TIGA MINGGU DI BALI
Cerita tentang Kursi no. 17 C saya lanjutkan dengan cerita berikut ini. Ceritanya sesungguhnya biasa, sederhana, dan sepertinya tidak ada apa-apanya. Saya juga sekedar menuliskannya untuk anda. Moga-moga anda mendapatkan mutiara kehidupan di dalamnya.
Ibu Yolanda baru saja
menghabiskan masa liburnya di Bali selama 3 minggu. Dia memilih libur di daerah
Ubud – daerah wisata yang dikelilingi
persawahan. Rupanya sudah beberapa kali dia berlibur ke sana. Lingkungan hidup yang alami, bunyi aliran air
dari persawahan, pemandangan alam dan kehidupan masyarakat setempat yang dekat
dan mengikuti “irama dan keteraturan alam” membuat bu Yolanda kerasan untuk
berlama-lama di sana. Memang sudah banyak
tempat lain yang dia kunjungi, ke tempat menonton pertunjukan tari kecak
misalnya, atau tempat-tempat kuliner, ke Gianyar, pantai Kuta, Jimbaran, namun
Ubud adalah daerah tujuan wisata yang telah memikat hatinya.
Waktu 3 minggu dihabiskan untuk
menikmati “alam, kehidupan masyarakat pedesaan yang sering sulit ditemukan di
tempat lain, serangga, flora dan fauna yang juga sering sudah tidak ada di
wilayah lain di bumi nusantara ini. Bagi
Yolanda, berlibur setiap tahun ke daerah-daerah yang masih amat alami sungguh
menyenangkan dan menyegarkan semangatnya. Di sana dia menemukan “yang alami,
yang asli, yang seadanya, dan organik” sedangkan di banyak tempat lain yang
disuguhkan lebih banyak yang tiruan,
penuh dengan ramuan dan unsur kimiawi.
Ternyata yang organik, yang alami
dan seadanya, yang sesungguhnya mudah dan murah, menjadi “sesuatu yang langka,
jauh dari jangkauan, tidak dikenal,
kalah promosi, dan karena itu untuk menemukannya diperlukan biaya yang besar.
Anak 3 dan cucu 4
Ibu Yolanda mempunyai 3 anak yang
sudah dewasa dan menikah. Ia mempunyai 4
orang cucu. Apa yang mereka taburkan kepada anak-anaknya telah menghasilkan
panenan. Ketiga anaknya telah bekerja dan mendapatkan kehidupan yang baik dan
turut berperan dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah Martin. Dia
adalah perancang bangunan. Beberapa hasil karyanya telah diperkenalkan ke
beberapa negara.
Waktu dan perkenalan yang begitu
singkat di pesawat dalam perjalanan dari Abu Dhabi ke Roma tidak memungkionkan
saya untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang ibu Yolanda. Namun, dari
percakapan dan penampilannya, ibu yang sudah berumur 66 tahun itu tetapi gesit dan energik. Hidangan yang disajikan
oleh pramugari disantap semuanya. Artinya, dia tidak memilih-milih makanan.
Juga minuman yang dipilih umumnya adalah air putih. Air putih memang lebih
sehat daripada minuman kaleng, atau jus yang dikemas dalam botol plastik atau
kotak tertentu.
Itulah sebabnya, ketika berumur
60 tahun, dia berjalan kaki bersama rekan-rekannya dari Lousanne (Swiss) ke
Compostella ( Portugal ). Mereka menempuh jarak 1.000 km dalam waktu 6
minggu. Saya terkagum-kagum akan
semangatnya yang begitu besar. Dia
bercerita pula bahwa kapan saja, ada banyak orang / kelompok yang berjalan kaki
ratusan kilometer untuk menuju ke
Compostella. Mereka mengorganisir
sendiri. Bagi mereka, berjalan kaki
sepanjang 1.000 km menjadi kenangan yang indah, dan banyak orang yang
mengulanginya beberapa kali. Ibu Yolanda bertekad, tahun 2017, dia akan
berjalan kaki untuk kedua kalinya sejauh 1.000 km namun dengan rute yang
berbeda.
Ibu yang gesit ini, melanjutkan
ceritanya sambil menunjukkan kepada saya sebuah medali. Medali itu cukup kecil,
namun bersih dan terawat dengan baik. Medali kesayangan itu adalah medali Hati
Kudus Yesus (HKY) dan telah dibawa ke banyak negara yang dia kunjungi. Dia juga bercerita bahwa sering berziarah ke
beberapa gua Maria. Salah satu di antaranya adalah gua Maria Lourdes. Dari cara bicaranya dan pengetahuannya
tentang tempat-tempat ziarah itu, dan dari medali HKY, saya tidak ragu-ragu
bahwa ibu Yolanda beragama katolik, dan ia adalah seorang katolik yang setia.
Dia juga dengan senang dan tenang
bersharing tentang banyak hal, karena melalui sharing dia tahu bahwa saya
adalah uskup. Hikmah yang dapat saya
petik adalah bahwa devosi, pengetahuan tentang tempat-tempat ziarah, kehidupan
yang dialami di masing-masing negara,
meskipun berbeda, terjembatani dan diperkaya oleh iman yang sama dan di
dalam kesatuan gereja katolik yang sama. Beda bangsa, beda budaya, beda bahasa
dan aneka perbedaan yang lain “bukan halangan untuk makin percaya kepada Tuhan yang maharahim
kepada semua orang” yang mempunyai iman, harapan dan kasih yang sama.
Melalui sharing itu, Tuhan
menyapa saya. Orang asing yang tidak saya kenal sebelumnya, telah memperkaya
keimanan saya, memperluas cakrawala tentang masih banyaknya orang yang berharap
dan menyandarkan imannya kepada Tuhan dengan perantaraan para kudus. Di negara-negara maju yang saat ini mengalami
krisis iman, krisis sosial ekonomi, budaya hedonisme, konsumerisme dll menembus
sendi-sendi kehidupan, ternyata iman akan Allah yang hidup, masih tetap hidup.
Kaum tua-tua yang ada sekarang adalah saksi hidup. Mereka juga tetap berusaha
untuk meneruskan imannya kepada anak-anak dan cucu-cucu mereka.
Komentar