20 MENIT DI UGD
PEMBACA
YANG BUDIMAN
Syaloom
Inilah
sharing saya untuk anda, setelah sekian waktu tidak menjumpai anda.
Moga-moga anda menemukan inspirasi di dalamnya. Selamat membaca.
SORE
ITU, saya ditelpon oleh kenalan saya. Dia mengabarkan bahwa di UGD –
sebuah rumah sakit - ada seorang rekan ( sebut saja A) yang telah
lama berada di sana. Tujuan utamanya adalah bertemu dengan dokter X,
ahli penyakit dalam, karena dirujuk oleh dokter. Namun, karena dokter
yang dimaksud sedang bertugas di luar daerah, dia menjalani
pemeriksaan lagi seperti seorang pasien yang baru. Diinformasikan
bahwa sudah beberapa jam lamanya dia menunggu, sedangkan kepastian
tentang tindak lanjut yang akan diambil, tidak ada kejelasan.
Ketika
saya tiba di sana, saya meminta ijin untuk bertemu dengan A. Tidak
terlalu sulit untuk menemukan dia, karena ruang UGD tidak luas dan
hanya ada 2 pintu saja. Ternyata di dekat ruangan itu ada orang yang
kenal saya, sehingga dia mengantar saya ke tempat A. Dia duduk di
sebuah tempat tidur, di sebelahnya ada orang yang sesak napas, yang
lain lagi kena diare, dan yang lain lagi lagi tidak enak badan karena
darah tinggi. Dan di depan saya, ada seorang pemuda yang sedang koma,
karena infeksi otak. Di ruangan yang sempit itu, ada 6 pasien yang
menderita gangguan yang berbeda-beda.
Bila
pasien tinggal di UGD untuk sementara waktu, tentu bisa dipahami.
Namun, banyak yang terpaksa tinggal di sana, karena semua ruangan
penuh dengan pasien. Tidak ada lagi ruang kosong. Akibatnya, ruang
yang kosong dipakai untuk menolong pasien yang datang. Meskipun
pasien itu seharusnya mendapatkan pertolongan mendesak dan darurat,
serta perlu istirahat yang cukup, hal itu tidak dapat dipenuhi karena
keterbatasan ruangan dan fasilitas yang diperlukan pasien. Maka,
mereka yang menderita / mengalami gangguan berat, harus pasrah dan
mau menerima pelayanan yang amat minim, di UGD. Tidak heran bahwa
pasien-pasien akhirnya harus mengalami penderitaan berkepanjangan
karena tidak segera mendapatkan pertologan yang memadai.
Sambil
menunggu obat untuk A, saya mengamati dokter-dokter yang melayani
pasien UGD. Kebanyakan mereka adalah dokter-dokter muda yang baru
selesai studi. Mereka bekerja extra keras untuk melayani
pasien-pasien dengan pelbagai keluhan. Saya mencoba mengerti dan
sekaligus mengolah ketidakmengertian saya atas situasi “bahwa di
UGD ditempatkan dokter-dokter muda”. Bukankah para pasien itu ingin
mendapatkan kepastian, “gangguan apakah yang menyebabkan mereka
sakit ?”. Diagnosa yang cermat dan teliti, akan memungkinkan
pasien mendapatkan pengobatan yang cepat dan tepat. Bila diagnosanya
keliru, pasienlah yang akan mendapatkan resikonya. Batin saya
terusik, dan ingin mengatakan bahwa semestinya yang ditugaskan di UGD
adalah dokter-dokter yang sudah berpengalaman. Sedangkan
dokter-dokter muda adalah pendampingnya, karena mereka masih perlu
banyak belajar.
Pengalaman
malam itu, mengajak saya untuk berani lebih pasrah. Orang-orang yang
tinggal di daerah, di tempat yang kekurangan fasilitas, SDM yang
handal, kurang sarana transportasi dan komunikasi, rupanya bukan
hanya ditantang, tetapi sudah kenyang dengan “tuntutan untuk pasrah
selain kepada keadaan, tetapi juga kepada keputusan yang sering
kurang berpihak pada orang yang sedang membutuhkan bantuan”.
Nyatanya,
di tempat-tempat yang serba terbatas, masih banyak ditemukan
kehidupan. Ada banyak hal yang sebetulnya tidak mungkin, dan tidak
bisa dilanjutkan, ternyata hal itu mungkin dan bisa dilanjutkan. Ada
banyak orang yang sesungguhnya tinggal di daerah-daerah yang tidak
layak huni, makan makanan yang kurang gizinya, namun mereka bisa
hidup dan bertahan hidup di tempat itu. Bahkan mereka lebih tahan
bantingan daripada mereka yang tinggal dan hidup di wilayah yang
serba kecukupan.
Di
sinilah saya melihat dan mengalami, bahwa ada yang disebut
penyelenggaraan ilahi. Dia yang mempunyai hidup, memberikan diri-Nya
dan hidup-Nya kepada makluk ciptaan-Nya.
Komentar