PERKARA YANG SEDERHANA
Pembaca yang budiman
Hari ini, saya ingin mengajak anda
untuk menyimak kata atau istilah “sederhana”. Amat sering kata ini muncul dalam
pembicaraan sehari-hari. Misalnya, hal-hal yang biasa atau hal-hal yang
sederhana.
Sederhana itu apa ? Menurut pemahaman saya, sederhana berarti bisa
dikerjakan kapan saja, tidak berbelit-belit. Gampang dikerjakan dan tidak perlu
banyak penjelasan. Mudah dicari bahannya dan harganya murah. Orang yang tidak
sekolah pun bisa melakukannya. Tidak menuntut pemikiran yang rumit. Gampang
jalan keluarnya. Tidak menuntut peralatan yang macam-macam. Resiko kekeliruan /
kesalahannya kecil.
Agar hal-hal yang sederhana itu bukan
hanya berupa teori, saya mempraktekkannya bersama dengan anak-anak asuh saya. Saya
punya beberapa anak asuh. Semuanya laki-laki. Kalau pembantu tidak masuk kerja,
mereka juga saya libatkan dalam urusan rumah tangga untuk menggantikan dia.
Maka, selain sekolah, mereka juga saya latih untuk tahu memasak, mencuci
piring, mengepel lantai ruang makan dan ruang tamu.
Mereka saya latih sampai terampil untuk
menanak nasi dengan menggunakan “magic jar”. Beras dicuci lebih dulu, memasukkan beras ke dalam pancinya, banyaknya
air yang diperlukan sehingga nasinya empuk, dan bagaimana menekan tombol aliran
listrik, sehingga alat itu bekerja dengan sempurna. Hanya dilatih dua kali,
mereka semua sudah bisa melaksanakannya dan hasilnya sempurna. Maka, bila
pembantu tidak masuk, merekalah yang menyiapkan hidangan untuk sarapan pagi.
Yang lain saya latih untuk memberi
makan ternak. Pakannya berupa dedak yang dicampur dedaunan, lalu diberi air
secukupnya. Air minum ternak pun harus diberi larutan EM4, supaya kotorannya
tidak berbau dan tidak dikeroyok lalat. Sekarang mereka sudah bisa melakukannya
sendiri, tanpa petunjuk.
Rasul Paulus, mengarahkan umatnya
kepada perkara-perkara yang sederhana ( Rom 12:16). Ternyata mengerjakan
perkara / pekerjaan yang sederhana, bukan hanya berarti melakukan pekerjaan
yang mudah dan bisa dikerjakan kapan saja, tetapi juga hendak mengungkapkan
“kesediaan atau kerelaan untuk melayani”. Orang itu mudah dihubungi, tidak
banyak alasan untuk menolak, ringan tangan, gesit dan rela melaksanakan tugas /
pekerjaan apa saja. Tentu saja, di dalam
mengerjakan semuanya itu, ada unsur kejujuran, kegembiraan, tanggung jawab dan
kesetiaan.
Di dalam injilnya, Lukas
menuturkan: “Beberapa waktu kemudian
berangkatlah Maria dan langsung berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di
Yehuda” ( Luk 1:39). “Beberapa waktu kemudian” hendak menunjukkan bahwa Maria,
begitu gesit, dan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk bersibuk-sibuk dengan
dirinya sendiri. Ia tahu bahwa saudarinya (Elisabeth) membutuhkan bantuannya.
Maria langsung berjalan ke pegunungan.
Berjalan kaki berarti bahwa hanya sedikit barang yang bisa dibawa serta.
Apalagi kalau harus menempuh perjalanan yang jauh dan panas, orang memilih
untuk membawa barang yang penting-penting saja dan semampunya. Kalau begitu,
Maria tentu hanya membawa bekal dan perlengkapan secukupnya, agar bisa sampai
ke tempat tujuan pada waktunya.
Ia tinggal di rumah Elisabeth selama 3
bulan. Berarti Ia kerasan dan hidup dalam damai serta siap melayani saudarinya
yang menantikan kelahiran anaknya. Sikap tidak berbelit-belit, jujur, setia,
siap melayani, mau kerja apa saja, dan mau makan dan minum apa yang disajikan
oleh tuan rumah, merupakan “buah-buah dari pikiran yang sederhana” dan
sekaligus “tekad seseorang untuk memberikan dirinya secara utuh” kepada Tuhan
dan sesama. Kehidupan orang-orang yang demikian ini, senantiasa dihiasi oleh
sukacita, damai, kerukunan, ketenteraman dan kesejahteraan.
Berpikir dan bertindak sederhana,
sebetulnya mudah dan murah namun bagi sebagian orang ternyata tidak mudah. Hal itu dirasakan tidak
mudah karena menuntut kerendahan hati, pengorbanan, kejujuran dan keiklasan
untuk kurun waktu yang tidak terbatas. Kalau orang lain bisa, tentu anda pun
bisa.... Dengan bantuan Allah, kita semua bisa menjadi orang-orang yang
sederhana.
Komentar