RENUNGAN INDAH - WS RENDRA
Pembaca yang budiman....
Syaloom....
Pada kesempatan ini, saya ingin menyapa anda dengan sebuah renungan berbentuk puisi yang ditulis oleh budayawan ternama kita, almarhum WS.Rendra. Beliau pada saat sakit pun masih sempat menuliskan buah renungannya bagi kita. Simaklah makna di balik tulisan-tulisan yang sederhana itu.
Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-TUHAN
Bahwa rumahku hanyalah titipan-NYA
Bahwa hartaku hanyalah titipan-NYA
Bahwa putraku hanyalah titipan-NYA
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya:
Mengapa TUHAN menitipkan padaku ?
Untuk apa DIA menitipkan ini padaku ?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-TUHAN itu ?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-NYA ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas, dan
kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih-TUHAN harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan TUHAN seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta DIA membalas "perlakuan baik ku",
Dan menolak keputusan-NYA yang tak sesuai keinginanku
GUSTI,
Padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"
(Puisi terakhir Rendra yang dituliskannya di atas ranjang RS).
Apa yang diungkapkan oleh Rendra, menjelang kematiannya itu, pernah terjadi pula ribuan tahun yang silam. Pengalaman kehidupan yang bervariasi: gembira dan susah, ceria dan kecewa, berlimpahan harta atau miskin, merupakan bagian utuh hidup manusia. Ayub mengungkapkannya dengan kata-kata:
"Dengan telanjang aku lahir dari rahim ibuku, dengan telanjang pula aku akan masuk ke dalam ibu pertiwi, Tuhan telah memberi, dan Tuhan pulalah yang mengambil, terpujilah nama- Nya" ( Ayub 1: 21 ).
Bagaimana dengan kita ?
Syaloom....
Pada kesempatan ini, saya ingin menyapa anda dengan sebuah renungan berbentuk puisi yang ditulis oleh budayawan ternama kita, almarhum WS.Rendra. Beliau pada saat sakit pun masih sempat menuliskan buah renungannya bagi kita. Simaklah makna di balik tulisan-tulisan yang sederhana itu.
Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-TUHAN
Bahwa rumahku hanyalah titipan-NYA
Bahwa hartaku hanyalah titipan-NYA
Bahwa putraku hanyalah titipan-NYA
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya:
Mengapa TUHAN menitipkan padaku ?
Untuk apa DIA menitipkan ini padaku ?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-TUHAN itu ?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-NYA ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas, dan
kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih-TUHAN harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan TUHAN seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta DIA membalas "perlakuan baik ku",
Dan menolak keputusan-NYA yang tak sesuai keinginanku
GUSTI,
Padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"
(Puisi terakhir Rendra yang dituliskannya di atas ranjang RS).
Apa yang diungkapkan oleh Rendra, menjelang kematiannya itu, pernah terjadi pula ribuan tahun yang silam. Pengalaman kehidupan yang bervariasi: gembira dan susah, ceria dan kecewa, berlimpahan harta atau miskin, merupakan bagian utuh hidup manusia. Ayub mengungkapkannya dengan kata-kata:
"Dengan telanjang aku lahir dari rahim ibuku, dengan telanjang pula aku akan masuk ke dalam ibu pertiwi, Tuhan telah memberi, dan Tuhan pulalah yang mengambil, terpujilah nama- Nya" ( Ayub 1: 21 ).
Bagaimana dengan kita ?
Komentar
Salam hormat saya,
http://www.bebetterself.com
Doa dan berkatku,
Mgr Niko Adi, MSC