan-pelan habis, seiring dengan banyaknya permainan yang dia
ikuti. Meski kalah dan karetnya habis, anak itu tidak menunjukkan kekecewaan
atau protes. Dia menerimanya dengan tenang, karena permainan itu sederhana,
diamati oleh semua peserta dengan jelas, dan tanpa penipuan. Orang lain /
penonton seperti diri saya ini, meskipun tidak mendapat penjelasan, dengan
menonton permainan mereka, dapat dengan mudah memahami permainan itu.
Belajar
kejujuran
Ketika
mengamati dan berada di tengah anak-anak
yang sedang bermain karet, mereka menyatakan dengan tindakan bahwa kejujuran itu ada, dan mereka hidupi. Tindakan mereka selama menjadi pemain adalah
bukti nyata sebuah kejujuran. Dalam
renungan saya, saya yakin bahwa anak-anak itu belum / tidak pernah membaca
kamus bahasa Indonesia, karya Purwadarminta tentang arti kejujuran. Namun,
ketika melaksanakannya, ada beberapa unsur / nilai penting yang ada pada diri
mereka. Pertama, mereka mengerti apa yang mereka sepakati, kedua, mereka mampu
melaksanakannya, ketiga, mereka mau melaksanakannya, dan keempat, mereka
melaksanakannya secara utuh. Yang
dipikirkan, yang disepakati dan yang dilaksanakan itu “satu rantai” atau “satu
paket”. Itulah kejujuran. Hasilnya
adalah kedamaian bagi dirinya dan bagi orang lain.
Anak-anak
kecil / remaja di sebuah kampung di daerah pedalaman, ternyata bisa bertindak
jujur. Saya tidak tahu siapa yang
mengajarkan kejujuran itu kepada mereka. Kejujuran adalah bagian penting dari
sebuah kehidupan, baik kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, kehidupan di
sebuah perusahaan, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Modal sudah ada pada anak-anak itu. Namun,
dalam kenyataannya, di tengah-tengah orang-orang yang dulu pernah mengalami
masa anak-anak / remaja dan kini sudah menjadi orang-orang dewasa, kejujuran itu makin sulit ditemukan. Kejujuran sering dibungkam dengan segepok
uang / barang. Kejujuran dipandang sebagai pengganggu kehidupan.
Kejujuran
pada anak-anak dan remaja ditanamkan, dipuji dan dicari, namun kejujuran yang sama di banyak kalangan dan di
banyak bidang kehidupan, sering dihindari. Mereka yang hidup jujur malah
dianggap sok suci, sok tahu, dan malah dijauhi.
Ini bukti bahwa “kejujuran mau dijual belikan kayak barang dagangan”. Anak-anak kampung yang saya lihat sore itu,
telah mengajarkan kejujuran. Bahwa kejujuran itu membuat hidup ini damai. Di
sana tidak ada kepalsuan dan kemunafikan. Kejujuran tidak bisa dibeli, di toko
serba ada sekali pun, karena kejujuran
bukan benda / barang, tetapi sebuah
nilai yang ditanam di dalam hati manusia, oleh Sang Pencipta.
Komentar