TUKANG KAYU
Waktu saya masih anak-anak,
cita-cita saya tidak besar-besar. Saya bukan mau jadi dokter, atau jadi polisi,
atau ahli pertanian. Saya mau jadi tukang kayu. Maka, ketika sudah tamat SD di
Mindiptana, saya melanjutkan sekolah ke Sekolah Tehnik (ST) di Merauke. Jurusan
yang ada waktu itu, hanya ada 2 yaitu
jurusan mesin dan jurusan bangunan. Saya
masuk di jurusan bangunan, dan tiap hari belajar ilmu pertukangan kayu. Saya senang
menggeluti bidang yang saya sukai.
Tiga tahun lamanya saya menekuni
bidang ini, dan akhirnya tiba pada akhir masa pendidikan di ST ini. Saya masih
ingin sekolah, tetapi sekolah lanjutan dari ST ini tidak ada. Saya bingung dan
kecewa karena tidak ada STM pada waktu itu. Orangtua saya tidak mampu untuk
membiayai saya untuk melanjutkan sekolah di tempat lain. Tiap hari perasaan
saya penuh dengan kecemasan dan kekecewaan. Berhari-hari lamanya saya murung,
karena saya tidak tahu saya harus melanjutkan sekolah dengan cara bagaimana.
Tidak ada sekolah yang cocok untuk saya, agar saya bisa mencapai cita-cita saya
sebagai tukang kayu.
Dalam keadaan seperti ini, teman
sekolah saya memberi informasi bahwa SMA John 23 menerima siswa baru, untuk
semua jurusan. Saya ragu-ragu apakah saya bisa, karena saya lulusan ST.
Daripada tidak sekolah, saya mencoba mendaftarkan diri di SMA John. Syukurlah
saya dan teman saya itu diterima. Dengan susah payah, saya belajar di sekolah
ini, karena banyak pelajaran yang tidak pernah saya pelajari di ST. Pada saat
penerimaan raport catur wulan I, nilai raport saya hampir semuanya merah. Saya
kecewa sekali atas hasil itu, namun saya tidak putus asa, karena saya masih diberi
kesempatan untuk belajar lebih giat lagi.
Dengan kerja keras dan belajar
tekun, nilai-nilai raport saya mulai naik. Menjelang akhir kelas III, saya menjadi utusan
dari SMA John untuk mengikuti seleksi pelajar berprestasi di Jayapura. Saya
berharap saya bisa lulus, dan melanjutkan ke perguruan tinggi dengan beasiswa
dari pemerintah. Ternyata saya dinyatakan tidak lulus seleksi. Saya pulang ke Merauke
dengan kecewa. Saya menyesali diri dengan selalu bertanya: “Mengapa saya tidak
tembus ?”. Dalam suasana batin yang
masih kacau ini, saya pindah ke Kelapa Lima dan tinggal di asrama, pada waktu
itu ada perpanjangan masa sekolah selama 6 bulan, karena perubahan kurikulum.
Di asrama ada kegiatan
“Kongregasi Maria” (kumpulan anak-anak remaja dan anak muda) dan misdinar. Saya
ditunjuk menjadi ketua misdinar. Pada masa inilah, muncul cita-cita baru di
hati saya. Saya ingin jadi pastor. Dan saya memilih untuk menjadi pastor MSC.
Pada saat saya menyampaikan keinginan saya untuk menjadi pastor di dalam
tarekat MSC, kepada Pastor Cor Hoogeland MSC, saya diperkenalkan dengan seorang
siswa SPG yang bernama Anton Yawiraka. Kami berdua kemudian ikut pembinaan khusus
yang ditangani oleh Pastor H von Peij MSC (superior MSC pada waktu itu).
Kemudian kami berangkat ke
Jayapura, selanjutnya ke Makasar, dan kemudian ke Manado untuk masuk ke
Seminari “Agustinianum” di Manado. Kami bertemu dengan 2 teman, di sana, yaitu
Cypri Motoh dan Yulius Saletia. Di Agustinianum, kami berempat adalah angkatan
kedua. Saya sebagai orang yang tidak pernah menjalani pendidikan di Seminari,
saya mengalami banyak kesulitan dan harus menyesuaikan diri. Inilah masa-masa
yang cukup berat bagi saya. Saya selalu diliputi kecemasan “apakah saya bisa”.
Seluruh perjalanan pembinaan di Seminari, bagi saya adalah suatu perjalanan
yang berat. Maka, saya memilih motto tahbisan: “Tuhan jikalau boleh, biarlah
piala ini berlalu dari diri saya. Tetapi bukan kehendakku, melainkan
kehendak-Mulah yang terjadi”.
Demikian sharing dari pastor Cayetanus Tarong
MSC, ketika merayakan misa syukur di Vententen Sai ( gedung katedral lama)
Merauke dalam rangka pesta perak imamatnya. Pesta itu diselenggarakan tanggal 11
Januari 2014 yang lalu. Dialah imam MSC pertama, putra asli Papua yang ditahbiskan
sebagai imam tanggal 8 Januari 1989, lahir di Inggenbit – Mindiptana, 55 tahun
yang lalu. Apa yang disharingkan kepada
umat Allah dan para imam serta biarawan-wati yang hadir pada waktu itu,
mengungkapkan keterbatasan dan ketidaksanggupan dirinya untuk “menerima rahmat
besar yang diberikan Tuhan kepadanya”. Hanya karena kasih dan kesetiaan Allah
itulah, apa yang dia rasakan sungguh berat, dapat dia jalani selama 25 tahun itu.
“Bukan kamu yang memilih Aku,
tetapi Akulah yang telah memilih kamu” benar-benar terjadi dalam diri pastor
Tarong. Memang kalau Tuhan yang memilih, pasti Dia pula yang akan melengkapi,
membimbing dan mengarahkan langkah dan keputusan yang telah direncanakan-Nya. Si
tukang kayu yang semula bercita-cita menjadi pembuat meja, kursi, dan perabot
rumah tangga, telah dijadikan Tuhan
menjadi “pembangun umat Allah” dan gembala untuk meneguhkan iman, harapan dan
kasih umat-Nya.
Perjalanan panjang untuk mengikuti
Dia secara lebih dekat, melewati jalan yang berliku-liku dan sering menuntut
pengorbanan yang tinggi, telah dialaminya sebagai “kasih dan kesetiaan Allah”
yang meminta dia untuk menjadi imam-Nya. Itulah kekuatan yang mendorong dia
untuk terus bertekun dan mengikuti Dia untuk seumur hidup. Kasih dan kesetiaan
Allah sungguh nyata melalui umat yang telah dilayaninya. Di dalam sharingnya, P
Tarong mengatakan bahwa tanpa umat, dirinya tidak punya arti apa-apa. Umat
telah menjadikannya berarti dan mendapatkan kekuatan untuk tetap mengabdi Tuhan
yang memanggilnya. Mari kita doakan agar Pastor Tarong tetap setia selamanya.
Komentar