KURSI NO 17 C


Ada apa dengan kursi no. 17 C.  Silakan anda menyimak isinya. Inilah salah satu oleh-oleh perjalanan ziarah yang saya alami beberapa waktu yang lalu. Selamat membaca. 

Sesudah menyapa “hello mom” dan dijawab dengan senyum kecil, saya duduk di sebelahnya. Sesudah itu, tidak ada sapaan-sapaan atau perbincangan yang lain. Sepanjang perjalanan tu, kami masing-masing lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdiam diri dan tidur, karena memang saya masih mengantuk. Kami terbang tengah malam dari Jakarta. Perjalanan dari Jakarta sampai ke Abu Dhabi membutuhkan waktu kurang lebih 8 jam.  Sedangkan perjalanan dari Abu Dhabi sampai ke Roma membutuhkan waktu 4 jam.

Kami tiba di Abu Dhabi kira-kira jam 6.45 pagi dan transit kira-kira 2,5 jam.  Kami terbang lagi jam 9.15. Dalam perjalanan dari Abu Dhabi ke Roma, saya duduk di kursi no 17 C pesawat ETIHAD – BOEING 737-300.  Kursi no 17 B tidak ada.  Yang ada kursi no 17 A.  Jadi, kursi no 17 A bersebelahan dengan kursi no 17 C.  Di kursi no 17 A itu telah lebih dulu duduk seorang ibu. Dari penampilannya sudah kelihatan bahwa dia bukan orang Asia, berkulit putih, dan saya perkirakan berasal dari Eropa atau Amerika. 

Kira-kira 2 jam menjelang tiba di Roma, mulai ada percakapan kecil.  Ibu itu sedang membaca dan membalik-balik majalah yang disediakan oleh perusahaan penerbangan ETIHAD. Bacaan dan informasi tentang banyak hal di majalah itu ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris.  Saya bertanya tentang kewarganegaraannya.  Dari pembicaraan itu, dia berasal dari Lausanne – Swiss. Ibu itu bernama Yolanda. Kebetulan majalah ETIHAD memuat berita dan cerita tentang negara Swiss, bangunan-bangunan kuno,  beberapa gereja katolik dan daerah-daerah wisata. Tidak ketinggalan toko-toko sovenir dan hotel-hotel serta makanan-makanan bagi para turis yang ingin kuliner juga tersaji di sana.

Di majalah itu, kebetulan sekali dimuat salah satu karya dari ( Martin ?) anak ibu Yolanda. Bu Yolanda menunjukkan karya itu, yang dipasang / ditempatkan di sebuah hotel di Swiss. Saya tidak ingat persis di kota mana. Karya itu terbuat dari kayu. Bagian-bagiannya diukir, dan disambung-sambung sehingga menyerupai bentuk payung atau jamur. Untuk menopang atapnya yang melengkung, Martin membuat jari-jari yang tampak bagaikan 5 jari tangan manusia yang disatukan. 

Saya mengabadikan karya Martin itu, dengan menggunakan kamera yang ada di hp saya, supaya memudahkan pembaca untuk memahami / melihat hasil karya itu.  Foto yang anda lihat itu menunjukkan sebuah kreativitas anak muda, yang hendak memperlihatkan kepada dunia, sesuatu yang khas. Bahwa di tengah hiruk pikuk kemajuan di banyak negara, di kota tertentu di Swiss, ada anak muda yang pantas untuk diperhitungkan. Ada sebuah karya, yang belum ada duanya di belahan bumi mana pun. Mungkin mirip, namun yang khas dari orang yang bernama Martin, adalah karya yang berbentuk jamur / payung, yang terbuat dari kayu yang diukir.

Karya Martin, telah memberikan kegembiraan dan kebanggaan kepada ibunya. Karya yang dimunculkan di majalah itu, diperkenalkan kepada dunia. Banyak orang membacanya, mengaguminya, dan mungkin pula mencari pembuatnya karena ingin membeli produk yang bagus itu.  Hasil karya yang mula-mula hanya biasa-biasa saja, ketika mulai ditampilkan, diberi penghargaan oleh orang lain dan diperkenalkan secara lebih luas, akan memberikan “kegembiraan” yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kegembiraan itu bukan hanya dalam bentuk sapaan, ucapan / salam, tetapi muncul juga sahabat-sahabat baru, jaringan kerja yang baru, dan tentu juga rejeki untuk hidup sehari-hari.  Melalui hal-hal yang seperti ini, kata-kata Yesus menjadi sangat nyata terjadi: “Carilah dulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka yang lain (sahabat, masa depan, rejeki untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, kesehatan, dan masih banyak lagi) ditambahkan kepadamu”. 

Komentar

Postingan Populer