DI GUNUNG BATU ITU, ADA KEHIDUPAN

Waktu sudah menunjukkan jam 15.15 sore itu, ketika kami turun di tempat pemberhentian bis. Kami kemudian menumpang mobil van kecil, tanpa AC, ke dekat Biara St. Katarina - di kota St. Katarina, Mesir untuk naik ke atas dengan tujuan mendaki Gunung Sinai. Jaraknya pendek saja, hanya sekitar 7 menit dengan mobil angkutan tersebut. Udara amat panas untuk ukuran orang Indonesia yaitu 38 - 39 derajat celsius.

Di "stasiun" unta itu ada puluhan unta yang sudah siap untuk menghantar peziarah untuk naik ke gunung suci. Unta-unta itu "duduk dengan melipat kakinya" agar memudahkan para penunggang untuk duduk di pelana yang ada punggungnya. Unta-unta itu amat jinak, dan setelah ditunggangi siap berdiri, berjalan, dengan mengantar ke stasi berikutnya. Jaraknya cukup jauh, sekitar 1,5 jam di punggung unta, jadi kira-kira 8 km. Jalannya mendaki, dan dengan tenang unta-unta itu berjalan berturut-turut, ada yang jalan tanpa dikawal pawang-nya, karena mereka sudah biasa melewati jalan itu.

Setelah sampai di stasi yang dituju, perjalanan ke puncak Gunung Sinai dilanjutkan dengan jalan kaki. Jalannya makin menanjak dan lebih terjal. Meski demikian, kami semua berjalan di batu-batuan yang besar-besar dan sudah diatur, sehingga tidak takut tergelincir. Ada banyak penduduk setempat yang rela menjadi "pengawal dan menggandeng" para peziarah itu agar menjadi lebih pasti sampai di puncak gunung. Mereka mendapat imbalan 10 USD untuk sekali jalan. Bila perlu bantuan untuk naik dan turun, kita memberi imbalan kepada mereka 20 USD.

Di sepanjang jalan yang dilewati, yang terlihat adalah batu, kerikil, debu dan gunung baru yang berdiri kokoh di kiri-kanan. Tidak ada pepohonan dan rerumputan. Air yang mengalir pun tidak ada, apa lagi mata air. Pertanyaan yang muncul adalah unta-unta itu makan apa ? Dari mana mereka mendapatkan air minum ?

Di tempat yang sulit, panas, tandus dan sulit air itu, bahkan di atas gunung Sinai pun ternyata ada kehidupan. Di atas gunung yang gersang itu pun ada orang yang bertahan tinggal dan bahkan "menjual kopi panas dan teh manis" agar para peziarah itu dapat melepaskan dahaga dan memperoleh kesegaran kembali.

Di gunung itu, menjadi nyata bahwa manusia hidup bukan dari roti (makanan dan minuman duniawi saja) tetapi juga terutama dari Firman yang keluar dari mulut Allah.

Komentar

Postingan Populer