KEPAHLAWANAN DOKTER DI PEDALAMAN
Dr Dhea Silitonga (perempuan, 27 th) adalah seorang dokter lulusan Universitas Sumatera Utara tahun 2008. Pernah mengabdi di wilayah Manokwari selama satu tahun. Kini dia menjalani masa PTT di sebuah Puskesmas di Kecamatan Wan di pantai selatan pulau Kimaam (pulau Yos Sudarso). Masa pelayanan di tempat yang baru itu telah dijalaninya selama 3 bulan.
Karena hanya dia sendiri yang memutuskan untuk bertugas di Papua, teman-teman seangkatannya bertanya: “Dhea, mengapa kamu memilih ke Papua ? Apa kamu tidak takut? Sebagai jawaban, dia justru balik bertanya: “Mengapa kamu justru yang laki-laki tidak memilih ke Papua ? Apakah kamu takut ?”.
Demikian, dia memulai sharingnya. Ia seorang dokter muda yang beragama protestan, namun dalam pelayanan dan pengabdiannya di daerah terpencil, dia tetap bekerja sama dengan siapa saja, tanpa dibatasi / dihalangi oleh perbedaan agama.
Pada hari itu, Jumat 2 Juli 2010, dia berjuang melalui laut membawa pasien (seorang ibu yang mau melahirkan anaknya). Tangan si bayi sudah keluar dan ketuban sudah dua hari pecah. Menurut perhitungannya, kalau tidak dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, pasti ibu dan bayinya itu akan meninggal. Kalau dirujuk, paling tidak nyawa si ibu bisa diselamatkan. Maka dia nekad membawa pasien itu, dengan harapan bahwa keduanya dapat diselamatkan.
Perjalanan lewat laut itu memakan waktu 8 jam. Mereka menembus ombak dan melawan angin timur yang cukup kencang dan tiba di Kimaam sekitar jam 11 malam. Pasien itu segera mendapat pelayanan, dengan bantuan oksigen, vitamin tambahan via infus, dan kondisinya makin baik. Letak bayinya sudah dinormalkan kembali.
Beberapa saat kemudian, Ibu itu perlu buang hajat, dan pergi ke WC sendirian. Pada waktu itu tidak ada orang yang bisa dimintai tolong. Ternyata pada saat itu juga “bayi itu keluar ” tanpa diduga. Bayi itu meluncur dan kepalanya membentur lantai. Setelah diperiksa, dokter menemukan bahwa kepala si kecil itu benjol, 2 tulang rusuknya patah dan lehernya terlipat. Akibatnya kondisi bayi makin lemah itu sulit untuk bertahan hidup. Bayi perempuan mungil itu pun akhirnya meninggal.
Dr Dhea yang telah memberikan pertolongan pertama dan menemani sang ibu sampai di Kimaam, amat menyesal. Mengapa justru pada saat kelahiran itu, dia tidak ada di samping ibu itu. Dengan wajah yang sedih, namun pasrah, dia mengatakan “paling tidak saya sudah memberikan pelayanan yang baik kepada ibu itu, dan 1 nyawa telah diselamatkan”. Seandainya saya tetap bertahan di Wan, keduanya mungkin sekali tidak bisa ditolong.
Setelah cuaca agak baik, meski laut masih bergelora dan angin laut cukup kencang, dan hari masih pagi, Dhea meninggalkan kota Kimaam untuk kembali ke Puskesmas Wan. Seorang perempuan telah menjadi pahlawan atas hidup sesamanya. Dia kembali ke posnya untuk meneruskan pengabdiannya sebagai tanda bahwa di tengah medan yang berat itu, ada orang yang berani berkorban bagi orang kecil.
Kalau Dhea, sebagai anak manusia yang masih muda itu pun tahu dan mau peduli kepada sesamanya yang terpencil, dan sering kurang terlayani, Tuhan yang Maha Pengasih tentu lebih mau peduli dan penuh kasih kepada manusia ciptaan-Nya.
Selain Dhea, ada 2 dokter lain yang bertugas di Puskesmas Kimaam: dr Wirya (lulusan Unhas Makasar thn 2009) dan dr Paula (lulusan UPN - Jakarta tahun 2007).
Komentar