PERTEMUAN BULANAN

PERTEMUAN BULANAN TIM PEDULI KEMANUSIAAN PAPUA

Hari itu ( 6 Februari 2010) merupakan hari istimewa bagi Tim Peduli Kemanusiaan Papua, karena selain ada pertemuan bulanan bagi Tim, ada juga pertemuan bersama dengan rekan-rekan dari YUPP (Yayasan Umat Peduli Pendidikan), rekan-rekan Legio Maria dari Pluit, dan sejumlah undangan dan pemerhati pendidikan. Pertemuan bulanan ini, bisa juga merupakan kesempatan bagi Tim ini untuk mengadakan rapat. Kebetulan sekali, pada rapat kali ini, hadir di antara mereka, Mgr. Niko Adi MSC, uskup Merauke sebagai pembina dan penanggung jawab Kegiatan Peduli Kemanusiaan di Papua.

Rapat dipimpin oleh Mgr. Nicholaus Adi Seputra, MSC dan dihadiri oleh 22 orang yang tergabung dalam komunitas Misi Kemanusiaan Peduli Papua (MKPP) , Yayasan Umat Peduli Pendidikan (YUPP) dan beberapa partisipan perseorangan lain yang mempunyai kepedulian terhadap misi di tanah Papua khususnya dalam bidang pendidikan. Rapat ini diawali dengan pujian syukur oleh Ibu Henny. Pembacaan Kitab Suci 1 Kor 1: 3-5 serta pembahasan ayat Kitab Suci itu sendiri dan dibawakan langsung oleh Mgr. Niko kemudian diakhiri dengan nyanyian pujian.



Setelah itu Mgr. Niko melanjutkan dengan perkenalan peserta yang hadir. Agar suasana rapat lebih nyaman, Mgr. Niko mengawali rapat dengan memperkenalkan diri bahwa beliau sudah berkarya di Merauke selama 21 tahun. Selanjutnya Bapa Uskup memberikan gambaran secara mendetail mengenai kondisi secara umum di Papua.

Berulang kali dijumpai bahwa image/opini yang terbentuk di masyarakat Indonesia dewasa ini adalah orang Papua masih berkoteka, hitam, jelek, bodoh dan terbelakang, suka mabuk-mabukan dll. Opini/image seperti ini merupakan “pembunuhan karakter” / penutupan peluang bagi masa depan penduduk asli Papua sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk maju, dan pada giliran selanjutnya, mereka makin terbelakang dan tidak mempunyai kesempatan yang sama seperti penduduk Indonesia lainnya.

Memang benar jumlah anak putus sekolah juga cukup besar. Ada banyak anak sekolah yang belum bisa membaca, menulis dan menghitung (3M) dan butu huruf. Mereka ini adalah para korban dari tidak adanya gedung sekolah, guru sering absen, tidak ada dukungan dari orangtua kepada anak-anak, tidak ada kontrol dan sanksi bagi guru-guru yang tidak mengajar, dan faktor-faktor lainnya.

Sering kita jumpai orang yang mabuk, ada yang malas, dan menganggur, namun masih lebih banyak yang baik, dan bekerja menurut irama hidup mereka. Mereka adalah "potret" / "cermin" dari orang-orang yang tidak berdaya / tertinggal karena tidak sanggup mengikuti perkembangan dunia moderen dengan segala tuntutannya dan perubahan yang amat cepat. Sering koran-koran dan televisi menampilkan foto yang menggambarkan sekelompok masyarakat yang memakai koteka. Namun tidak pernah dijelaskan, "kapan dan di mana masyarakat itu memakai koteka". Kalau kita saat ini berkeliling ke seluruh penjuru Papua, hampir sulit kita jumpai orang-orang yang pakai koteka. Tinggal sekelompok kecil orang yang berpakaian demikian, itu pun sejauh pengamatan penulis, umumnya mereka telah berumur di atas 45 tahun.

Keadaan yang sesungguhnya bukanlah demikian. Sudah ada banyak hal dan perkembangan yang bagus-bagus dan patut disampaikan kepada masyarakat luas. Harus diakui bahwa Pemerintah Daerah selama ini telah pula berusaha untuk membangun banyak infrastruktur di Papua, jalan-jalan baru, listrik, gedung-gedung pemerintahan dan sekolah. Kita patut memberikan penghargaan dan dukungan kepada pemerintah yang telah bekerja keras demi pembangunan/kemajuan masyarakatnya. Contoh: Jalan-jalan beraspal, gedung-gedung perkantoran, Mall, dan toko-toko swalayan juga ada, bahkan kota-kota yang terletak di pinggir pantai dan pelabuhan umumnya menjadi lebih maju dan berkembang. Pembangunan dan perkembangan tersebut tentu mengundang para pendatang dari pulau lain seperti Sulawesi, Ambon, Flores, Manado dan Jawa untuk menetap di Papua. Mereka inilah yang mengendalikan roda perekonomian, pemerintahan dan pembangunan di tanah Papua.

Kemudian Bapa Uskup juga menyampaikan gambaran mengenai pendidikan dan kendala-kendala yang dihadapi di Papua khususnya di Merauke. Beliau menyebutkan bahwa ada banyak bangunan sekolah-sekolah kosong / rusak, dan ada pula sekolah-sekolah yang berjalan tanpa guru. Kadang guru-guru hadir tapi lebih sering tidak hadirnya, sehingga praktis murid-murid bersekolah hanya 3-4 bulan saja dalam setahun dan sesudah itu mereka harus ujian / ulangan kenaikan kelas. Orangtua menuntut anaknya harus naik kelas, karena guru-guru yang absen itulah yang menyebabkan anak-anak tidak masuk sekolah, bukan karena anaknya tidak masuk sekolah. Akibatnya, meskipun anak-anak itu kurang lancar 3 M (membaca, menulis dan menghitung), mereka dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi. Mutu pendidikan karena tindakan yang demikian ini, menjadi semakin rendah. Ada juga murid-murid yang baru masuk sekolah sesudah berumur 10 tahun terpaksa harus duduk di kelas I atau II. Meski tidak lancar 3M tapi karena faktor umur sudah tinggi (sudah besar) mereka harus dinaikkan. Mereka yang sudah duduk di kelas VI meski tidak lancar 3M terpaksa diluluskan.

Berangkat dari hal tersebut Bapa Uskup merasa bahwa perubahan dan tindakan penyelamatan mutu pendidikan bagi orang asli Papua harus diutamakan. Beliau pun menguraikan fokus yang ingin dicapai lewat pendidikan ini supaya harkat dan martabat mereka (orang asli Papua) bisa terangkat dan mereka bisa menjadi “tuan” di tanah mereka bukan sekedar menjadi penonton saja. Mengingat mereka adalah generasi/masa depan masyarakat, bangsa dan Gereja, mereka tentu butuh dukungan penuh dari kita. Bapa Uskup mengatakan bahwa beliau harus memulai dari sekarang dengan tindakan yang nyata dan segera bisa dilaksanakan. Diharapkan lewat pemberdayaan di bidang pendidikan ini tidak akan terjadi “lost generation” bagi orang asli Papua.

Untuk mempertajam paparan penjelasan ini, Bapa Uskup mempersilahkan bapak Hersubeno yang sudah 15 tahun bekerja di PT Freeport, Timika, Papua untuk menyampaikan pandangannya pula. Pak Her memulai ceritanya dengan memberikan gambaran mengenai kondisi geografis tanah Papua dan masyarakatnya. Bahwa sebetulnya penduduk asli Papua bukanlah orang-orang yang “bodoh” tapi memang kemampuan 3M mereka yang terbatas yang menimbulkan kesan demikian. Apabila mereka diajari secara langsung di lapangan dan dipraktekkan, mereka segera menguasai karena daya tangkap mereka cukup baik. Pak Her juga menyampaikan program-program yang sedang dijalankan oleh PT Freeport berkaitan dengan pendidikan bagi masyarakat Papua.


Sesudah itu acara dilanjutkan dengan diskusi terbuka dari kami-kami yang hadir:
a.Pak Sandjaja mempertanyakan, “Apakah anak-anak Papua mau sekolah?” karena kebanyakan dari mereka harus membantu orang tuanya di ladang dll. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Ibu Shirley Adjiawan bahwa ia yakin 100%, anak-anak Papua mau bersekolah.
b.Pandangan dari Bapak Nelwan bahwa untuk memahami kebutuhan dari suatu “kampung atau daerah” diperlukan studi Antropologi lebih lanjut. Hal ini perlu di terapkan di Papua mengingat kebutuhan masyarakat Papua tidak akan sama dengan kebutuhan masyarakat di Jawa. Begitu pula dalam bidang pendidikan, pendidikan yang sudah berjalan di pulau Jawa belum tentu bisa diterapkan secara langsung di Papua butuh pemahaman dan penyesuaian lebih lanjut.
c.Suster Petronella, SCMM juga menyampaikan usulan-usulan praktis seperti misalnya:
i. Mendatangkan trainer yang peduli dengan pendidikan untuk memotivasi guru-guru yang bertugas di Papua (diusulkan nama Bpk Fidelis)
ii. Mendatangkan guru-guru dari luar Papua dengan bekerjasama dengan pihak sekolah (dlm hal ini STKIP) untuk memberikan beasiswa bagi mereka dan kemudian mereka harus menjalankan ikatan dinas di Papua

d.Ibu Elly menyampaikan usulan untuk memberikan pendidikan ketrampilan bagi anak-anak remaja yang nantinya bisa mereka pakai dalam mencari pekerjaan.
e.Terakhir dari anggota YUPP yang diwakili Bapak Pandji dan Ibu Shanti menyampaikan pandangannya sebagai berikut:
i. Mereka sudah mendapatkan gambaran lebih detail mengenai kondisi pendidikan di Merauke
ii. Mereka meminta supaya di Keuskupan Agung Merauke (KAM) ada tim yang juga peduli pendidikan sehingga dapat menjadi mitra bagi mereka untuk bersama-sama merencanakan strategi pendidikan yang tepat bagi KAM.
iii. Usulan untuk membuat “pilot project” yang berkaitan dengan pendidikan, misalnya mendirikan sekolah berasrama dengan mendatangkan guru-guru dari luar, merencanakan pendidikan bagi penduduk yang bermukim di pedalaman Papua
iv. Bapa Uskup bisa membuat “Grand Strategy” bagi pendidikan di KAM untuk jangka waktu panjang misalnya 30 tahun


6.Sesudah itu Mgr Niko menjawab langsung pertanyaan dari pihak YUPP bahwa di KAM:
* Sudah ada lembaga yang menangani pendidikan
* Sudah ada orang yang menjadi penghubungnya/ koordinatornya, dan
* (mohon maaf , minta informasi balik dari peserta rapat karena point ini tidak tercatat)

Selain itu, beliau juga melontarkan pertanyaan sebagai bahan pemikiran untuk diskusi berikutnya yaitu: “Kira-kira langkah-langkah kecil apa yang bisa kita perbuat bagi pendidikan di Papua?” Satu atau dua langkah usulan saja. Tidak ada kesimpulan yang diambil dalam rapat kali ini karena ini adalah bahan yang akan dibahas lebih lanjut dalam acara Diskusi Bersama tanggal 13 Pebruari 2010 ini.

7.Rapat ditutup pk. 12.30 dengan doa oleh Sr. Petronella, SCMM dan dilanjutkan dengan ramah tamah dan makan siang bersama.



Tuhan mempertemukan dan memperkokoh persaudaraan, serta melengkapi para hamba / utusan-Nya agar mereka semakin hari semakin siap untuk menjadi saluran rahmat, kebijaksanaan dan kebaikan-Nya. Melalui pertemuan itu, menjadi nyata bahwa Tuhanlah yang menyelenggarakan dan menggenapi "persiapan dan pekerjaan yang dilaksanakan oleh manusia". Tuhan menjadikan manusia sebagai partner = mitra kerja-Nya dalam menciptakan, membaharui dunia ini agar makin layak dihuni oleh manusia, ciptaan-Nya.

Komentar

Postingan Populer