104 POHON PISANG
PEMBACA YANG BUDIMAN
SYALOOM
Saya haturkan untuk anda, cerita ringan ini yang saya dapatkan hari ini (Rabu, 10 Februari 2016). Selamat membaca.
Sebelum
meninggalkan Muting ( pusat kecamatan Muting, jaraknya kira-kira 240
km di sebelah timur laut Merauke ), saya diberi 8 pohon pisang oleh
NR. Delapan pohon itu dipisahkan dari induknya pagi-pagi menjelang
keberangkatan saya. Seorang penjaga kebun dengan sigap membersihkan
batang-batang pohon itu dari lembaran dedaunan, sehingga yang saya
bawa melulu batang dan bonggolnya.
Dari
Muting, dalam perjalanan pulang saya singgah ke Bupul. Jaraknya
kira-kira 200 km dari Merauke. Di Bupul saya mengadakan misa kudus,
sehubungan dengan perayaan Rabu Abu. Banyak umat yang hadir, juga
anak-anak begitu banyak. Supaya tempat duduk untuk orang-orang dewasa
cukup, anak-anak saya minta duduk di lantai di panti imam. Jumlah
mereka kurang lebih 100 orang. Anak-anak itu umumnya tertib,
sesekali mereka bercerita dengan teman-teman mereka, namun tidak
begitu mengganggu jalannya ibadah.
Meskipun
Rabu Abu adalah hari pantang dan puasa, homili saya pada kesempatan
itu berbicara tentang perlunya persiapan makan dan minum untuk
keluarga. Pada umumanya masyarakat amat tergantung pada alam.
Semuanya didapat dengan mudah di alam, sehingga mereka kurang berani
berpikir dan bekerja untuk mencukupi kebutuhan mereka dalam jangka
waktu yang panjang. Memang apa yang didapat dari alam pada umumnya
segar, baru dan alami (tidak pakai pupuk atau campuran lainnya),
sehingga rasanya enak. Apalagi mereka tidak mempunyak kulkas,
sehingga tidak mungkin untuk menyimpan / mengawetkan daging buruan
atau sayuran hasil kebun mereka.
Akibatnya
mereka hidup dari hari ke hari. Bila merasa lapar, barulah mereka
mencari makan. Kalau haus, barulah mereka mencari minum. Hidup mereka
seakan-akan mengalir bagaikan air, dan ikut suasana batin yang
sedang mereka alami. Maka, tidak heran bahwa mereka bisa tahan lapar
selama beberapa hari....karena suasana batin mereka tidak mendukung (
bahasa populernya : lagi tidak mood ). Ikan, binatang buruan, sagu
dan kebutuhnan hidup sudah sejak dulu kala disediakan oleh alam dalam
jumlah yang amat besar. Mereka tidak pernah kekurangan.
Dengan
masuknya orang-orang dari daerah lain, hidup mereka dan cara kerja
dan cara bergaul mereka pun turut berubah. Persediaan pangan,
sandang dan dana untuk hari tua yang sebelumnya tidak pernah mereka
pikirkan, sekarang menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar.
Akibat dari semua perubahan itu, mereka harus bekerja keras untuk
menyesuaikan diri. Ada yang berhasil, ada yang sedang bergelut, dan
ada juga yang kecewa dan gagal. Dalam situasi seperti yang dialami
oleh orang-orang yang bergelut, kecewa dan gagal, tidak banyak orang
/ lembaga pada mereka. Dunia dan jaman sekarang adalah dunia dan
jaman yang berubah cepat, menuntut pengetahuan, ketrampilan dan
tanggung jawab yang besar. Akibat lebih jauh, masyarakat setempat
makin tertinggal di belakang.
Tidak
ada orang / lembaga mana pun yang bisa menolong terus-menerus. Yang
paling bisa menolong adalah diri sendiri / masyarakat itu sendiri.
Maka, pada kesempatan itu, saya menekankan kepada orangtua dan kaum
muda untuk menyadari hal itu, dan mulai bergerak untuk menyediakan
makan dan minum yang mereka perlukan. Bahan pangan diusahakan agar
dekat dengan rumah masyarkat. Di pekarangan mereka bisa menanam
pisang, keladi, ubi, singkong dan sayuran. Ini akan mempermudah
mereka mendapatkan kebutuhan makan setiap hari. Tanam dalam jumlah
yang besar, sehingga bila ada yang diambil orang, masih ada banyak
yang bisa dipanen oleh keluarga.
Sebelum
misa selesai, saya meminta umat untuk memberi 1 bibit pohon pisang.
Ketika saya menghitung, ada 40 orang yang bersedia memberi bibit itu.
Tua muda, besar kecil, termasuk anak-anak ada banyak yang mengangkat
tangan. Satu jam kemudian, mereka kembali mendatangai saya dengan
membawa bibit pohon pisang. Ada macam-macam jenis pohon yang mereka
bawa. Setelah tiba di Merauke, seluruhnya berjumlah 104 bibit pohon.
Pohon
pisang sangat muda dipisahkan dari induknya. Tidak menuntut banyak
persiapan untuk menanam, dan bibit itu mudah ditanam di mana saja.
Meskipun gundul tanpa daun, atau hanya setengah batang, bahkan hanya
bonggolnya saja, bibit itu akan tumbuh. Juga meskipun didiamkan saja
di salah satu sudut, karena belum ada waktu untuk menanam, bibit itu
tetap hidup dan rela menunggu “saatnya untuk ditanam”.
Begitu
sabar dan pengertian, begitu pasrah dan rela untuk diperlakukan apa
saja bibit pisang itu. Entah batangnya besar, atau masih tunas,
“watak yang luhur itu” tetap melekan pada “bibit pisang”.
Bila manusia punya “watak yang luhur seperti yang dimiliki pisang”
betapa aman dan damainya hidup manusia di dunia ini.
Komentar