KIMAAM NEGERI RELIGIUS
Para pembaca yang budiman,
Syaloom.....
Penulis melalui blog ini, menuturkan kembali apa yang ditulis oleh seorang wartawan Merauke Pos. Tulisan ini, menurut penulis, bukan sekedar berita, tetapi di balik cerita itu ada pesan moral dan "sharing" (membagikan pengalaman) atas apa yang dia lihat dan dia alami, ketika berada di Pulau Kimaam. Itulah sebabnya, dia memberi judul pada tulisannya itu "Kimaam Negeri Religius". Simaklah apa yang dihaturkan kepada anda:
Lautan manusia terlihat jelas dari udara ketika pesawat Twin Other Merpati memasuki Bandara Kuraro, Distrik Kimaam, Senin,(15/8). Nyanyian khas daerah itu mengiringi ritual adat yang diperagakan masyarakat setempat. Tak terhitung berapa jumlah manusia yang hadir dalam penyambutan kedatangan Bupati Drs. Romanus Mbaraka, MT bersama rombongan. Yang pasti ritual dilakukan setiap kali pesawat akan mendarat.
Hari itu, penerbangan ke Distrik Kimaam pun naik dua kali lipat dari hari-hari biasanya. Terhitung ada lima kali pesawat Twin Other Merpati dan pesawat AMA mendarat di Kuraro untuk mendrop rombongan Bupati untuk menggelar perayaan HUT RI yang ke-66 dan sekaligus turun kampong di Pulau Yos sudarso itu (nama lain pulau Kimaam).
Bupati Romanus Mbaraka bersama istri Ny. Yohana Mbaraka, serta rombongan pun merupakan penumpang terakhir yang mendarat di Kimaam. Rombongan itu tiba sekitar pukul 15.00 waktu setempat dengan menggunakan pesawat AMA. Kedatangan Bupati bersama rombongan pun disambut meriah secara adat. Terhitung ada sekitar 11 kali rombongan harus berhenti untuk menerima persembahan adat dari masyarakat setempat. Hal itu dilakukan dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih empat kilometer.
Suasana haru bercampur suka ria mendramatisir kedatangan Bupati Romanus di tanah kelahirannya itu. Ritual adat dengan mematahkan 4 buah anak panah pun dilakukan Bupati Romanus sebagai symbol perdamaian di daerah itu. "Tidak ada lagi perbedaan, kita harus tinggalkan semua perbedaan yang pernah terjadi di Pemilu kemarin. Kita semua ini saudara,”kata salah satu tokoh adat ketika memandu prosesi adat.
Berbagai acara penyambutan digelar yang melibatkan masyarakat di 11 kampung. Kota kecil yang telah berumur 109 tahun itu pun mulai ramai, jalan raya tanpa beraspal itu begitu sesak. Tiga hari sudah Bupati bersama rombongan Anggota DPRD Merauke dan pimpinan SKPD. Berbagi suka duka dengan masyarakat yang kental dengan memeluk agama Katolik menjadi cerita yang tak ada akhirnya.
Keramahan masyarakat tampak dalam senyum dan sapa mejadi ciri khas di Kimaam. Setiap kali berjalan dan bertemu masyarakat ucapan salam pun tak henti-henti. Bahkan salah seorang dari rombongan sembari bercanda mengatakan, “Wah, kalau kita tinggal disini terus terasa cape untuk member salam. Habis setiap bertemu masyarakat pasti diberikan salam tanpa mengenal waktu, maupun itu anak-anak ka, orang dewasa ka sama saja,”katanya.
Memang itulah cara masyarakat setempat untuk mendekatkan diri pada orang yang baru dikenal. Suasana kekeluargaan terasa, tidak pernah memandang siapapun. Tetapi itulah tanda penghormatan masyarakat setempat kepada siapa saja yang berada di pulau itu.
Ada yang paling menarik dari kehidupan masyarakat di pulau itu, yaitu kekuatan religiusnya. Dari pantauan media ini, ada waktu-waktu tertentu dimana masyarakat harus berhenti beraktivitas sejenak untuk memanjatkan doa yang dipandu melalui gereja. Melalui alat pengeras suara dan bunyinya lonceng gereja, seluruh masyarakat di daerah itu berhenti sejenak tak peduli apapun yang dilakukan dan dimana pun berada, kemudian menundukan kepala dan memanjatkan doa. Waktu berdoa biasanya dilakukan setiap hari, yaitu pada pukul 08.00 pagi, pukul 12,00 siang dan 18.00 sore. Sungguh luar biasa masyarakat di pulau itu, dan ini merupakan pengalaman baru bagi saya di daerah itu.
Dari hasil bincang-bincang dengan sejumlah tokoh masyarakat di daerah itu, kami pun baru tahu soal sejarah peradaban masyarakat asli Kimaam. Selain dikenal dengan nama Pulau Kimaam, pulau ini juga dikenal dengan nama lain yakni Pulau Kolepom dan Pulau Fredrik Hendrik. Namun di dalam peta Indonesia, pulau ini dikenal dengan nama Yos Sudarso. Sebelum dimekarkan menjadi tiga distrik ( kecamatan ), di pulau Kimaam yang luasnya kurang lebih 11 ribu kilometer persegi, hanya ada 1 distrik. Kini di pulau tersebut terdapat Distrik Waan dan Distrik Tabonji. Di Distrik Kimaam sendiri terdapat 11 kampung, 8 kampung diantaranya dapat dijangkau dengan jalur darat, sementara kampung lainnya dilalui jalur kali. 11 kampung tersebut masing-masing, Kampung Kimaam, Mambun, Deka, Kiwaro, Womer, Kaulam, Turiram, Kumbis, Kamalon, Teri, dan Sabudom.
Kalau bicara soal keyakinan di daerah itu, mayoritas masyarakat Kimaam memeluk agama Kristen Katolik. Masyarakat sendiri sudah mengenal agama Katolik diperkirakan pada tahun 1928 oleh sejumlah guru katekis yang termasuk ke daerah itu. Selain masyarakatnya memeluk Katolik, pemeluk agama Islam di daerah itu juga ada. Agama Islam secara tidak langsung baru masuk ke Kimaam pada awal tahun 70-an dibawa oleh sejumlah suku asal Sulawesi Selatan yang saat itu ke pulau Kimaam untuk mencari kulit buaya, daging rusa dan ikan. Mereka mendapat itu dari masyarakat pribumi dengan membarter bahan makanan pokok, seperti beras, gula, tembakau, pinang. Hingga kini suku pendatang itu menjadi tumpuan ekonomi bagi masyarakat asli setempat.
Salah satu tokoh masyarakat Dominikus Ulukyanan mengatakan, masuknya agama Katolik pada masa itu, membawa perubahan bagi masyarakat pribumi. Mereka sudah bisa mengenal pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Orang-orang pendatang yang pertama kali masuk ke Kimaam adalah orang dari suku Kei. Mereka masuk sebagai guru katekis di pesisir pantai pulau itu, termasuk orang tuanya yang masuk ke Kampung Komolom dengan membawa misi katolik.
“Pertama kali orang pendatang yang masuk ke Pulau Kimaam adalah suku Kei, termasuk orang tua saya, Pelipus Ulukyanan dan beberapa orang lainnya. Beliau dulu masuk ke daerah ini sebagai seorang guru perintis di SD Komolom Kampung Komolom. Beliau masuk dengan membawa misi Katolik. Guru-guru ini membawa peradaban di daerah psesisir pantai,”tandasnya Dominikus Ulukyanan yang juga Anggota DPRD Merauke.
Meski Kimaam merupakan distrik tertua di Merauke, namun sentuhan pembangunan masih jauh dari harapan. Kompetensi pemerintah dalam bidang pendidikan dan keseharian di daerah ini, maupun pembangunan infrastruktur masih tertinggal. Padahal, banyak intelektual dan elit negeri ini, lahir di Kimaam.
Penulis dapat merasakan getaran-getaran "rasa, harapan, dan keyakinan" yang disampaikan oleh wartawan itu. Dia menyampaikan pesan kemanusiaan, atas manusia yang hidup di Pulau Kimaam. Mereka dalam kesederhanaan, keterbatasan, dan "ketertinggalan dalam mengikuti gerak pembangunan" namun tetap mengabdi dan berbakti kepada Tuhan Sang Pencipta. Mereka yang datang ke sana telah membawa dan menghadirkan kasih dan kesetiaan Allah, sehingga terjadi perubahan dan perkembangan.
Manusia dari bangsa mana pun, dan dari latar belakang apa pun, ketika berani keluar dari lingkungannya sendiri, dan bekerja demi perkembangan saudara-saudarinya, mereka adalah para utusan Tuhan. Semoga pada jaman ini, tetap banyak orang yang rela dan dengan sukacita menjadi utusan Tuhan di bidang masing-masing untuk mengembangkan sesamanya, menuju kepada kehidupan yang bahagia dan sejahtera.
Syaloom.....
Penulis melalui blog ini, menuturkan kembali apa yang ditulis oleh seorang wartawan Merauke Pos. Tulisan ini, menurut penulis, bukan sekedar berita, tetapi di balik cerita itu ada pesan moral dan "sharing" (membagikan pengalaman) atas apa yang dia lihat dan dia alami, ketika berada di Pulau Kimaam. Itulah sebabnya, dia memberi judul pada tulisannya itu "Kimaam Negeri Religius". Simaklah apa yang dihaturkan kepada anda:
Lautan manusia terlihat jelas dari udara ketika pesawat Twin Other Merpati memasuki Bandara Kuraro, Distrik Kimaam, Senin,(15/8). Nyanyian khas daerah itu mengiringi ritual adat yang diperagakan masyarakat setempat. Tak terhitung berapa jumlah manusia yang hadir dalam penyambutan kedatangan Bupati Drs. Romanus Mbaraka, MT bersama rombongan. Yang pasti ritual dilakukan setiap kali pesawat akan mendarat.
Hari itu, penerbangan ke Distrik Kimaam pun naik dua kali lipat dari hari-hari biasanya. Terhitung ada lima kali pesawat Twin Other Merpati dan pesawat AMA mendarat di Kuraro untuk mendrop rombongan Bupati untuk menggelar perayaan HUT RI yang ke-66 dan sekaligus turun kampong di Pulau Yos sudarso itu (nama lain pulau Kimaam).
Bupati Romanus Mbaraka bersama istri Ny. Yohana Mbaraka, serta rombongan pun merupakan penumpang terakhir yang mendarat di Kimaam. Rombongan itu tiba sekitar pukul 15.00 waktu setempat dengan menggunakan pesawat AMA. Kedatangan Bupati bersama rombongan pun disambut meriah secara adat. Terhitung ada sekitar 11 kali rombongan harus berhenti untuk menerima persembahan adat dari masyarakat setempat. Hal itu dilakukan dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih empat kilometer.
Suasana haru bercampur suka ria mendramatisir kedatangan Bupati Romanus di tanah kelahirannya itu. Ritual adat dengan mematahkan 4 buah anak panah pun dilakukan Bupati Romanus sebagai symbol perdamaian di daerah itu. "Tidak ada lagi perbedaan, kita harus tinggalkan semua perbedaan yang pernah terjadi di Pemilu kemarin. Kita semua ini saudara,”kata salah satu tokoh adat ketika memandu prosesi adat.
Berbagai acara penyambutan digelar yang melibatkan masyarakat di 11 kampung. Kota kecil yang telah berumur 109 tahun itu pun mulai ramai, jalan raya tanpa beraspal itu begitu sesak. Tiga hari sudah Bupati bersama rombongan Anggota DPRD Merauke dan pimpinan SKPD. Berbagi suka duka dengan masyarakat yang kental dengan memeluk agama Katolik menjadi cerita yang tak ada akhirnya.
Keramahan masyarakat tampak dalam senyum dan sapa mejadi ciri khas di Kimaam. Setiap kali berjalan dan bertemu masyarakat ucapan salam pun tak henti-henti. Bahkan salah seorang dari rombongan sembari bercanda mengatakan, “Wah, kalau kita tinggal disini terus terasa cape untuk member salam. Habis setiap bertemu masyarakat pasti diberikan salam tanpa mengenal waktu, maupun itu anak-anak ka, orang dewasa ka sama saja,”katanya.
Memang itulah cara masyarakat setempat untuk mendekatkan diri pada orang yang baru dikenal. Suasana kekeluargaan terasa, tidak pernah memandang siapapun. Tetapi itulah tanda penghormatan masyarakat setempat kepada siapa saja yang berada di pulau itu.
Ada yang paling menarik dari kehidupan masyarakat di pulau itu, yaitu kekuatan religiusnya. Dari pantauan media ini, ada waktu-waktu tertentu dimana masyarakat harus berhenti beraktivitas sejenak untuk memanjatkan doa yang dipandu melalui gereja. Melalui alat pengeras suara dan bunyinya lonceng gereja, seluruh masyarakat di daerah itu berhenti sejenak tak peduli apapun yang dilakukan dan dimana pun berada, kemudian menundukan kepala dan memanjatkan doa. Waktu berdoa biasanya dilakukan setiap hari, yaitu pada pukul 08.00 pagi, pukul 12,00 siang dan 18.00 sore. Sungguh luar biasa masyarakat di pulau itu, dan ini merupakan pengalaman baru bagi saya di daerah itu.
Dari hasil bincang-bincang dengan sejumlah tokoh masyarakat di daerah itu, kami pun baru tahu soal sejarah peradaban masyarakat asli Kimaam. Selain dikenal dengan nama Pulau Kimaam, pulau ini juga dikenal dengan nama lain yakni Pulau Kolepom dan Pulau Fredrik Hendrik. Namun di dalam peta Indonesia, pulau ini dikenal dengan nama Yos Sudarso. Sebelum dimekarkan menjadi tiga distrik ( kecamatan ), di pulau Kimaam yang luasnya kurang lebih 11 ribu kilometer persegi, hanya ada 1 distrik. Kini di pulau tersebut terdapat Distrik Waan dan Distrik Tabonji. Di Distrik Kimaam sendiri terdapat 11 kampung, 8 kampung diantaranya dapat dijangkau dengan jalur darat, sementara kampung lainnya dilalui jalur kali. 11 kampung tersebut masing-masing, Kampung Kimaam, Mambun, Deka, Kiwaro, Womer, Kaulam, Turiram, Kumbis, Kamalon, Teri, dan Sabudom.
Kalau bicara soal keyakinan di daerah itu, mayoritas masyarakat Kimaam memeluk agama Kristen Katolik. Masyarakat sendiri sudah mengenal agama Katolik diperkirakan pada tahun 1928 oleh sejumlah guru katekis yang termasuk ke daerah itu. Selain masyarakatnya memeluk Katolik, pemeluk agama Islam di daerah itu juga ada. Agama Islam secara tidak langsung baru masuk ke Kimaam pada awal tahun 70-an dibawa oleh sejumlah suku asal Sulawesi Selatan yang saat itu ke pulau Kimaam untuk mencari kulit buaya, daging rusa dan ikan. Mereka mendapat itu dari masyarakat pribumi dengan membarter bahan makanan pokok, seperti beras, gula, tembakau, pinang. Hingga kini suku pendatang itu menjadi tumpuan ekonomi bagi masyarakat asli setempat.
Salah satu tokoh masyarakat Dominikus Ulukyanan mengatakan, masuknya agama Katolik pada masa itu, membawa perubahan bagi masyarakat pribumi. Mereka sudah bisa mengenal pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Orang-orang pendatang yang pertama kali masuk ke Kimaam adalah orang dari suku Kei. Mereka masuk sebagai guru katekis di pesisir pantai pulau itu, termasuk orang tuanya yang masuk ke Kampung Komolom dengan membawa misi katolik.
“Pertama kali orang pendatang yang masuk ke Pulau Kimaam adalah suku Kei, termasuk orang tua saya, Pelipus Ulukyanan dan beberapa orang lainnya. Beliau dulu masuk ke daerah ini sebagai seorang guru perintis di SD Komolom Kampung Komolom. Beliau masuk dengan membawa misi Katolik. Guru-guru ini membawa peradaban di daerah psesisir pantai,”tandasnya Dominikus Ulukyanan yang juga Anggota DPRD Merauke.
Meski Kimaam merupakan distrik tertua di Merauke, namun sentuhan pembangunan masih jauh dari harapan. Kompetensi pemerintah dalam bidang pendidikan dan keseharian di daerah ini, maupun pembangunan infrastruktur masih tertinggal. Padahal, banyak intelektual dan elit negeri ini, lahir di Kimaam.
Penulis dapat merasakan getaran-getaran "rasa, harapan, dan keyakinan" yang disampaikan oleh wartawan itu. Dia menyampaikan pesan kemanusiaan, atas manusia yang hidup di Pulau Kimaam. Mereka dalam kesederhanaan, keterbatasan, dan "ketertinggalan dalam mengikuti gerak pembangunan" namun tetap mengabdi dan berbakti kepada Tuhan Sang Pencipta. Mereka yang datang ke sana telah membawa dan menghadirkan kasih dan kesetiaan Allah, sehingga terjadi perubahan dan perkembangan.
Manusia dari bangsa mana pun, dan dari latar belakang apa pun, ketika berani keluar dari lingkungannya sendiri, dan bekerja demi perkembangan saudara-saudarinya, mereka adalah para utusan Tuhan. Semoga pada jaman ini, tetap banyak orang yang rela dan dengan sukacita menjadi utusan Tuhan di bidang masing-masing untuk mengembangkan sesamanya, menuju kepada kehidupan yang bahagia dan sejahtera.
Komentar