PERAYAAN SYUKUR 25 TAHUN IMAMAT
8 Januari 2014, jam 13.30 saya
dan tamu-tamu dari Jakarta meninggalkan wisma uskup menuju ke paroki Sang
Penebus Merauke, dalam rangka syukuran 25 tahun imamat P. Anton Fanumby MSC, P.
Cayetanus Tarong MSC dan saya. Panitia
menjadwalkan jam 14.00 ketiga pestawan (jubilaris) dijemput di pertigaan dekat
pos tentara ( kompi C ), jaraknya kira-kira 400 meter dari gereja. Namun pada
jam itu para penjemput belum siap. Maklum ada banyak persiapan dan rombongan
penjemput yang belum siap. Sekitar jam 14.30 perarakan dimulai. Ketiga
jubilaris menerima pengalungan noken (tas adat yang terbuat dari anyaman kulit kayu) dan bunga di tangan,
kemudian berjalan pelan-pelan menuju ke gereja didahului oleh rombongan
drum-band.
Sepanjang jalan menuju ke gereja,
umat berdiri di pinggir jalan sambil melambaikan tangan, juga umat dari etnis Mappi
dan Asmat turut menjemput mereka dengan tarian adat mereka. Kegembiraan ketiga pestawan juga merupakan
kegembiraan umat. Ketika para pestawan itu sudah hampir mendekati gereja, umat
dari suku Kei dan Tanimbar juga menyambut kami dengan tarian adat mereka. Umat
yang berkumpul sudah makin banyak, dengan wajah-wajah cerah. Juga para imam,
biarawan-wati turut memadati tempat pelaksanaan misa syukur.
Dipandu oleh koor gabungan dri
paroki Sang Penebus – Kampung, umat menyanyikan lagu pembukaan:
Ke depan altar aku melangkah
Seraya bermadah gembira ria
Saat bahagia hari yang mulia
Hari yang penuh kenangan
Refr:
Tuhan berkenan pada yang hina
Seumur hidup aku abdi-Nya
Tuhan berkenan pada yang hina
Seumur hidup aku abdi-Nya
Aku terkenang masa yang lalu
Tuhan berbisik merdu dalam kalbu
Kuingat sabda lembut nan merayu
Marilah ikuti Aku
Demikianlah
lagu pembukaan yang mengiringi langkah para misdinar, keluarga, para imam dan
selebran pada hari itu. Gereja yang
telah dihias dengan bagus, altar yang begitu semarak dengan bunga-bunga,
menambah kemeriahan dan sukacita seluruh umat Allah yang hendak mensyukuri
rahmat besar yang diterima oleh ketiga imam mereka. Rahmat imamat menjadi
rahmat bagi seluruh umat, dan kegembiraan itu terus bergema ke mana pun rahmat
itu dibagikan kepada mereka. Rahmat itu,
bukan karena jasa dan kehebatan manusia, tetapi Allah sendiri yang sesungguhnya
hendak membagikan karunia dan kebaikan-Nya kepada manusia ciptaan-Nya. Para imam adalah saluran rahmat Allah bagi
mereka.
Pastor Anton
Fanumby MSC mengenang kembali peristiwa pentahbisannya tanggal 8 Januari 1989
di Langgur, bersama P Cel mayabubun, dan P Petrus Warat. Dia mengambil motto:
“Bagaimanakah akan kubalas kebaikan Tuhan kepadaku. Aku akan mengangkat piala
keselamatan dan menyerukan nama Tuhan” ( Mzm 116: 13 ). Kebaikan Allah itu
telah dialaminya sejak kecil, melalui keluarga dan para pembina serta umat
Allah sehingga dia berani “menyatakan Ya” atas panggilan Tuhan. Ketika dia
ditugaskan di Mindiptana, khususnya di Waropko dan Mokbiran, kasih Allah itu
sungguh amat nyata.
Waktu itu, umat
di paroki yang dilayaninya kosong. Mereka mengungsi ke Papua New Guinea karena
tindak kekerasan dan paksaan dari OPM (Organisasi Pembebasan Papua). Umat
meninggalkan kampung halaman mereka untuk mencari tempat yang aman di negara
tetangga. Mereka terpencar-pencar dan di kampung-kampung yang saling berjauhan.
Kapan mereka akan kembali, tidak ada seorang pun yang tahu. Dua atau tiga tahun
kemudian ( 1991-1992 ), ketika keadaan di Mindipana dan sekitarnya sudah mulai
aman, sebagian dari para pengungsi kembali ke kampung asal mereka. Hingga saat ini, penduduk Indonesia yang
tinggal di kampung-kampung pengungsian masih amat banyak. Rupanya mereka tidak
mau kembali.
Sebagai seorang
gembala yang diutus melayani umat Allah, ketika melihat umatnya mengungsi
selama bertahun-tahun, yang bisa dia lakukan adalah mengunjungi dan menguatkan
hati mereka yang sudah kembali ke kampung halaman mereka. Pelayanan sabda dan
sakramen-sakramen warta doa bersama, merupakan kekuatan bagi mereka. Pelayanan itu merupakan “wujud nyata” kasih
Tuhan dan penyertaan-Nya bagi umat yang sedang menderita, dan sedang memulai
kehidupan baru.
Hadir juga pada
saat yang membahagiakan itu, bapak Bupati Merauke, para Muspida dan pejabat
pemerintahan, kepala-kepala lembaga yang ada di Merauke. Ini menunjukkan bahwa
hubungan dan kerja sama yang baik antara pimpinan daerah dan pimpinan gereja
amat baik. Dalam sambutannya, Bupati amat berterima kasih atas imam-imam yang
rela dan bersedia membangun Merauke dalam kurun waktu yang panjang. Begitu
pula, Pater Kees de Rooij MSC, satu-satunya misionaris yang berasal dari
Belanda yang masih ada di Merauke, mengatakan bahwa Keuskupan Merauke
membutuhkan imam-imam yang mau bekerja di tanah ini untuk waktu yang lama.
Bagaimana mungkin mau membangun, kalau pastor-pastornya silih berganti dalam
waktu singkat. Maka, beliau pun selain berterima kasih atas 3 orang MSC yang
telah bekerja di tanah Papua selama 25 tahun, juga mengharapkan tenaga-tenaga
muda supaya berani mengambil keputusan untuk mengabdi umat di wilayah ini kalau
bisa untuk seumur hidup.
Melayani umat
Allah, sesungguhnya di mana pun sama saja. Yang dibutuhkan dan dinomorsatukan
ada 2 hal yaitu kesetiaan dan kegembiraan dalam melayani. Kedua hal ini akan
menjadi kekuatan untuk melaksanakan tugas apa saja, karena kekuatan itu
bersumber dari Allah. Maka, saat hening untuk menimba kekuatan, dan menerima
berkat Allah bagi para imam, harus selalu diusahakan dan disegarkan. Melayani
umat Allah tanpa mendekatkan diri dan meminta rahmat Allah, sama halnya dengan
pekerja sosial, yang pada gilirannya akan membuat diri sendiri ‘bosan, kecewa
dan putus asa, serta kehilangan arah”.
Menjadi imam,
sesungguhnya menjadi “man of God” (terjemahan bebas: manusia dari / milik
Allah) yang berarti “orang yang menjadi “tanda kehadiran dan saluran kasih
Allah kepada sesama dan seluruh ciptaan-Nya.
Kalau manusia mengalami bahwa Tuhan itu maharahim dan mahasetia, “man of
God” dalam kehidupannya sehari-hari menghadirkan “kemaharahiman dan
kemahasetiaan Allah itu”, sehingga mereka mengalami bahwa Tuhan itu ada di
tengah-tengah mereka, dan kemaharahiman dan kemahasetiaan-Nya itu benar.
Menjadi imam
itu sekaligus juga menjadi “man for others”, hidupnya dibaktikan untuk kebaikan
dan kebahagiaan orang lain. Orang-orang lain dari bangsa, suku, bahasa dan
budaya mana pun menjadi sahabat, saudara-sudari, ibu-ayah baginya. Menjadi imam
berarti pula menjadi “man of prayers”. Hidup doanya menjadi andalan, agar apa
yang dilaksanakan dan dihidupinya merupakan “buah-buah kasih yang ditimba dari
Allah sendiri yang ditemukan dalam keheningan dan perjumpaan pribadi dengan
Dia”.
Menjadi imam
bisa juga disebut sebagai “man of joy and happiness” (manusia yang hidup dalam
sukacita dan bahagia), karena dia adalah saksi dari sukacita dan kegembiraan
yang dimilikinya. “Joy and happiness” itulah yang diwartakannya, karena Dia
diutus untuk mewartakan “kabar gembira yang berasal dari Allah dan sekaligus
telah dihidupinya”.
Imam juga
adalah orang yang punya kekurangan dan kelemahan. Maka doa, dukungan, saran,
perhatian, kasih sayang dari keluarga, umat Allah, rekan-rekan imam, para
biarawan-wati amat diperlukan. Relasi dan komunikasi yang baik dengan mereka
semua, akan meneguhkan hidupnya. Saling memberi dan membagikan sukacita, dalam
kasih dan kesetiaan Tuhan yang diusahakan dan dihidupi setiap hari adalah jalan
strategis menuju hidup bahagia.
Kepada anda
sekalian yang telah mendoakan, mendukung, dan bekerja sama dengan kami para
imam, kami mengucapkan banyak terima kasih. Kepada anda sekalian yang membaca
tulisan ini, saya ucapkan terima kasih karena anda telah “mengisi diri dengan
butir-butir mutiara yang terdapat di dalamnya”.
Semoga anda disentuh dan diperkaya oleh rahmat Allah, dan menjadi saksi
sukacita dan kebahagiaan bagi sesama dalam hidup anda.
Komentar