OXIBIL
Pembaca yang budiman
Saya mengunjungi anda kembali, setelah sekian lama absen. Kali
ini, saya hadirkan sebuah cerita yang
baru saja saya alami. Moga-moga anda terinspirasi atau menemukan sesuatu yang
bagus di dalamnya. Selamat menikmati....
OXIBIL adalah nama sebuah kecamatan
/ kota kecil di Pegunungan Bintang – Provinsi Papua. Letaknya di bagian
tengah.....kalau anda melihatnya di peta. Di bagian itu, ada banyak deratan
gunung-gunung dan pegunungan. Penduduknya
sekitar 3.000 orang. Untuk pertama kalinya, saya mendarat di kota kecil ini, setelah
terbang dengan pesawat kecil ( jenis Caravan ) selama 1 jam dari Sentani –
Jayapura.
Terbang berdua
Sesudah menunggu beberapa menit
di ruang tunggu keberangkatan pesawat AMA - Bandara Sentani, saya dipersilakan
naik pesawat. Saya adalah penumpang satu-satunya. Hari itu, Jumat tanggal 9 Juni 2016, saya
duduk di samping pilot, yaitu duduk di kursi ko-pilot. Duduk di kursi ko-pilot,
dan terbang dengan pesawat kecil milik AMA yang hanya berpenumpang 12 orang,
bukanlah untuk pertama kalinya bagi saya. Namun yang istimewa kali ini adalah
kami hanya terbang berdua saja bersama pilot.
Saya duduk di kursi ko-pilot di
bagian “cockpit”, melihat semua instrumen yang disentuh dan tombol-tombol lain
yang digerakkan oleh kapten pilot. Saya melihat dari dekat, bahkan bisa
menyentuhnya, kalau saya mau. Meski demikian, saya tidak ingin dan tidak
tergerak untuk menyentuh istrumen atau tombol apa pun, karena saya takut nanti
terjadi sesuatu yang fatal, bagi semua pihak. Sejak sebelum keberangkatan, semuanya
dikerjakan sendiri oleh pilot sebagai pilot tunggal dari pesawat jenis Caravan,
sedangkan saya hanya melihat dan mengagumi kelincahan dan keberanian pilot
untuk mengoperasikan pesawat seorang diri.
Widi nama pilot itu. Usianya baru
23 tahun. Ayahnya telah berpuluh-puluh tahun bekerja sebagai mekanik PT AMA,
dan kini menjabat sebagai Direktur Operasional.
Setelah tamat SMA, Widi belajar di sekolah penerbangan di Amerika,
selama 8 bulan. Setelah tamat dan mengantongi ijazah penerbangan, dia kembali
dan ikut pilot-pilot senior melintasi daerah-daerah dan pengunungan di wilayah
Papua. Setelah punya pengalaman cukup, dan jam terbangnya juga memenuhi syarat,
dia baru diperbolehkan terbang sendiri. Sampai saat ini, dia telah
diperbolehkan terbang sendiri dan sudah mengantongi lebih dari 1.000 jam
terbang. Sementara itu, terbang sendirian telah dijalaninya sebanyak 600
jam.
Perjalanan / penerbangan pertama
adalah penerbangan Jayapura – Oxibil. Bagi saya, inilah perjalanan pertama ke
daerah Pegunungan Bintang. Kata orang, pesawat akan melewati gunung dan
pegunungan. Meskipun ada rasa cemas,
karena belum pernah terbang berdua dan melintasi daerah itu, saya tetap memilih
terbang dengan pesawat AMA ini. Apalagi untuk mencapai tujuan perjalanan saya
yaitu Tanah Merah, inilah satu-satunya kemungkinan yang terbaik. Perjalanan dari Jayapura ke Oxibil
membutuhkan waktu 60 menit.
Ketika pesawat sudah di udara,
sekitar jam 6 pagi, saya menikmati pemandangan yang indah...pemandangan alam di
danau Sentani pada waktu pagi. Danau itu
amat luas, dan airnya tenang. Matahari baru mulai terbit, dan menyinari
beberapa titik danau itu. Aktivitas penduduk belum kelihatan. Cuaca cerah dan
berawan putih di mana-mana. Semuanya tentram dan damai.
Sepanjang perjalanan awal itu,
saya hanya melihat hutan yang penuh dengan pohon-pohon yang tingginya rata-rata
sama. Hutan itu begitu lebat, dan tidak kelihatan ada perumahan satu pun di
sana. Hutan-hutan itu menutup seluruh
permukaan pegunungan yang kami lintasi. Cuaca pagi yang bagus memungkinkan saya
untuk menikmati hutan dan pegunungan dari ketinggian 800.... 2.000 – 3000 kaki,
kemudian menuju ke ketinggian 9.500 kaki.
Ketinggian pesawat dapat dilihat di layar monitor pesawat baik di bagian
pilot maupun di ko-pilot.
Sungai-sungai yang
melingkar-lingkar seperti ular, dengan airnya yang mengalir dari gunung dan
pegunungan, tampak jauh di bawah sana. Semuanya dikelilingi oleh hutan yang
lebat. Tidak ada tanah yang kosong. Hutan perawan yang ada di Papua memang amat
luas. Tidak mengherankan ada banyak investor yang ingin mengelola hutan itu.
Setelah terbang beberapa menit, ada beberapa perkampungan yang kelihatan
bagaikan “rempeyek kacang” karena perumahan mereka terkumpul, bagaikan kacang
yang rapat di makanan tradisional di Jawa yang disebut “rempeyek atau peyek”.
Melintasi bukit
Ketika pesawat hendak melintasi
gunung-gunung yang berlapis-lapis, ada perasaan tertentu yang muncul di benak
saya. Rasa kecil, takut, was-was, pasrah dsb..... Dan untuk mengatasi semuanya
itu, pertama-tama saya panjatkan doa. Entah berapa kali doa salam Maria saya
doakan, sambil melihat pemandangan, awan, gunung yang makin mendekat di depan
saya, dan di bawah pesawat. Sesudah
gunung dan pegunungan itu kami lewati, di kejauhan di bawah sana, tampak
kampung Akmisibil. Kampung itu kecil dan
terletak di lembah. Untuk menjangkau tempat
itu, satu-satunya sarana yang mungkin adalah pesawat. Maka, dari udara tampak
juga lapangan terbang di kampung itu.
Kemudian pesawat terbang melalui
celah pegunungan. Jarak antara pesawat
dengan tebing gunung sungguh amat dekat.
Kami berdua yang ada di pesawat, betul-betul berada di tengah / di celah
gunung. Ada rasa takut dan kagum. Saya
takut karena untuk pertama kalinya berada di daerah itu dan begitu dekatnya
dengan tebing gunung. Terbayang beberapa
waktu yang silam, ada pesawat yang menabrak gunung, karena cuaca atau karena
angin gunung yang tiba-tiba muncul dan menghempaskan pesawat. Pada saat yang sama, saya kagum pada pilot
yang begitu tenang, terampil dan percaya diri dalam mengemudikan pesawat. Semuanya
dia kerjakan sendiri.
Setelah melewati gunung dan
pegunungan, Oxibil sudah tampak dari kejauhan. Letaknya di lembah yang cukup
luas. Kalau dari arah pesawat, daerah
itu letaknya di sebelah kiri. Ada banyak
rumah, dan perkantoran yang sudah dibangun secara permanen. Jalan-jalan juga
sudah diaspal. Jaringan listrik juga sudah ada.
Tempat ini sudah maju pesat, tidak seperti yang saya bayangkan
sebelumnya. Penduduknya lebih dari 3.000 orang.
Sudah ada banyak kendaraan bermotor, juga mobil-mobil pemerintah dan 1
bis kecil yang masih juga ada di sana. Semua barang kebutuhan yang berasal dari
daerah lain, supaya sampai ke Oxibil, harus diangkut dengan pesawat. Bis dan kendaraan besar lainnya, serta
alat-alat berat (exavator) diangkut dengan menggunakan pesawat herkules.
Kami mendarat dengan selamat di
Oxibil. Cuaca cerah dan tidak ada angin sehingga pesawat bisa menuju ke hanggar
parkir AMA dengan lancar. Dua orang
pegawai AMA dengan sigap membuka pintu dan mempersilakan saya turun. Di
Bandara, saya bertemu dengan Sr. Aniceta KSFL yang bekerja di bagian
administrasi penerbangan pesawat-pesawat AMA. Sudah 1 tahun, beliau bertugas di
bagian itu. Sebelumnya, dia bertugas di rumah retret St. Clara di Sentani.
Sebelum bertugas di kedua tempat itu, Sr.
Aniceta pernah bertugas di bagian administrasi SMP John 23 Merauke, selama 2
tahun. Itulah sebabnya, ketika di
Oxibil, saya bertemu kembali dengan suster yang dulu pernah bersama-sama
mengabdi di Merauke. Meskipun sudah pindah ke tempat lain, persaudaraan yang
pernah terjalin, tetap hidup. Sayang bahwa waktu transit hanya sebentar,
sehingga kami tidak bisa bercerita panjang-panjang, apalagi suster juga harus
mengurus administrasi dan barang-barang yang akan dibawa ke Tanah Merah. Meski
hanya sebentar, saya mengalami bahwa kami bukan lagi orang asing satu sama
lain.
Perjalanan dilanjutkan lagi
dengan pesawat yang sama menuju ke Tanah Merah. Semua tempat duduk pesawat
dilepas, sehingga di bagian itu kosong sama sekali. Yang ada di pesawat hanya 2
orang yaitu pilot dan saya. Kami hanya melewati satu deret pegunungan, dan selanjutnya penerbangan di wilayah itu menuju
ke Tanah Merah amat santai. Pegunungan sudah tidak ada lagi, dan cuaca juga
cerah, sehingga hati dan perasaan saya pun jauh lebih tenteram.
Pesawat dikemudikan secara otomatis,
sesudah mencapai ketinggian 6.500 kaki. Beberapa kali pilot berkomunikasi
dengan pihak pengawas di bandara, dan sesudah itu dia memberitahu sambil
menunjuk ke arah kanan bahwa di depan sana ada pesawat yang baru saja terbang
dari Tanah Merah menuju ke Oxibil. Saya melihat ke arah itu, dan benar bahwa
ada 1 pesawat yang terbang tinggi, menuju ke arah yang berlawanan dengan arah
pesawat kami. Saya juga bertanya,
bagaimana pilot tahu bahwa ada pesawat ? Dia menjawab: “Kami tadi saling
berkomunikasi. Pilot-pilot harus tahu bahwa di wilayah A atau B atau C,
frekwensi radio yang dipergunakan adalah sekian, sekian, supaya tidak terjadi
tabrakan di udara. Oleh pilot di pesawat
lain, diinformasikan bahwa di Tanah Merah ada 2 pesawat dan 1 helikopter. Cuaca
di sana juga bagus dan cerah”.
Di layar monitor, Tanah Merah
sudah kelihatan. Dan Gambar pesawat juga sudah mendekati lokasi itu. Artinya
tidak lama lagi pesawat akan mendarat. Saya melihat pilot mulai menggerakkan
beberapa instumen dan tombol, dan ketinggian pesawat mulai berkurang. Pesawat
pelan-pelan mulai menurun, dan menembus awan untuk menuju ke tujuan. Setelah
bebas dari gugusan awan, kota Tanah Merah sudah kelihatan. Cuaca memang bagus
dan tidak hujan, sehingga dengan mudah pesawat mendarat. Setelah terbang 30
menit dari Oxibil, kami tiba dengan selamat.
Kalau tidak ada penerbangan ini,
saya harus menempuh perjalanan lebih panjang dan lebih lama. Route panjang yang
harus saya lalui adalah Jayapura – Merauke dengan pesawat Boing 737, kami
terbang selama 1 jam dan tiba di Merauke, kira-kira jam 9.30. Perjalanan
dilanjutkan dengan menumpang mobil selama kurang lebih 8 – 9 jam. Apalagi saat
ini musim hujan dan banyak jalan yang rusak. Ada kemungkinan kami tiba di Tanah
Merah jam 8 malam. Dengan menumpang
pesawat kecil AMA, perjalanan menjadi lebih singkat dan nyaman. Terima kasih
kepada pilot Widi yang telah mengantar saya dari Jayapura ke Tanah Merah, via
Oxibil. Kami terbang dari Jayapura jam 6.00 dan tiba di Tanah Merah, jam 7.55.
Melalui hamba-hamba-Nya, Tuhan
telah menuntun dan melindungi saya sehingga tiba di tempat tujuan dengan
selamat. Dia juga memperkenankan saya
untuk melihat kemajuan yang telah terjadi di daerah lain. Dia menguatkan saya untuk lebih siap
mengadakan perjalanan di gunung-gunung.
Namun Dia juga meminta saya untuk pasrah, berdoa lebih banyak, mengucap
syukur serta mengagumi kemahakuasaan-Nya yang terbentang di alam
ciptaan-Nya.
Tuhan telah memelihara manusia,
hewan dan makhluk hidup lainnya berabad-abad lamanya di tempat-tempat yang
terpencil dan terisolir. Mereka diberi makan, kesehatan, kekuasaan untuk
melindungi diri, kepekaan untuk membaca dan memahami tanda-tanda alam, sehingga
bisa tetap hidup dan berkembang biak. Alam telah menyediakan apa saja yang
dibutuhkan oleh manusia, dan mereka bisa hidup, beranak cucu, tanpa harus
tergantung dari obat-obatan pabrik, tanpa dokter atau bidan dan perawat yang
lulus dari perguruan tinggi tertentu.
Mereka juga tidak kekurangan gizi. Dalam suasana yang demikian,
kata-kata pemazmur tetap sangat cocok untuk diucapkan: “Tuhan Allah kami,
betapa mulianya nama-mu di seluruh bumi” ( Mzm 8: 2).
Komentar