FABIANUS TUTUBOY - IMAM BARU KA.MERAUKE
Aku bukan apa-apa” demikian Pastor Faby yang baru ditahbiskan menjadi imam tanggal 10 Oktober 2010 yang lalu di Katedral Merauke, mengawali ceritanya. Semua ini terjadi bukan karena jasa saya. Sejak kecil, saya itu biasa-biasa saja. Tidak ada sesuatu yang istimewa untuk saya. Anak dari pasangan Bpk Yohanes Tutuboy dan Ibu Epifanis Buarleli menjalani masa pembinaan selama 13 tahun, sejak di Seminari Langgur, Seminari Tinggi Pineleng, Novisiat MSC hingga akhirnya menerima tahbisan imamat.
Dia mengaku bahwa waktu kecil dia adalah anak yang nakal. Ayah dan ibunya kewalahan untuk melarangnya keluar dari rumah karena gemar bermain sepak bola. Bila disuruh tidur siang bersama kedua orangtuanya, maka ketika kedua orangtuanya sudah tidur, dengan diam-diam dia bangun dan melompat keluar jendela untuk bersama-sama teman-temannya bermain bola. Mengapa ia mau masuk Seminari Menengah ? Ia ingin main bola di sana, dan dianggap “hebat oleh teman-teman sekampungnya” karena ia sekolah di tempat lain, sedangkan mereka tetap sekolah di kampung.
Dia juga pernah mengalami kejenuhan dan sudah memutuskan untuk mengundurkan diri ketika masih studi di Seminari Tinggi Pineleng. Dia mencari alasan yang tepat agar tidak dipersalahkan oleh orangtua dan sanak saudaranya. Maklum, orangtua dan orang-orang sekampungnya berpandangan bahwa mereka yang mundur dari seminari, pasti karena “ada persoalan / tergoda perempuan”. Lalu, apa jalan keluarnya ? Tidak usah belajar supaya nilai ujiannya jeblok (jelek).
Faby mulai malas belajar. Dengan harapan nilai ujiannya turun dan tidak cukup, sehingga akan dikeluarkan dari Seminari. Namun, ketika semua usahanya itu hampir berhasil, dia “mendapatkan suatu penglihatan”. Dia dikunjungi seorang kakek, yang masuk ke kamarnya. Kakek itu datang dengan wajah penuh senyum dan memanggil dia untuk mengikutinya. Faby menolak mentah-mentah dan mengusir dia. Namun, kakek itu tetap tersenyum dan memanggilnya untuk mengikuti dia. Akhirnya kakek itu melangkah mundur, menjauh sambil terus-menerus memanggilnya....kemudian menghilang.
Peristiwa itu mengajak Faby, untuk bangkit dan mengikuti Yesus. Sejak saat itu, semangatnya untuk mengikuti panggilan Yesus bersemi kembali. Dia mulai giat menata hidupnya.
Peristiwa lain yang menyuburkan panggilannya adalah peristiwa kelaparan dalam perjalanan pulang dari kampung Wanggambi ke Kimaam, di sebuah pulau di wilayah Keuskupan Agung Merauke (kini disingkat KAME). Ketika pulang dari Kampung itu, Faby mendayung dan mendayung perahu, karena merasa dirinya masih muda dan kuat. Akibatnya ketika baru separuh perjalanan dia sudah amat lapar, namun tidak ada apa pun yang bisa dimakan. Hanya air rawa lah yang dia minum. Di sepanjang perjalanan itu yang ada hanya rumput rawa, pepohonan kecil dan bila sudah mendekati kampung ada pohon kelapa. Tidak ada warung makan, atau kios atau pedagang asongan.
Maka ketika tiba di Kimaam, apalagi hari sudah gelap, tanpa peduli dengan barang-barang bawaannya, dia langsung lari menuju ke pastoran dan mencari makan. Namun, peristiwa itu akhirnya memberinya rasa syukur, bahwa dia diperkenankan turut menderita bersama dan dalam nama Yesus, demi umat-Nya. Peristiwa itu, menjadi alasan dia ingin mengabdi di KAME.
“Tuhan telah lebih dahulu mencintai aku. Aku sekarang ingin membalas kasih-Nya. Bagiku, menjadi imam bukan pertama-tama jabatan, tetapi pembawa / pengantar orang kepada Yesus. Menjadi imam, adalah sebuah keputusan untuk mencintai Yesus dan menjadikan Dia makin besar, sementara aku menjadi semakin kecil. Yesus / Tuhan adalah yang nomor satu. Aku hanya alat-Nya”, demikian pastor muda ini mengakhiri sharingnya.
Semoga kasih Allah mengalir melalui dia, yang telah dipilih menjadi imam-Nya.
Komentar