JALAN KE SURGA
“Menjadi orang yang baik dan murah hati” amat sering diajarkan Yesus
kepada murid-murid dan mereka yang sering mengikuti Dia. Melalui pergaulannya dengan masyarakat
kebanyakan, orang-orang kecil, orang-orang miskin dan menderita, kunjungan dan
pengajaran-Nya kepada mereka yang dipinggirkan Yesus hendak menyatakan kebaikan
hati Allah, Bapa-Nya. Maka, agar mereka
mengerti, Dia menyampaikan
pengajaran-Nya itu dengan menggunakan perumpaan, contoh-contoh dari
dunia pertanian, peternakan, atau kehidupan para nelayan.
Kepada para murid-Nya di danau Galilea, Yesus menekankan pengajaran ini:
“Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu, dan di samping
itu akan ditambah lagi kepadamu. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan
diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya akan
diambil” ( Markus 4: 24-25 ). Apa yang
orang berikan kepada sesamanya, ternyata memberikan nilai, keutamaan, dan penghargaan
yang begitu besar kepada dirinya sendiri. Apa yang dia korbankan, ternyata tidak hilang
lenyap, melainkan “menjadi bibit / investasi” yang luar biasa.
Cara, jalan masuk, atau pemikiran dan pengalaman manusia di suatu daerah
/ negara, dengan manusia dari daerah lain dapat saja berbeda. Namun, di sana
dapat juga ditemukan “unsur-unsur hakiki yang menunjukkan arah hidup, tujuan
atau nilai kehidupan yang punya bobot yang sama”. Para nabi, pengajar kebajikan /
kebijaksanaan / guru-guru iman, mengajarkan jalan dan latihan rohani untuk menuju
ke surga.
Cerita yang saya paparkan ini, saya dapatkan dari seorang rekan. Isinya
menunjukkan sebuah keutamaan dan pengorbanan, yang ternyata memberikan
keselamatan dan kebahagiaan bagi si pelaksana. Mari kita simak cerita dan
isinya:
Seorang sedang mendaki gunung bersalju. Semakin ia mendaki, ia merasa
kakinya makin lama semakin beku. Dia ingin sekali berhenti dan berbaring di
salju. Namun, ia sadar jika ia berhenti mendaki dalam kondisi seperti itu, itu
berarti kematian. Sementara ia
berjuang untuk terus berjalan, kakinya terantuk sebuah gundukan, ternyata,
gundukan itu adalah tubuh manusia. Dia lantas membalik orang itu, ternyata dia
masih hidup, dengan sisa tenaga Ia mengangkat org tersebut dan menaruhnya di
punggungnya dan kembali melanjutkan perjalanan.
Tak lama kemudian ia mulai berkeringat dan merasakan aliran darahnya
mulai mengalir lebih lancar, demikian pula dengan org yang ditolongnya. Orang
itu telah sadar dari pingsannya dan mengucapkan terimakasih kepada sang pendaki
yang telah menyelamatkannya. "Saya juga berterima-kasih kepada Anda.
Sebenarnya ketika saya menolong Anda tadi, saya juga telah menyelamatkan nyawa
saya sendiri". Sebenarnya, ketika kita menolong orang lain, kita juga
sedang menolong diri kita sendiri.
Ketika kita berkorban waktu, tenaga, dan uang, kita pun sedang
memberkati diri kita sendiri karena org yang menabur pasti akan menuai. Jadi,
tebarkan hal-hal yang positif dan bersiaplah untuk meraih hal-hal yang terbaik
!
Dengan cara / jalan / pola tertentu, para pengajar keutamaan memberikan
warisan nilai kepada generasi berikutnya. Maksud utama dari pemberian itu
adalah kebahagiaan hidup bagi mereka, dan generasi berikutnya. Karena itu, cerita / kisah yang demikian ini diingat dan
diceritakan kembali secara lisan kepada anak dan cucu mereka. Pada masa kini,
ketika tulisan sudah dikenal, cerita / kisah itu dituliskan sehingga bisa
dibaca / dipelajari. Juga tulisan itu diterjemahkan ke aneka bahasa dari
pelbagai bangsa sehingga banyak orang dapat “memahami maknanya dalam bahasa
mereka sendiri” dan menjadikannya bekal / sumber kekuatan untuk mengejar dan
menikmati kebahagiaan hidup. Inilah
kisah itu, saya tuturkan sepenuhnya untuk anda.
Di Tiongkok pernah ada seorang GURU yang sangat dihormati karena tegas dan
jujur. Pada suatu hari, 2 murid menghadap GURU. Mereka bertengkar hebat dan nyaris
beradu fisik. Keduanya berdebat tentang hasil hitungan 3x7. Murid yang pandai
mengatakan 21, sedangkan murid yang bodoh bersikukuh mengatakan 27. Murid yang bodoh
menantang murid yang pandai dengan meminta GURU sebagai jurinya. Menurut dia, hal
itu perlu untuk mengetahui siapa yang benar di antara mereka. Si bodoh
mengatakan : "Jika saya yang benar 3 x 7 = 27 maka engkau harus mau dicambuk
10 kali oleh GURU, tapi jika kamu yang benar (3x7=21 ) maka saya bersedia untuk
memenggal kepala saya sendiri ha ha ha .....". Demikian si bodoh menantang dengan sangat
yakin akan pendapatnya. "Katakan
GURU, mana yg benar ?" tanya murid bodoh. Ternyata GURU memvonis cambuk
10x bagi murid yg pandai (orang yang menjawab 21). Murid yang pandai protes
keras!! GURU menjawab: "Hukuman ini bukan untuk hasil hitunganmu, tetapi untuk
ke-TIDAK-ARIF-an-mu yang mau-mau-nya berdebat dengan orang bodoh yang tidak tahu
bahwa 3x7 adalah 21". Guru
melanjutkan : "Lebih baik saya melihatmu dicambuk dan menjadi ARIF daripada
GURU harus melihat 1 nyawa terbuang sia-sia!"
Pesan Moral:
Jika kita sibuk memperdebatkan
sesuatu yang tak berguna berarti kita juga sama salahnya atau bahkan lebih salah
daripada orang yang memulai perdebatan, sebab dengan sadar kita membuang waktu dan
energi untuk hal yang tidak perlu. Bukankah kita sering mengalaminya? Bisa
terjadi dengan pasangan hidup, rekan kerja, tetangga / kolega, dll
Berdebat atau bertengkar untuk hal yang tidak ada gunanya, hanya akan
menguras energi percuma. Ada saatnya kita diam untuk menghindari perdebatan
atau pertengkaran yang sia-sia. Diam bukan berarti kalah, bukan? Memang tidak
mudah, tetapi janganlah sekali-sekali berdebat dengan orang bodoh yang tidak
menguasai permasalahan. "MERUPAKAN SUATU KEARIFAN BAGI ORANG YANG BISA MENGONTROL
DIRI DAN MENGHINDARI KEMARAHAN ATAS SUATU KEBODOHAN !! Stopppp debat...KONYOL!
Yesus, sebagai Guru, Imam dan Gembala Agung bukan hanya mengajar,
memberikan kisah / cerita agar para pengikut-Nya mengerti apa yang
diajarkan-Nya, tetapi juga memberikan teladan kehidupan-Nya sendiri. Dia
melayani, dengan menjadikan diri-Nya hamba yang setia sampai mati di kayu
salib. Melalui kematian-Nya, dan kemudian kebangkitan-Nya Dia membela kehidupan
manusia dan menunjukkan jalan ke surga, yaitu jalan pengorbanan diri. Dengan
berkorban / mati, seperti biji gandum, manusia menemukan dirinya yang penuh. Mengapa Dia membela manusia ? Dia membela
sehabis-habisnya, karena manusia adalah ciptaan dan gambar wujud Allah. Di
dalam diri manusia, Allah hadir dan bekerja. Maka dengan melayani manusia,
sebenarnya dia sudah melayani Allah sendiri.
Komentar