ANTON DAN MONIKA
PEMBACA BLOG YANG BUDIMAN
SYALOOM.....
Saya hadir kembali pada awal bulan Agustus ini, dengan menyuguhkan bagi anda cerita tentang 2 anak manusia yang saya temui dalam perjalanan saya dari Kepi ke Mur. Perjalanan dengan speed boat itu memakan waktu 2 jam. Karena rekan saya, tertinggal di belakang, saya memutuskan untuk singgah di sebuah gubug untuk menanti mereka yang naik speed boat juga. Kira-kira satu setengah jam, saya berada di tengah-tengah keluarga yang ada di pinggir sungai Obaa - di dekat desa Linggua. Mereka hidup di sana selama lebih dari 4 bulan, namun tetap sehat. Anak-anak mereka ikut juga. Anak-anak itu tentu saja tidak sekolah. Ternyata speed-boat yang ditumpangi rekan-rekan saya itu, mesinnya mogok. Syukurlah mereka naik speedboat yang menjemput mereka, dan kami kemudian melanjutkan perjalanan ke Mur. Inilah ceritanya:
ANTON dan MONIKA adalah dua anak
manusia yang saya temui di sebuah bivak (gubug) di tepi sungai Obaa, dekat desa
Linggua, tanggal 15 Juli 2013 yang lalu.
Mereka tinggal bersama dengan nenek mereka di gubug itu, sudah lebih
dari 5 bulan. Ketika saya temui, mereka sedang duduk-duduk santai di gubug itu.
Pagi itu, mereka belum melakukan pekerjaan / kegiatan – mungkin karena memang waktu
memang masih pagi atau mereka biasa melakukan kegiaan sesuai dengan kebutuhan
mereka di tepi sungai / di tengah hutan. ( Anton, bercelana pendek warna abu-abu, Monika bercelana pendek warna coklat kemerahan)
Anton demikian orang memanggil
namanya, tidak tahu berapa umurnya. Diperkirakan umurnya 16 tahun. Dia bisa berbahasa Indonesia, dan dapat
memberikan jawaban dalam percakapan sederhana mengenai apa yang dia ketahui dan
yang dia kerjakan. Dia berada di gubug itu dalam rangka membantu kakak iparnya
yang sedang membuat perahu kayu yang cukup besar. Perahu itu cukup besar, yang
akan digerakkan dengan mesin ketinting, sebagai alat transportasi bagi keluarga. Menurut
pengakuannya dia tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Pengakuannya itu
dibenarkan oleh kedua nenek yang ada di gubug itu.
Monika adalah gadis yang sedang
menginjak masa remaja. Diperkirakan umurnya 9-10 tahun. Anak ini pun tidak
pernah duduk di bangku sekolah. Memang kalau diajak bicara dengan senyum dia
bisa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Kakeknya bersekolah sampai
kelas 3 SD, sedangkan neneknya kelas 5. Om dan tantenya yang juga ada di gubug
itu, hanya sampai kelas 4 dan kelas 6. Dengan
situasi yang demikian ini, Monika tidak merasa terbebani untuk tetap tinggal di
pinggir sugnai dan menikmati kesehariannya di sana, karena orangtua dan leluhurnya
pun tidak pernah mengenyam pendidikan sampai selesai.
Di gubug itu masih ada 5 anak
kecil lainnya. Saya tidak sempat bertanya siapakah nama mereka. Tentu saja di tempat itu tidak akan pernah
ada pelayanan kesehatan. Tidak ada tetangga, karena itu di sana tidak ada
kegiatan belajar mengajar di sekolah, juga tidak ada kios. Maka, bila butuh
sabun, rokok dan barang-barang lainnya mereka harus pergi ke desa terdekat (
desa Linggua) yang bisa dicapai dengan perahu dayung kira-kira 1 jam.
Mereka berasal dari desa Rep,
kira-kira 3 jam dengan perahu dayung ( atau 30 menit dengan speed boat) dari pusat Kabupaten kepi. Sedangkan gubug mereka
ada di dekat desa Linggua, kira-kira 1 hari perjalanan dengan perahu dayung. Di
sanalah terletak dusun (tanah warisan leluhur) yang memungkinkan mereka hidup
dan mengambil / memetik hasil hutan dengan bebas, kapan saja dan untuk
keperluan apa saja. Di sana juga ada babi hutan, rusa, kasuari dan binatang
hutan lainnya. Kebutuhan makanan dan minuman sudah tersedia. Pohon-pohon sagu
terhampar di dekat sungai. Air minum tinggal ambil dari sungai atau di rawa
sagu. Ikan tinggal ambil / memancing di sungai. Mereka benar-benar menyatu
dengan alam, dan memang alam sungguh-sungguh murah hati kepada mereka. Alam menyediakan
kebutuhan hidup mereka secara berlimpah-limpah.
Ketika singgah di tempat itu,
saya melihat 3 gelondong (bola) tepung sagu. Umumnya mereka menyebut bola sagu,
karena tepung sagu itu bentuknya (hampir) bulat seperti bola. Ketika memangkur
(memukul-mukul batang sagu sampai lunak, lalu meremas-remas cacahannya), dan
memprosesnya sehingga keluar tepungnya, mereka menampungnya di dalam kantung.
Kantung itu bulat di bagian bawahnya, sehingga tepung sagu itu ketika mengering
wujudnya bulat seperti bola. Selain sagu bola, ada juga kayu bakar, tungku api,
ada 1 ekor ikan yang sudah dibakar, dan 2 ekor ikan yang masih segar. Semuanya
mereka dapatkan di tempat itu.
Saya teringat akan sabda Yesus: “Janganlah
kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah
kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu
lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? Pandanglah
burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak
mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga.
Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? “( Mat 6: 25-26).
Apakah yang demikian itulah yang
Tuhan kehendaki ? Memang untuk sandang,
pangan dan papan, mereka sudah sangat berkecukupan, bahkan berkelimpahan. Untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka bisa mengatasinya. Sudah terbukti
bahwa selama berbulan-bulan, bahkan ada yang bertahun-tahun tinggal di hutan,
mereka bisa bertahan. Semuanya sudah disediakan oleh alam, dan mereka siap
untuk hidup dengan cara itu. Menurut
pengalaman dan pengamatan saya, “mereks berbahagia dengan kehidupan yang mereka
jalani itu”. Baru ketika bertemu dengan masyarakat dari wilayah lain, yang berlatar
belakang pendidikan dan kebudayaan yang berbeda, timbullah kebutuhan-kebutuhan baru. Muncul
keinginan untuk mempunyai sandang, pangan dan papan jenis baru dan model yang
baru.
Sementara di pihak lain, Tuhan
pula yang menghendaki agar manusia sebagai citra Allah diutus untuk mewartakan
kabar sukacita ke seluruh dunia: “pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku
dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka
melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku
menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28: 19-20). Untuk menjadi murid dan penerus kabar
sukacita Tuhan kepada segala makhluk inilah, mereka perlu mendapatkan
pendidikan dan pembinaan. Di sinilah munculnya kebutuhan-kebutuhan baru, karena
mereka “diminta untuk saling menyesuaikan dengan kebutuhan orang lain,
perubahan jaman, dan adanya tuntutan jaman”.
Mengubah pola hidup harian yang
telah memberikan ketenteraman dan kenyamanan ke arah kehidupan yang terjadwal,
mempunyai target, berdiskusi, dikontrol dan dievaluasi, bukan perkara yang
mudah. Kehidupan baru ini belum tentu
bisa diikuti dan belum tentu pula memberikan ketenteraman dan kenyamanan. Juga dalam kehidupan harian mereka, yang
lebih dikenal adalah “kebiasaan bercerita / bertutur”, “ bukan kebiasaan membaca, menulis dan
menghitung”. Dalam kehidupan mereka, tidak ada notulen, namun mereka ingat akan
apa yang telah mereka putuskan. Sering dalam masyarakat moderen, hasil diskusi
/ rapat ditulis dengan baik dan dibuat notulen, namun apa yang telah
dibicarakan dan menjadi keputusan, sering dilupakan / tidak dilaksanakan.
ANTON dan
MONIKA adalah dua contoh manusia jaman sekarang yang masih dididik / hidup
dalam “pola hidup yang amat tradisional” (kehidupan yang secara turun temurun
sudah demikian). Pembekalan secara tradisional sudah sangat cukup. Yang belum
adalah pembekalan untuk “menghadapi dunia jaman sekarang / dunia
komputer-digital-global-bisnis-ekonomis yang bergerak cepat dan cepat berubah”. Mereka sesungguhnya bisa ikut perubahan itu,
asalkan ada guru / pembina, ada kesempatan dan kemungkinan, ada fasilitas yang
memadai, ada dukungan moril, spiritual dan finansial. Menyalahkan mereka, dan
menganggap mereka bodoh dan malas, bukan solusi yagn tepat untuk mengangkat
anak-anak manusia itu ke arah yang lebih bermartabat
Komentar