KRISMA DI BAAD
PEMBACA YANG BUDIMAN
SYALOOM....
SAYA HADIR UNTUK MENJUMPAI ANDA KEMBALI. Kali ini, saya bercerita tentang perjalanan saya ke beberapa wilayah di sungai Kumbe. Salah satu desa yang saya kunjungi dan mendapatkan pelayanan krisma adalah desa Baad. Mari kita simak ceritanya.
SYALOOM....
SAYA HADIR UNTUK MENJUMPAI ANDA KEMBALI. Kali ini, saya bercerita tentang perjalanan saya ke beberapa wilayah di sungai Kumbe. Salah satu desa yang saya kunjungi dan mendapatkan pelayanan krisma adalah desa Baad. Mari kita simak ceritanya.
BAAD adalah nama sebuah kampung
yang letaknya di pinggir sungai Kumbe. Untuk mencapai tempat ini, pada masa itu
masyarakat pada umumnya menyusur sungai selama setengah hari dari Kumbe ( 30 km
dari Merauke ) dengan perahu karena itulah satu-satunya kemungkinan waktu itu. Masyarakat juga bisa berjalan kaki
selama 2 hari untuk keluar dari kampung / menjual hasil kerja mereka ke Kumbe
melalui jalan setapak di tengah-tengah hutan / padang pandan. Itulah gambaran
sekilas, bahwa kampung ini cukup terpencil.
Saat ini sudah ada jalan darat
yang cukup panjang dan lebar, yang dapat dilalui oleh mobil dan kendaraan
bermotor lainnya. Meskipun belum diaspal, pada musim panas kampung ini dapat
dicapai selama 2 jam dari Kumbe. Pada musim hujan, karena jalanan mulai becek perjalanan
menjadi lebih lama. Lebih-lebih ketika
jalanan menjadi berlumpur dan buruk, perjalanan menjadi amat sulit. Sering
sepeda motor terpaksa ditinggalkan di jalan, karena tidak mungkin lagi dinaiki.
Lumpur terlalu tebal. Dalam keadaan seperti ini, orang lebih memilih untuk
jalan kaki.
Penduduknya sekitar 110 kepala
keluarga ( 400 jiwa). Mereka adalah suku marind yang beragama katolik. Mereka perambah hutan, sehingga tidak
mempunyai penghasilan tetap. Mereka hidup aman dan tenteram di tengah-tengah hutan,
sungai, rawa dan hutan sagu yang
memberikan jaminan hidup secara berlimpah-limpah. Rusa, babi hutan, dan binatang buruan lainnya
menghuni hutan yang amat luas milik mereka. Sungai, rawa dan danau-danau kecil
memberikan pelbagai jenis ikan dan udang. Untuk kebutuhan hidup, alam sungguh
murah hati dan amat memanjakan mereka. Mereka tidak akan pernah berkekurangan.
Atas bantuan pemerintah daerah,
pada jaman bupati John Gluba Gebze, mereka mendapat perumahan yang layak huni.
Bangunannya terbuat dari papan dengan ukuran 6 x 6 m2. Bangunan perumahan itu masih bagus dan
terawat. Perkampungan mereka juga tampak bersih. Di beberapa keluarga, mereka
membuat dapur / tempat santai sendiri yang terbuat dari bahan lokal: gaba-gaba
(pelepah daun sagu) untuk dindingnya dan
daun rumbia sebagai atap. Banyak kali,
ketika naik twin-otter ( pesawat kecil
dengan kapasitas 12 penumpang ) saya melihat perkampungan ini. Perumahannya
teratur, terbuat dari kayu / papan. Seluruh biaya pembangunannya dibantu oleh
Pemda Merauke.
Kami disambut oleh umat Allah
dengan acara adat. Acara penerimaan ini diawali dengan penyambutan oleh 1
orangtua, mewakili tua-tua adat. Sambil membawa busur dan anak panah dia
bertanya: “ Saudara siapa ? dan untuk apa datang ke kampung ini ? “. Saya
menjawab: “Saya bapa uskup. Saya datang
untuk membawa damai dan berkat Tuhan bagi semua umat”. Dengan jawaban itu, saya kemudian di
antar menuju ke pintu gerbang yang masih
ditutup daun-daun kelapa. Di pintu gerbang itu, ada upacara pengguntingan pita (
tali yang terbuat dari kulit kayu yang telah dipintal ). Tali itu saya potong
dengan menggunakan gunting ( kadang kala dengan sembilu atau kulit siput ).
Setelah pita dipotong dan
daun-daun kelapa dibuka, rombongan umat Allah yang banyak jumlahnya telah rapih
berbaris di belakangnya. Seorang nenek (
mama tua ) mengalungkan bunga sebagai ucapan selamat datang kepada uskup,
pastor dan rombongan. Kemudian, dengan iringan / bunyi tifa (kendang) mereka
menyanyi dan menari, mengiringi rombongan untuk menuju ke tempat
penginapan. Hampir seluruh penduduk yang
berjumlah kurang-lebih 300 jiwa bersorak sorai dan menyanyi sepanjang
perjalanan yang memakan waktu kira-kira 30 menit.
Sepanjang jalan itu, kelompok
ibu-ibu yang berjalan di depan rombongan uskup menyanyikan lagu secara
berulang-ulang. Lagu itu betul-betul dihafal dan karena itu dinyanyikan oleh
semua penyanyi tanpa teks. Yang unik adalah lagu itu dinyanyikan bukan hanya
syairnya, tetapi juta not-nya. Saya
tidak ingat lagi sayir dan not lagu itu. Namun saya dapat mengambil contoh
sebuah lagu yang lain. Misalnya lagu “satu nusa satu bangsa”. Syairnya adalah:
Satu nusa satu bangsa satu bahasa
kita
Tanah air pasti jaya untuk
slama-lamanya
Indonesia pusaka Indonesia
tercinta
Nusa bangsa dan bahasa kita bela
bersama
Ayat itu dinyanyikian dalam
not-nya:
5 5 6 5 3 i i 2
i 6 5
i 2 3
i 2 3 2
5
5 6 5 3 i i
2 i 6 5
i 2 3
i 2 7 i
2
2 3 2
i 7 6 5 4
4 3
3 4 3 2
5
5 6 5
3 i i
2 i 6
5 i 2
3 i 2
7 i
Tidak pernah saya mengalami
penyambutan atau kegiatan resmi lainnya atau kegiatan umat di mana pun selama
ini, dengan lagu yang dinyanyikan syairnya dan sekaligus not-nya, kecuali di
Baad. Karena itu, penyambutan dengan cara ini amat unik dan mengesankan. Meskipun pada umumnya bukan lulusan SMA,
mereka dapat menyanyikan lagu ini dengan tepat ( tidak fals ) dan menyebut
not-nya dengan tepat ( sungguh-sungguh hafal not-nya ). Seandainya anda ( pembaca ) ikut hadir dalam
kegiatan itu, tentu anda akan mempunyai kesan tersendiri dan tak
terlupakan....bahkan mungkin akan terasa lebih indah daripada apa yang saya
ceritakan melalui tulisan ini.
Di tengah cuaca yang panas (
maklum dilaksanakan jam 14.00 wit) kami berjalan. Jalan tanah dan berpasir,
membuat abu / debu beterbangan ke mana-mana, karena dilalui umat yang menari
dan menyentak-nyentakkan kaki mereka di atas tanah itu. Panas matahari dan
udara, seakan tidak dirasakan karena luapan kegembiraan yang mereka ungkapkan
pada hari itu. Inilah uskup untuk
pertama kalinya berkunjung ke kampung mereka.
Setelah tiba di perumahan guru,
uskup dipersilakan memberikan sambutan. Pada kesempatan yang membahagiakan itu,
uskup mengucapkan terima kasih atas sambutan mereka. Hiasan yang mereka pasang di sepanjang jalan,
dan kerapihan kampung merupakan tanda bahwa mereka siap untuk pesta iman.
Kunjungan uskup adalah kunjungan dalam rangka pelayanan krisma, pelayanan
perayaan iman. Karena itu, kerukunan dan ketenteraman selama kunjungan ini
perlu dijaga dan dialami oleh semua peserta krisma dan seluruh umat.
Pada kesempatan itu, ketua
panitia memberitahukan bahwa para calon
krisma diminta berkumpul di gereja untuk latihan dan persiapan terakhir jam
16.00 wit. Dengan setia para calon yang berjumlah 78 orang itu dtang di
gereja. Seminggu sebelumnya banyak di
antara mereka yang menerima krisma dan anak-anak mereka dipermandikan. Uskup juga memberikan pembekalan terakhir dan
mengadakan latihan penerimaan krisma, agar esok harinya ketika upacara krisma
dilaksanakan, semuanya dapat berjalan dengan khidmat dan tertib.
Untuk uskup dan rombongan,
panitia sudah menyiapkan sebuah rumah penginapan. Rumah itu adalah rumah dinas
guru. Guru tersebut merelakan rumahnya untuk penginapan kami. Dia sendiri
mengungsi ke rumah rekan guru. Sedangkan istri dan beberapa rekan lain
bersibuk-sibuk menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam. Sedangkan untuk peserta krisma, mereka yang
sudah menerima sakramen pernikahan dan komuni pertama 1 minggu sebelumnya, juga
turut dipestakan pada hari itu. Hidangan
disiapkan oleh bapak kepala desa dengan cara pesan di warung langganannya.
Hidangannya baik dan menyenangkan, cocok sebagai hidangan pesta iman.
Pesta iman, tidak dapat
dilepaskan dari kegiatan sosial, rapat-rapat persiapan dan keperluan makan
minum. Di dalam kegiatan itu, amat
tampak bahwa yang insani perlu dipersiapkan dengan baik, agar yang imani ( atau
yang rohani ) dapat terlaksana dengan khidmat, memuaskan dan membawa sukacita
besar bagi banyak orang. Di sini persiapan
juga menuntut keseriusan, pengorbanan, ketelitian, kerja sama, dan tentu
kerendahan hati dan pengampunan. Ketika menyiapkan banyak hal, orang bisa saja
kesal atau kecewa, karena satu dua hal tidak terlaksana sebagaimana mestinya.
Namun, ketika mereka mau “berjalan terus / melanjutkan apa yang dipercayakan
kepadanya” semuanya menghasilkan “buah-buah kegembiraan”.
Di sisi lain, bila kegiatan itu dipandang sebagai kegiatan
manusiawi belaka, atau ajang untuk meraih prestasi atau supaya dipuji atau
mendapat nama, dan dibalik semua itu ada egoisme, kegiatan itu akan membuahkan
ketidakpuasan dan masalah pertentangan yang berkepanjangan. Maka, kegiatan itu
haruskan dan sudah semestinya didasarkan pada iman, harapan dan kasih kepada
Tuhan dan sesama. Kegiatan itu bukanlah semata-mata pekerjaan manusiawi, tetapi
Allah bekerja melalui manusia dan kegiatan itu, sehingga semua melihat dan
mengalami bahwa mereka adalah “kepanjangan tangan Allah”. Allah “meminjam” apa saja yang ada pada
manusia (badan jasmani) dan talenta yang ada untuk menjadi sarana keselamatan
Allah bagi umat manusia.
Dalam peristiwa krisma di Baad,
Allah mengunjungi umat-Nya. Dia rindu mengumpulkan anak-anak-Nya yang tersebar
di banyak kampung. Sebagaimana Simeon
pada waktu itu, berseru dengan suara nyaring: “ Terpujilah Tuhan Allah Israel,
sebab Dia mengunjungi dan membebaskan umat-Nya....” manusia pada jaman sekarang
pun dapat berdoa: “ Terpujilah Tuhan yang telah mengunjungi dan memberkati kami
......”
Komentar