SEMALAM DI KALI BIAN

PEMBACA YANG BUDIMAN

SYALOOM.....

Saya menjumpai anda kembali, melalui cerita / pengalaman perjalanan di daerah Okaba. Waktu itu, saya sedang dalam perjalanan dari Kimaam ke Merauke. Karena tidak ada pesawat, kami nekad kembali ke Merauke melalui laut dengan naik speed-boat, kemudian dilanjutkan dengan naik sepeda motor. Kami sudah sampai di Okaba, setelah mengadakan perjalanan selama 3 jam  dengan speed-boat, dan 4 jam naik sepeda motor. Kami tiba di Okaba jam 20.00. Setelah makan makan di pastoran Okaba, kami melanjutkan perjalanan ke Kali Bian. Di sanalah tempat penyeberangan itu. Inilah cerita  selengkapnya.


Malam itu, kami ( uskup, pastor Agus dan 3 pengantar ) melanjutkan perjalanan dari Okaba ke Kumbe meskipun sudah jam 21.00. Mengapa demikian ? Kami sudah berjanji bahwa kami akan pulang ke Merauke pada hari Selasa tanggal 12 Maret 2013.  Dengan susah payah, akhirnya kami tiba di pelabuhan sungai Bian jam 10.30. Kami harus menyeberangi sungai Bian, namun perahu yang hendak menyeberangkan kami tidak ada. Dengan lampu sepeda motor dan klakson yang kami bunyikan, kami memberikan tanda kepada rekan kami yang ada di seberang sungai, agar mereka tahu bahwa kami sudah ada di pelabuhan, dan minta dijemput.

Sungai itu amat lebar. Dengan perahu bila kami menyeberang diperlukan waktu sekitar 20 menit. Beberapa kali tanda kami berikan / kirimkan, dan kami melihat ada orang yang membalas sorot lampu kami, dengan menyalakan senter ke arah kami. Menginat sudah cukup larut, sekitar jam 23.30 akhirnya kami memutuswkan untuk tidur (bermalam) di sebuah rumah tunggu. Bangunannya masih kuat, namun tidak berdinding. Kami berenam siap-siap untuk tidur, namun Johnny dan rekannya memutuskan untuk kembali ke Okaba dengan alasan mengambil tikar. Tinggallah kami berempat di tempat itu.

Kami tidak membawa tikar. Dengan jaket agak basah-basah, karena sudah amat lelah setelah menempun perjalanan panjang 22 jam, kami merebahkan diri di lantai papan tanpa alas apapun, kecuali jaket yang kami kenakan. Syukurkan bapak Jeremias Ndiken membawa kelambu kecil, sehingga kami masuk ke dalam kelambu, saling berdempetan seperti ikan pindang. Syukur pula bahwa malam itu tidak ada nyamuk, sehingga kami bisa tidur dengan nyenyak. Meski tidur seadanya tetapi kami bisa tidur, melepaskan “hari kemarin dan kelelahan perjalanan” dengan hati damai.


Tidur semalam tanpa alas tikar......tetapi nyenyak juga. Pasrah kepada Penyelenggaraan Ilahi.


“Tidur adalah sebuah kebutuhan alami dan manusiawi” apalagi ketika tubuh butuh beristirahat. Maka tanpa kasur yang empuk, tanpa lampu dan tanpa perlengkapan lainnya sebagaimana di rumah, “tidur di tempat dan dalam situasi apa pun” bisa terjadi. Hujan gerimis, suara air laut yang sedang pasang, dinginnya malas, bukan lagi pengganggu tetapi malah menjadi sahabat yang mengantar kami untuk masuk ke dunia yang lain. Menerima situasi dan pasrah pada para sahabat dan bersyukur bahwa masih bisa beristirahat kepada Sang Kuasa, merupakan “kunci kedamaian hati untuk dapat beristirahat di mana pun”.

Ketika kami bangun, karena sudah menikmati damai, tidak ada seorang pun yang gelisah atau menyesali bahwa kami telah tidur “semalam di kali (sungai) Bian”. Kami malah berterima kasih kepada bapak Jeremias Ndiken yang telah membawa kelambu. Hujan gerimis pagi itu yang mengiringi “kebangunan kami untuk menikmati hari yang baru” menambah pengakuan diri bahwa kami adalah manusia yang terbatas. Kami membutuhkan orang lain. Kami tidak bisa bekerja sendiri. Kehadiran mereka dan apa yang mereka berikan, mendorong kami untuk mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah memungkinkan kami beristirahat, memulihkan kekuatan dan menatap hari baru. Juga kami terdorong untuk mengucap syukur kepada Sang Pemberi Kehidupan.

Kami membutuhkan oksigen. Dengan jumlah besar oksigen disediakan oleh Sang Khalik. Kami membutuhkan penghangat, dan di tempat itu ada begitu banyak kayu yang siap untuk dijadikan kayu api. Kami perlu air bersih untuk cuci tangan. Air hujan yang mengalir dari atap rumah dapat kami gunakan untuk membersihkan tangan. Ketika kami sudah lapar, Johny datang dari Okaba dengan membawa makanan dan minuman yang kami butuhkan. Di tempat itu kami masak super mie dan bisa makan kenyang. Kami tetap makan pada waktunya.

Orang bisa saja berkomentar: “Kasihan bapak uskup tidur di pinggir kali, kedinginan dan tidak sarapan”, karena hal-hal seperti ini adalah hal yang luar biasa. Komentar seperti ini memang dapat diterima dan sungguh amat bisa dipahami. Di sisi lain, tidur seadanya dan mengalami tidur di pinggir kali dengan damai, dan tanpa gangguan apa pun, serta sampai hari ini kami tidak sakit, adalah suatu anugerah yang amat luar biasa. Kebaikan dan penyertaan Tuhan jauh lebih dahsyat dan mengalahkan semua keterbatasan manusia. Dia telah memberikan apa yang kami butuhkan secara melimpah. Dia telah menunjukkan diri-Nya sebagai Gembala Yang Baik, yang tidak melupakan atau tidak meninggalkan utusan-Nya sendirian.
 
Sarapan pagi seadanya..... biskuit, dan supermi. Semuanya dinikmati dengan rasa syukur.
 
 
Meskipun capek, kehujanan dan tidur seadanya, kami semua tidak mendapat / menderita sakit. Kami semua tetap sehat dan dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya, seakan-akan tidak ada sesuatu yang luar biasa yang telah kami alami. Badan kami juga tetap segar.  Inilah rahmat besar yang kami terima dari Allah yang selalu mencintai dan menyertai perjalanan kami. Dia adalah Allah yang mahabesar dan mahakuasa. Dia hadir di mana pun dan memberikan perlindungan kepada orang yang  selalu berlindung pada-Nya. 

Komentar

Postingan Populer