JOHNNY BALAGAIZE
PEMBACA BLOG YANG SETIA
SYALOOM....
Kisah ini saya alami beberapa waktu yang lalu. Saudara yang akan saya ceritakan ini, sudah cukup lama saya kenal. Karena itulah, ada beberapa segi yang menarik pada dirinya yang patut saya angkat pada kesempatan ini. Marilah kita ikuti kisahnya.
SYALOOM....
Kisah ini saya alami beberapa waktu yang lalu. Saudara yang akan saya ceritakan ini, sudah cukup lama saya kenal. Karena itulah, ada beberapa segi yang menarik pada dirinya yang patut saya angkat pada kesempatan ini. Marilah kita ikuti kisahnya.
Johnny di dermaga kali Bian.... melepas kepergian kami menuju ke Merauke.
Dia adalah seorang bapa keluarga.
Usianya mendekati 40 tahun. Anaknya 4 orang. Dia pernah bersekolah sampai lulus
SMA. Dengan susah payah, dia dan
rekan-rekan sekampungnya menuntut ilmu karena pada waktu itu sekolah setingkat
SLTA tidak ada di kampungnya. Yang ada hanya SD dan SMP. Karena itu, demi
meraih tingkat pendidikan dan masa depan yang lebih baik, dia harus merantau ke
Merauke. Meski ijazah SMA ada di
tangannya, dia tidak serta merta bisa menjadi pegawai. Persaingan dengan sesama
pencari kerja yang sering lebih terampil dan punya koneksi di kantor-kantor
atau di perusahaan tertentu, memaksa dia untuk pulang kampung dan bekerja
seadanya. Dia menjadi petani dan sesekali “menghantar tamu-tamu” yang sedang
jalan dinas ke sana. Dari situlah, dia mendapatkan rejeki untuk menghidupi diri
dan keluarganya.
Orangnya selalu gembira dan
cenderung “cerewet” kalau sudah kenal dengan orang yang dilayaninya. Tidak ada
kata tidak bisa baginya dan tidak pernah dia memperlihatkan wajah murung.
Hidupnya terasa ringan dan sepertinya dia tidak pernah punya masalah. Hidupnya
mengalir seperti air. Istrinya yang sedang hamil tua pun, dia tinggalkan demi
melayani tamu-tamu atau orang yang membutuhkan bantuannya. Istrinya pun tidak
mempermasalahkan “gaya hidup Johny”. Keduanya menikmati hidup.....mengalir dari
hari ke hari.
Ketika mendengar bahwa uskup ada
dalam perjalanan dari Kimaam menuju Okaba, dan minta dijemput di kali (sungai)
Buraka, dia dan teman-temannya tanpa banyak pertimbangan merelakan diri untuk
menjemput. Dia memang sudah amat menguasai medan. Kendaraan Yamaha RX King yang
dirawatnya dengan setia itu, selalu menjadi andalannya. Bersama dengan 2
rekannya dia pergi menjemput uskup dan rombongan di kali Bian. Di bibirnya
selalu terselip sebatang rokok gudang garam. Menurut dia, rokok itu sebagai
penyemangat dan membuat perjalanan menjadi lebih ringan.
Dia juga membawa ransel yang
berisi seluruh peralatan perbengkelan dan onderdil yang diperlukan. Bila sepeda
motor yang ditumpanginya / rekannya mengalami kerusakan atau gangguan kecil,
mereka dengan gampang berhenti di suatu tempat, dan memperbaiki kerusakan itu.
Di daerah terpencil seperti Okaba dan pedalaman lainnya, para pengendara sepeda
motor wajib membawa peralatan agar dalam keadaan darurat, mereka tetap bisa
“membengkeli” kendaraan mereka sendiri. Mereka
juga membawa bensin dan oli cadangan, sehingga sewaktu-waktu ketika dibutuhkan
semuanya sudah tersedia.
Di jok belakang motornya ada
“karung bagasi” (seperti tukang pos jaman dulu, yang ke mana-mana membawa
karung bagasi yang diisi surat dan paket-paket). Di karung bagasi itulah, tas
uskup dan pastor Agus serta barang bawaan lainnya ditempatkan dengan aman.
Semua sepeda motor menjadi kendaraan andalan untuk keperluan transportasi darat
bagi penduduk pedalaman. Mereka sudah terbiasa dengan situasi itu, dan merasa
amat terbantu dengan adanya kendaraan roda dua yang dapat menjelajah
daerah-daerah sulit dan terpencil.
Hari itu, dia dengan gembira hati
memboncengkan uskup, dari km 5 Buraka menuju Wambi, dan dari Wambi menuju ke
Okaba. Perjalanan menyusuri pantai. Air laut sedang pasang, sehingga kami
dengan mudah meluncur di atas pasir yang cukup keras dan padat untuk dilewati
sepeda motor. Sering kami harus melalui pasir pantai yang masih basah, karena
tempat itu cukup rendah bahkan menyeberangi sungai-sungai kecil yang airnya
hanya sebatas mata kaki. Setelah
menempuh 1 jam perjalanan, kami tiba di Wambi. Johny dengan gesit mebelokkan
kendaraannya menuju Puskesmas Pembantu (Pustu) Wambi. Di sana kami beristirahat
sejenak.
Perjalanan dilanjutkan ke Okaba.
Di beberapa tempat lumpur merah yang masih basah-basah harus dilewati. Johny
memboncengkan uskup melalui jalan yang tidak beraspal dan berlumpur. Rupanya 2
hari sebelumnya ada curah hujan yang cukup banyak, sehingga jalanan menjadi
lebih becek. Meski demikian, dia tetap tenang melewati jalan-jalan yang becek
itu. Memang dia sudah amat mengenal
daerah itu, sehingga bisa dikatakan menguasai medan. Dalam waktu 1 jam, kami
semua sudah tiba di Okaba.
Perjalanan dilanjutkan lagi ke
arah Kali Bian, meskipun sudah malam. Johnny tetap bersemangat mengantar uskup
dan rombongan. Tibalah kami di pelabuhan kali Bian, sekitar jam 10.30. Semuanya
gelap, hanya penerangan dari sepeda motorlah yang bisa menerangi pelabuhan itu. Di kali ini tidak ada
jembatan, sehingga semua orang harus naik perahu bila hendak menyeberang. Itu
sebanya, Johny mengarahkan sorot lampu sepeda motor ke arah seberang, untuk
memberi tanda bahwa kami perlu perahu untuk menyeberang. Malam itu, meskipun
sudah beberapa kali mereka yang di seberang diberi tanda, tidak ada perahu pun
yang datang untuk menjemput kami. Maklum sudah malam, mungkin mereka semua
sudah tertidur.
Malam itu, dia kembali lagi ke
Okaba dengan harapan bisa mendapatkan tikar supaya uskup dan rombongan bisa
tidur di temat tunggu yang ada pinggir kali dengan lebih nyaman. Ternyata
ketika sampai di Okaba, semua sudah tidur nyenyak. Maklum, saat itu kira- kira
sudah jam 24.00. Menurut pangakuannya, dia tidur di pastoran karena merasa sungkan untuk
membangunkan tuan rumah. Kemudian, dia
mempersiapkan aneka kebutuhan dan membawa semuanya ke pelabuhan kali Bian. Jam
11.15 dia tiba di kali Bian dengan
membawa kue dan bahan makanan untuk makan siang bapa uskup dan rombongan. Dari
kantong bagasinya dikeluarkan bahan-bahan makanan dan alat-alat masak. Di rumah
tunggu itu, kami memasak makanan cepat saji, sehingga dalam waktu yang amat
singkat kami telah menikmati makan siang.
Pengorbanannya telah memungkinkan
kami tiba di tempat dengan selamat, dapat beristirahat di rumah tunggu, dan
menikmati makan siang. Kerelaannya untuk mengantar menjemput dan mengantar,
membuat kami “tinggal duduk di sepeda motor” dan “menikmati perjalanan di pantai,
di lumpur-lumpur, dan di antara semak belukar. Sepeda motornya yang dia rawat
itu, telah memungkinkan kami naik tanpa kerewelan mesin di tengah jalan.
Kesiapsediannya untuk memberikan yang terbaik, dengan riang gembira,
mencerminkan “jiwa dan dirinya” yang siap menolong dan berkorban bagi orang
lain.
Ucapan terima kasih yang
diwujudkan dengan kata-kata, dan “imbalan yang dia terima pada hari itu” sesungguhnya tidak sebanding dengan pengorbanan yang telah diberikannya. Namun, lebih baik ada ucapan terima kasih daripada "kosong sama sekali". Pengalaman-pengalaman seperti ini makin meyakinkan saya bahwa di mana pun saya diutus, di sana ada banyak orang baik. Ada banyak orang yang rela berkorban dan siap melayani. Mengapa demikian ? Karena saya yakin, sebelum saya ada di tempat itu, Tuhan telah ada dan Dia memberikan yang baik kepada saya, dan semua orang yang berkehendak baik.
Komentar