SAMBUTAN PEMBUKAAN MUSPAS 2017
SAMBUTAN USKUP AGUNG
MERAUKE
PADA MUSPAS TAHUN 2017
TEMA: KELUARGA
KEUSKUPAN AGUNG MERAUKE YANG BERIMAN
Saudara-saudari sekalian para peserta Muspas
Bapak Bupati, Bpk Sekda, Bapak/Ibu Pejabat
Para Undangan
Para Pastor, Bruder, suster dan Frater
Dan Hadirin sekalian
Syaloom
Pada tahun 2015, kita menyelenggarakan Pra-Sinode Keuskupan Agung Merauke
dengan tema: “KELUARGA KATOLIK KEUSKUPAN AGUNG MERAUKE, MEMAHAMI DIRI: REALITAS
DAN PERSOALAN”. Pra-sinode ini
menyoroti realitas dan persoalan yang dialami oleh keluarga-keluarga dari
beberapa sudut pandang (pendidikan, kesehatan, sosek, budaya, dan iman, dll) agar
para pelayanan umat memahami situasi nyata yang sungguh-sungguh terjadi. Pada tahun 2016 dilaksanakan Sinode Keuskupan Agung Merauke
dengan tema: KELUARGA KATOLIK KEUSKUPAN AGUNG MERAUKE YANG TERLIBAT DAN MURAH
HATI”. Kedua Rapat Akbar Keuskupan ini
memberikan perhatian besar kepada keluarga, karena sungguh-sungguh disadari
bahwa keluarga-keluarga adalah dasar, kekuatan, dan harapan dari bangsa dan
gereja, serta punya peranan yang amat penting bagi kehidupan sekarang ini dan
ke masa depan. Itulah sebabnya, agar menjadi gerak bersama dari seluruh umat,
Amanat Sinode tahun 2016 mendorong kita
sekalian untuk melihat KELUARGA SEBAGAI LOCUS
DAN FOCUS
PASTORAL.
Kata “LOCUS” berasal dari Bahasa Latin. “Locus” artinya tempat.
Dari kata ini lahir kata lokasi (tempat), relokasi ( penempatan kembali
), budaya lokal ( budaya setempat) dll. Kata “focus” berasal dari Bahasa Latin, dari kata kerja “facere”,
artinya jatuh. Jadi, focus
menunjuk pada titik / tempat dari mana sesuatu itu jatuh, atau bisa dikatakan titik awal / titik pusat. Dalam
pengertian umum, fokus berarti “perhatian, atau mengarahkan pandangan ke titik awal/pusat, sehingga pikiran, perasaan dan kehendak
seseorang tidak terbagi-bagi. Pastoral
juga berasal dari Bahasa Latin, “pastor” yang berarti
gembala. Pastoral berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan pelayanan dan
kegiatan yang bertujuan untuk menggembalakan umat Kristus, agar mereka menemukan keselamatan (kebahagiaan
hidup).
Kalau keluarga menjadi locus
dan focus
pastoral, berarti keluarga itu merupakan tempat dan pusat pijakan serta mendapat
perhatian utama, dalam pelayanan kepada umat Allah karena keluarga benar-benar
mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia. Di sanalah manusia itu dilahirkan,
dibesarkan, dibina, dibimbing dan dihantar untuk menjadi manusia yang siap
masuk ke dalam lingkungan sosial, dan kemudian turut berperan dalam pembangunan
dan kemajuan masyarakatnya.
Masyarakat dan kita semua
mengakui bahwa kebahagiaan hidup
tidak perlu dicari di tempat-tempat yang jauh, tidak perlu pergi ke kota-kota besar,
dan tidak perlu juga membayar dengan biaya yang mahal, karena kebahagiaan itu “locus” ada di rumah, ada
di dalam keluarga. Di keluarga dan di dalam rumah tangga itulah tempatnya.
Keluarga yang menyadari bahwa rumah dan diri mereka adalah tempat hadirnya
kebahagiaan, adalah keluarga-keluarga yang telah berusaha mendekatkan diri
dengan Allah. Keluarga yang menghadirkan suasana
yang demikian ini, bisa disebut ecclesia domestica ( gereja rumah
tangga).
Tema Muspas 2017 ini adalah
KELUARGA KEUSKUPAN AGUNG MERAUKE YANG
BERIMAN
Ada beberapa hal yang bisa diungkapkan tentang
iman. Iman itu lebih daripada perihal tentang mengetahui dan percaya akan cerita atau kisah ataupun kesaksian tentang
Allah. Iman merupakan suatu pengalaman yang
terindah akan kehadiran Allah di dalam kehidupan seseorang. Karena iman, manusia dapat sungguh-sungguh mengalami Allah sebagai yang
Mahakuasa, Bapa yang maha pengasih, pengampun, penyelamat, pelindung, penolong,
penghibur, kekuatan dan bahwa Dia adalah segala-galanya bagi orang yang
sungguh-sungguh beriman.
Patut ditekankan juga bahwa
iman akan mendorong seseorang untuk menyerahkan diri dan hidupnya kepada Allah
( bdk. Luk 1: 38 ttg Bunda Maria, Filp 3: 8 ttg Paulus). Bila iman itu sudah hidup dan menjiwai
seseorang, dia tidak pernah akan goyah, meskipun
mendapat cobaan seberat apa pun, bahkan harus menyerahkan nyawanya ( Kis 7:59 –
8:8 tentang Stefanus). Dia bagaikan orang yang mendirikan rumahnya di atas batu
( Mat 7: 24 – 27).
Bapa, ibu dan saudara sekalian,
Berdasarkan apa yang
saya telurusi ini, saya mencoba merumuskan “ apa itu keluarga
yang beriman?”. Keluarga yang beriman adalah
keluarga yang secara aktif mengalami kehadiran Allah dan penuh penyerahan diri
kepada-Nya, serta mewujudkan kebahagiaan hidupnya
bersama dengan sesama.
Dalam mewujudkan kebahagiaan hidup itu, banyak sekali keluarga yang menghadapi tantangan ini: teman pamer baju / sepatu baru, ada bujukan untuk korupsi,
menggunakan narkoba, minum miras, berjudi, melakukan tindak kekerasan, suap-menyuap,
menyebarluaskan berita-berita bohong, dll. Selain itu, derasnya tawaran-tawaran
yang menarik dari televisi, iklan-iklan di jalan-jalan, diskon yang tinggi,
kredit motor, munculnya hp model baru,
dan hadiah-hadiah undian yang
menggiurkan juga merupakan tantangan yang berat.
Di sisi lain, di tengah-tengah masyarakat yang terus berubah
ini, harus diakui bahwa
masih jauh lebih banyak orang-orang dan keluarga-keluarga yang baik dan stabil
di banyak tempat, bahkan di pedalaman. Ada banyak keluarga, kelompok-kelompok
kategorial, banyak umat beriman yang sungguh-sungguh berusaha untuk hidup saleh
dan bahagia, dengan banyak berpuasa, berdoa dan berkorban. Tempat-tempat
ibadah, penuh dengan jemaat. Di
keuskupan kita, ada paroki-paroki yang melayani umatnya dengan 3 x misa pada
hari minggu. Terlebih pada hari-hari raya, tempat-tempat ibadah dibanjiri umat
beriman yang hendak bersyukur dan mohon berkat. Banyak orang pergi ziarah, naik haji, bergabung dengan kelompok-kelompok
kategorial, kelompok-kelompok doa. Itu tanda bahwa kehidupan spiritual tetap
menjadi perhatian dari keluarga-keluarga.
Iman nyata dalam tindakan
Rasul Yakobus menegaskan: “Iman
yang tidak dinyatakan dalam perbuatan, adalah iman yang kosong. Iman bekerjasama dengan perbuatan-perbutan,
dan oleh perbuatan-perbuatan itu, iman menjadi sempurna. Seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian
jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati (Yak 2:20.22.26). Apa yang dihasilkan oleh muspas paroki,
muspas Dekenat, muspas Kevikepan dan muspas keuskupan adalah laporan dan evaluasi
(keberhasilan, ketertundaan, kegagalan) kita sekaligus kesaksian akan buah-buah
iman yang telah dilaksanakan oleh umat beriman bersama dengan para gembalanya,
dengan Pemerintah Daerah dan para mitra kita. Apa yang telah dilaksanakan itu merupakan juga
keikutsertakan kita dalam karya keselamatan Tuhan.
Penerimaan
sakramen di seluruh keuskupan tahun 2016,
menunjukkan keberimanan keluarga:
1.
Baptis 3.694 orang dari jumlah tsb: 3.555 bayi dan anak-anak di bawah 7 tahun.
2.
Komuni
pertama: 1.540 orang
3.
Nikah : 882
katolik dgn katolik, kawin campur: 36 pasang
4.
Krisma : 1.114 orang
5.
Skr pengurapan
orang sakit: 853 orang
Jumlah Penerima
sakramen-sakramen di beberapa paroki yang sudah masuk tahun 2017:
1.
Baptis : 678
2.
Komuni
pertama: 186
3.
Nikah : 158 katolik dg
katolik, 4 pasang nikah campur
4.
Krisma : 800 peserta
Selain bidang
iman keagamaan, pelayanan kita juga meliputi bidang pendidikan, kesehatan, hukum,
sosial ekonomi serta budaya. Setiap
tahun ada ratusan anak yang lulus dari
sekolah-sekolah YPPK. Ada 590 anak yang mendapatkan bantuan studi (SD - SMA). Ada
48 anak yang mendapat bantuan studi di Perguruan Tinggi. Ada 200 an anak yang dibina di asrama-asrama
kita (Merauke, Urumb, Kumbe, Kimaam, Kepi, Tanah Merah, dan Mindiptana). Juga
penyuluhan dan pelatihan di bidang administratif, bidang hak-hak azasi, bidang
penyadaran akan hak ulayat, pemetaan wilayah, dan lingkungan hidup dll tetap
diperhatikan, karena pelayanan ini muaranya adalah pengembangan harkat dan
martabat manusia sebagai citra Allah.
Penyadaran
dan tindak pembelaan (advokasi) akan gender juga kita lakukan. Gender adalah kondisi (syarat-syarat) yang
dibutuhkan agar manusia (laki-laki dan perempuan) dapat hidup sebagai anak-anak
Allah dan berperan dalam kehidupan masyarakat. Keluarga-keluarga beriman
menjadi kekuatan utama terhadap kegiatan keadilan dan kesetaraan gender, karena
di dalam keluarga anak laki-laki dan anak perempuan diperlakukan secara adil
dan setara. Misalnya, anak perempuan
dibelikan 1 pasang sepatu, harganya Rp. 300.000, ukurannya no: 35; dan anak laki-laki ukurannya no 42, harganya
Rp. 350.000. Anak laki-laki dan
perempuan bisa dilatih untuk memasak, cuci piring, merawat orang sakit,
berkebun dll, tetapi juga mendapatkan pembinaan dan pendidikan yang sama. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa jadi
dokter, guru, pegawai bank, kepala kampong, dll dengan hak dan kewajiban yang
sama. Saya yakin dan percaya, sudah banyak keluarga katolik yang mendidik
anak-anaknya secara adil dan setara, sehingga harkat dan martabat manusia
sebagai citra Allah dikembangkan dan dinyatakan.
Keluarga-keluarga
katolik yang beriman, di seluruh wilayah KAME saya gugah untuk memperhatikan
lingkungan hidup. Kita disemangati
untuk menanam pohon-pohon pelindung, menanam tanaman
pangan: sagu, pisang, ubi-ubian dan palawija, juga pohon-pohon besar karena
kita juga perlu kayu untuk rumah dan perabot rumah tangga. Perlu juga setiap
warga gereja dan sebagai anggota masyarakat, ambil bagian dalam memelihara dan
menjaga kebersihan halaman, got-got dan sungai, dengan membuang limbah, sampah
dan bangkai-bangkai di tempat selayaknya. Kiranya baik diusahakan dan
dibiasakan memanfaatkan sampah-sampah basah ( daun-daun sisa, buah-buahan sisa
dan kulitnya) menjadi pupuk organik.
Saya juga
mengajak keluarga-keluarga katolik untuk turut memerangi miras, narkoba dan
tindak kekerasan. Narkoba sekarang
ini dikemas dalam pelbagai bentuk dan warna yang menarik. Mula-mula harganya
murah atau gratis, namun ketika seseorang sudah kecanduan, 1 butir harganya
bisa ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah. Narkoba merusak syaraf dan
kesadaran pemakainya. Ketika sudah
kecanduan dan ketagihan, dia menjadi tidak berdaya dan harus diberi terus-menerus.
Dia menjadi orang yang sangat tergantung pada narkoba, dan tidak peduli obat
itu harus didapat dari mana dan dengan cara apa. Yang penting obat itu harus
ada. Maka dia akan menjadi pembohong, pencuri, penipu dan pelaku tindak
kekerasan, supaya dia bisa mendapatkan narkoba yang dia butuhkan.
Bila banyak generasi muda kita (anak-anak,
remaja dan OMK) menjadi pengedar, pengguna narkoba, dan sudah ketagihan, kita
kehilangan penerus-penerus bangsa dan pembangun masyarakat. Betapa besar
kerugian (kekuatan, dana dan peluang) yang kita hadapi, hari-hari ini dan pada
masa mendatang bila generasi kita dihancurkan oleh narkoba. Maka, patutlah kita
waspadai mereka dalam menggunakan uang, perilaku mereka sehari-hari, dan dengan
siapa mereka bergaul. Patut juga diperhatikan: “Apakah pada mereka ada
perubahan dalam bertutur kata, dalam berkegiatan, dan dalam penampilan
sehari-hari ?. Bila ya, itu adalah
indicator bahwa pada diri mereka, ada sesuatu yang tidak beres, dan perlu ada
tindakan.
Pada hadirin, dan para peserta muspas yang saya
hormati
Di dalam dunia dan masyarakat yang terus
berkembang dan mengikuti perubahan jaman, namun dengan iman dan semangat yang sama, dan telah diperkaya dan diperbaharui oleh Roh Kudus dalam muspas ini, kita siap
untuk menanggapi kehidupan dan kebutuhan masa kini, demi mempersiapkan
kehidupan mendatang yang lebih baik, adil dan sejahtera. Kita akan terus melaksanakan hasil muspas tahun 2017 ini, sebagai tanda syukur atas
kepercayaan Allah yang telah mengikutsertakan kita pada karya keselamatan-Nya,
dan tanda kesediaan kita untuk meneruskan karya besar Allah itu kepada umat
manusia pada jaman ini dan pada masa mendatang. Semoga melalui muspas kita ini, melalui kita
sekalian dan para mitra kita, rahmat dan kasih Allah mengalir kepada umat
manusia yang berkehendak baik di Papua dan di mana-mana.
Pada kesempatan yang
berbahagia dan penuh rahmat ini, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada
para Bupati dan narasumber yang berkenan membagikan pengalamannya sehubungan
dengan kerja sama antara Pemerintah Daerah dan Gereja”. Akhirnya, saya
mengucapkan selamat mengikuti Muspas 2017 kepada semua peserta, dan para
undangan sekalian yang telah berkenan hadir pada upacara pembukaan Muspas ini.
Merauke, 15 Oktober 2017
Mgr. Nicholaus Adi Seputra
MSC
Komentar